Selasa, 17 September 2013

Lirik lagu A-Pink NoNoNo

Seulpeohajima no no no honjaga anya no no no
Eonjenanana naege hangsang bichi dwae jun geudae
Nae soneul jabayo ije jigeum dagawa gidae
Eonjena himi dwae julge
Naega himi deul ttae naege dagaon geudae
Salmyeosi naegero wa immatchwo jun geudae
Machi mabeopcheoreom nal gamssajun
Jeongmal ireon gibun cheoeumiya
Gakkeumssigeun geudaedo himdeungayo
Geureoke honja seulpeohamyeon eotteokhae
Hana dulssik buri kkeojyeoganeun gonggan soge
Naega neol bichwojulge (oh)
Seulpeohajima no no no honjaga anya no no no
Eonjenanana naege hangsang bichi dwae jun geudae
Nae soneul jabayo ije jigeum dagawa gidae
Eonjena himi dwae julge
Kkumi manteon geudaen neomu tteollideon geuttaee
Sumanheun siryeon soge gijeogeul baraetgo
Galsurok bureooneun barame heundeullineun moseup cheoeumiya
Oraetdongan manhido chamannayo
Amu mal anko gogae tteolgumyeon eotteokhae
Hana dulssik gyeoteul tteonaganeun sesang soge
Naega neol bichwojulge (oh)
Seulpeohajima no no no honjaga anya no no no
Eonjenanana naege hangsang bichi dwae jun geudae
Nae soneul jabayo ije jigeum dagawa gidae
Eonjena himi dwae julge
Gajang naege himi dwae jueotdeon
Nareul eonjena mideojudeon geudae
Dadeul geumanhae rago malhal ttae
Majimak niga barabol sarang ijen naega dwae julge
Seulpeohajima no no no honjaga anya no no no
Eonjenanana naege hangsang bichi dwae jun geudae
Nae soneul jabayo ije jigeum dagawa gidae (i love you)
Eonjena himi dwae julge
English Translate

Don’t be sad no no no, you’re not alone no no no
You always became a light for me
Hold my hand, come and lean on me
I’ll always be your strength
You came to me when I was struggling
You softly came to me and kissed me
You embraced me like magic
I never felt like this before
Are things hard for you too sometimes?
Why are you being sad by yourself?
When the lights turn off one by one
I’ll shine on you
Don’t be sad no no no, you’re not alone no no no
You always became a light for me
Hold my hand, come and lean on me
I’ll always be your strength
You had so many dreams and when you were feeling nervous
You hoped for a miracle out of the many hardship
I’ve never seen you being shaken by the continuous wind
Did you hold it in for a lyong time?
Why are you hanging your head down low without a word?
When people start to leave you one by one in this world
I’ll shine on you
Don’t be sad no no no, you’re not alone no no no
You always became a light for me
Hold my hand, come and lean on me
I’ll always be your strength
You always were a strength to me
You always believed in me
When everyone else tells you to stop
I’ll become the last love that you can look upon
Don’t be sad no no no, you’re not alone no no no
You always became a light for me
Hold my hand, come and lean on me
I’ll always be your strength

Indonesia Translate

Jangan sedih nonono, kau tidak sendirian nonono
Kau selalu menjadi penerang untukku
Genggam tanganku, datang dan bersandarlah padaku
Aku akan selalu menjadi kekuatanmu
Kau datang padaku saat aku kesulitan
Kau dengan lembut datang padaku dan menciumku
Kau memelukku seperti sihir
Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya
Apakah terkadang kau juga merasa kesulitan?
Mengapa kamu bersedih sendirian?
Saat cahaya mati satu per satu
Aku akan menyinarimu
Jangan sedih nonono, kau tidak sendirian nonono
Kau selalu menjadi penerang untukku
Genggam tanganku, datang dan bersandarlah padaku
Aku akan selalu menjadi kekuatanmu
Kau punya begitu banyak mimpi dan ketika kau merasa gugup
Kau berharap sebuah keajaiban untuk keluar dari banyak kesulitan
Aku belum pernah melihatmu terguncang oleh angin terus menerus
Apakah kau menahan diri untuk waktu yang lama?
Mengapa kau menundukan kepalamu tanpa berkata-kata?
Ketika orang lain mulai untuk meninggalkanmu satu per satu di dunia ini
Aku akan menyinarimu
Jangan sedih nonono, kau tidak sendirian nonono
Kau selalu menjadi penerang untukku
Genggam tanganku, datang dan bersandarlah padaku
Aku akan selalu menjadi kekuatanmu
Kau selalu menjadi kekuatan bagiku
Kau selalu mempercayaiku
Ketika orang lain memberitahumu untuk berhenti
Aku akan menjadi cinta terakhirmu
Jangan sedih nonono, kau tidak sendirian nonono
Kau selalu menjadi penerang untukku
Genggam tanganku, datang dan bersandarlah padaku
Aku akan selalu menjadi kekuatanmu

Sabtu, 07 September 2013

Lembayung Malam

Matahari mulai tenggelam
Menyisakan gelap dengan terbitnya malam
Lembayung senja telah terbenam
Menambahkan rasa yang amat mencekam

Saat kuingat lagi malam
Bayanganmu di benakku kian menajam
Bersama kepedihan yang menghujam
Sakitnya bagai disayat dalam

Pikiranku semakin melayang-layang
Menunggumu bergegas datang
Menanti senyuman seseorang
Yang selalu hadir dalam mimpi panjang

Lembayung malam
Akan kah kau menghapus kelam?
Mendatangkan cahaya di tengah malam
Menebar tawa bersama gugusan bintang yang berkilau melebihi pualam

Cahaya terang
Akan kah aku bisa senang?
Seperti bintang yang terus bersinar gemilang
Yang tak akan repud walau badai menghadang

Angin hampa
Akan kah aku bisa mengisimu dengan harapan?
Harapan untuk orang yang aku rindukan
Harapan akan datangnya kebahagiaan
Yang akan tersebar melalui hembusan.


Setelah Darwin masuk ke dalam Board of Death dua tahun lalu, mereka jadi diberi pengawasan ketat dan membuatnya tak bisa bermain atau pun keluar dari asrama. Tahun itu Mr. Eugene mendapatkan seorang teman yang tak jauh beda darinya. Mr. Nick. Mereka sama-sama ketat, keras dan mengerikan. Apalagi karena datangnya Minimolly yang mereka tunggu-tunggu. Setiap ke mana pun mereka pergi, Minimolly itu pasti akan terus mengikuti. Dan juga amat disayangkan, Minimolly milik Darwin ternyata sangat disiplin sekali dan mentaati peraturan. Hal itu benar-benar membuat Darwin pusing akan Minimollynya. Namanya Hipo. Entah dari mana dia mendapat ide untuk menamai Minimolly itu.
Sementara Minimolly milik Elizabeth namanya Kate. Minimolly itu sangat pintar. Bahkan lebih pintar dari Elizabeth, hal itu membuatnya semakin pintar saja. Sementara milik Edgar, namanya Sonny. Minimolly yang sangat malas dan meyebalkan. Dia hampir mirip saja dengan Edgar, namun Minimollynya lebih buruk dan sangat kurang ajar.

Memasuki tahun ke empat di Grondey, tepat Darwin berusia lima belas tahun. Saat seorang gadis dari Clawfrintclass yang terkenal cantik di Grondey menarik hati Darwin, dia sangat ingin memilikinya. Nama gadis itu Nathly. Nathly McProcter. Gadis yang merupakan teman sehotel dengan Verby. Memang awal Darwin mengenalnya adalah saat Verby mengajaknya mengunjungi hotel Verby. Saat itu dia baru melihat gadis secantik Nathly. Entahlah, tapi karena Darwin sering memperhatikannya, Elizabeth kadang-kadang kepergok sedang menatapnya sinis dan tiba-tiba tersenyum dengan akhir wajah muram. Diakui saja, Darwin memang menyukai Elizabeth. Bahkan dia mengaguminya karena kepintarannya yang luar biasa. Namun dia tak bisa melakukannya, Edgar. Edgar mencintai Elizabeth, dia tak akan tega menyakiti hati orang yang pertama kali mau berteman dengannya setelah Elizabeth.

"Hipo, aku mau keluar dulu sebentar. Kau di sini, ya! Di sini!" kata Darwin berbisik sambil menyuruh Minimollynya diam.
 Hipo menggeleng dan langsung mengibarkan sayapnya dan mencibir pada Darwin. Dia terus menggeleng-geleng sambil melipatkan tangan di atas dadanya.

"No, no! Itu tak boleh Tn. Willy, Hipo harus melindungi Tn. Willy sesuai tugas Hipo," katanya membantah.

"Hipo, aku Tuanmu! Mengapa kau lebih menurut pada peraturan daripada aku?" tanya Darwin sinis.

"Peraturan milik Prof. William, Hipo harus mematuhinya!" kata Hipo.

"Hipo, Prof. William adalah Kakekku, dia orangtuaku. Aku dan dia sama," kata Darwin.

Hipo berpikir dan memutarkan bola matanya ke atas sambil menyimpan tangan kiri di atas dagu. Dia beberapa kali mondar-mandir sambil terbang dan menimbang-nimbang pemikirannya. Darwin duduk mencibir di atas kasurnya. Seharusnya Hipo cepat, sebelum dia kehabisan waktu istirahat.

"Ah! Anda benar, Tn. Willy, Hipo mengizinkan Tn. Willy pergi ke luar," katanya riang. Darwin tersenyum.

"Ya, kau Minimolly yang baik Hipo," kata Darwin. Hipo menyombongkan dirinya, "kau mau, kan membantuku?" tanya Darwin lagi. Hipo mengangguk.

"Aku ingin ke luar sebentar, kau bisa, kan mengecoh si Eugene?" tanya Darwin.


"Mr. Eugene. Oh! Dia keras, mengerikan dan amat buruk!" kata Hipo bergidik.

"Ya, kau kecoh saja dia agar meninggalkan pintu utama. Aku ingin keluar sebentar. Sebentar saja," kata Darwin memelas pada Hipo.

Hipo mengangguk dan mulai terbang ke arah luar. Perlahan Darwin mulai berjalan menuju ke luar. Memang telah ditetapkan sekarang bahwa para pelajar tak boleh keluar dari asrama. Hal ini benar-benar membuat Darwin jengkel. Dia tak tahan jika harus dikurung di dalam penjara seperti Grondey bersama pelajaran-pelajarannya yang amat memusingkan.

Darwin melihat Hipo tengah menganggu Mr. Eugene dan membuatnya mengejar Hipo. Serentak Darwin langsung berlari menuju keluar dan amat merasa bahagia. Dia menatap ke belakang tanpa memperhatikan di depannya. Tiba-tiba sesuatu membuatnya tertarik dan jubahnya terasa panas pada bahunya. Darwin terlonjak kaget melihat sebuah Manusia Srigala yang akan memangsanya. Darwin kaget dan langsung memegang bahunya yang memanas dan cukup perih. Dia berusaha sebisa mungkin untuk melepaskan dirinya dari genggaman dan cakaran yang kuat pada bahunya. Dia menatap manusia srigala itu. Tiba-tiba saja dia merasa ada sebuah desiran di hatinya. Dia menatap mata manusia srigala itu. Serasa ada sesuatu yang tak berbeda. Serasa dia tak asing baginya.


Darwin sadar. Dia langsung menarik jubah dan berlari ke arah asrama. Dia memegang bahunya yang perih dan panas. Bahunya terus mengeluarkan darah. Dia tahu, pasti pelajaran mantra telah dimulai beberapa menit yang lalu. Dia pasti terlambat.

Darwin langsung berlari menuju hotel dan membawa buku mantra. Segera dia berlari ke ruangan pembelajaran. Prof. Greture. Oh, si bengis itu! Darwin dengan cepat terus berlari. Rasa sakit pada bahunya semakin menjadi-jadi. Apalagi setelah dia merasa pusing dan amat panas pada seluruh tubuhnya. Rasanya tak mau saja belajar mantra hari ini. Membuatnya semakin malas saja belajar.
Darwin terhenti ketika Prof. Greture sedang menghabiskan kapur di papan tulisnya dan langsung menatap Darwin. Darwin menunduk masih sambil memegang bahunya. Prof. Greture memalingkan pandangan pada bahu Darwin yang berdarah.

"Kenapa bahu kananmu?" tanya Prof. Greture menyelidik.

"Saya berlari dari ruang bawah tanah. Karena gelap dan sempit, bahu saya terkikis tembok batunya," kata Darwin berbohong.

"Kau terlihat sedikit pucat. Kau boleh tak masuk. Kau bisa pergi ke Clawfrintclass. Panggil McProcter. Dia sangat pandai menggunakan mantra pengobatan," suruh Prof. Greture.

Darwin mengangguk pelan sambil menunduk. Sementara Elizabeth menatapnya cemas. Darwin tak menatap kembali ke arah kelas dan segera berjalan menuju hotel Crawfrintclass. Saatnya bertemu Nathly McProcter. Gadis yang disukainya.

Darwin mengetuk perlahan pintu hotel yang dia tuju. Perlahan seseorang membuka pintunya. Dan dia langsung menatap Darwin terkejut.

"Ka-kau mencari siapa?" tanya gadis itu.

"Aku mencari Nathly McProcter."

"Mau apa kau mencarinya?" tanya gadis itu sedikit sinis.

"Aku membutuhkannya. Prof. Greture menyuruhku untuk menemuinya. Luka. Aku perlu bantuannya," kata Darwin menunjukan luka di bahunya.

"Oh, baiklah. Dia sedang menyendiri di kamarnya. Silahkan masuk, kau tinggal naik ke tangga," katanya.

Darwin segera masuk ke dalam ruangan itu. Dekorasi dan hiasan di ruang itu masih sama seperti dia pertama kali ke sana. Juga sangat berbeda dengan ruangan di Drawsentclass. Tangga kayu di Drawsenclass hampir sama dengan di Clawfrintclass. Namun sepertinya dibuat dengan kayu yang berbeda.

Darwin mulai berjalan memasuki kamar McProcter dan menyapanya. Awalnya dia merasa sedikit gugup berada di dekatnya. Namun setelah dia tahu bahwa McProckter sangat ramah, dia tak merasa canggung lagi.


"Lukamu ini sangat mirip dengan cakaran. Tapi aku tak begitu yakin, lagipula mana ada Werewolves di siang hari, hahah," katanya.

Darwin tersenyum padanya. Dia berpikir. Benar juga apa yang McProcter katakan. Mana mungkin Werewolves-manusia srigala-ada di siang hari. Lagipula mereka hanya akan berubah pada malam hari di bulan purnama. Dan itu akan terjadi beberapa hari. Namun kemarin atau pun beberapa hari lalu tak ada bulan purnama. Bulan purnama akan datang seminggu lagi, kira-kira.

"Apakah kau tak keluar asrama?" tanya McProcter.

"Err, tidak, Nathly," balas Darwin memegang bahunya.

"Masih sakit?"

"Lebih baik," kata Darwin mencoba tersenyum manis padanya.
McProcter membalas tersenyum padanya. Sejenak mereka bertatapan mata dan tak sama sekali berkedip. Namun Darwin membuyarkan semuanya hanya dengan satu kali kedipan dan memalingkan wajahnya.

"William," kata Nathly.

"Panggil saja dengan nama depanku," balas Darwin sedikit canggung.

"Ya, Darwin," kata McProcter, "panggil juga aku dengan nama depanku," kata McProcter.

"Baiklah, Nathly," kata Darwin, "oh, ya! Aku ingin berbicara sedikit padamu," kata Darwin sedikit canggung.

"Bicaralah," kata McProcter sediki mendekatkan arah duduk pada Darwin.

"Sebenarnya, ehm, aku, ahh!" kata Darwin canggung, "kau mau, kan menjadi, menjadi kekasihku?" tanya Darwin serius pada McProcter.

McProcter sedikit kaget dengan ucapan Darwin. Dia terlihat tersenyum dan mengangguk pelan membalas pertanyaan Darwin. Darwin ikut membalas tersenyum dan menatap McProcter kembali. Tiba-tiba terdengar suara gebrukan pintu dan terlihat gadis yang tadi membukakan pintu pada Darwin berlinang air mata.
"Ternyata kau menyukai McProcter,"

***

"Darwin, Prof. Robert memanggilmu!" kata Elizabeth tiba-tiba.
Darwin langsung mengangguk dan melangkah pergi menuju ruangan Prof. Robert. Dia berjalan dan segera memasuki ruangan Prof. Robert. Ketika masuk, dia sedikit merapatkan jubah dan seragamnya agar luka cakaran tiga hari lalu tak terlihat oleh Prof. Robert.

"Profesor, apakah anda memanggil saya?" tanya Darwin masuk.

"Oh, duduklah, Darwin," kata Prof. Robert. Di sana ada Kakeknya juga.

"Darwin, berapa umurmu sekarang?" tanya Kakeknya, Prof. William.

"Lima belas," kata Darwin.

"Ya, kurasa kau sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya," kata Kakeknya lagi.

"Mengetahui, apa?"

"Orangtuamu. Sebenarnya Ayahmu adalah penyihir legendaris yang dicari-cari oleh para orang jahat. Maka dari itu, kau tak pernah melihatnya yang asli," kata Prof. Robert.

"Maksud anda, Ayah saya? Saya tak pernah melihatnya?" kata Darwin.

Darwin berpikir. Pantas saja waktu tahun keduanya, saat dia naik kereta dan Elizabeth membacakan penyihir legendaris. Ayahnya, dia melihat potretnya. Dan potret itu tak mirip dengan Ayah yang dia kenal wajahnya. Jadi, sebenarnya dia tak pernah melihat siapa dan bagaimana orangtuanya?

"Lalu, orangtua saya di mana? Apa mereka masih hidup?" tanya Darwin.


"Sayang sekali, kami terpaksa tak bisa menolong mereka," kata Kakek Darwin memotong perkataan yang sudah tersenggal di tenggorokan Prof. Robert.

"Lalu mengapa anda tak memberitahu saya?" tanya Darwin sedikit marah, "apa anda tak merasa kasihan pada saya yang selalu saja tersiksa dan, aw!" kata Darwin menggenggam bahunya yang tiba-tiba berdenyut keras.

"Maafkan aku, Darwin," kata Prof. William.

Darwin menggeleng dan masih menggenggam bahunya yang berdenyut. Dia pergi meninggalkan kantor Prof. Robert dengan amarah yang dipendamnya. Entah mengapa, ketika dia merasa marah, luka di bahunya berdenyut-denyut dan terasa perih lagi. Ditambah bekas luka pada matanya pada saat terkena mantra yang meleset ikut sakit dan terasa mendengung di telinganya. Entah apa yang telah terjadi padanya.
Sementara di kantor Prof. Robert, Prof. William tengah sedikit berdebat tentang perkataan mereka tadi.
 
"Mengapa seperti itu?" tanya Prof. Robert sedikit bingung.

"Aku tahu, tapi dia tak boleh seperti itu," balas Prof. William tenang.

"Ya, tapi itu tak bagus untuknya," kata Prof. Robert tak mau kalah.

"Dia belum cukup dewasa, lihat sikapnya! Kau tahu, kan? Hampir semua kekuatan Ayahnya ada pada dia, aku harus bagaimana lagi? Seharusnya dia yang terlindungi dan tak harus seperti ini. Kau tahu, kejadian-kejadian mengerikan yang melibatkannya membuatku cemas dan khawatir jika dia akan terbunuh Kau tahu? Mereka sudah mengetahui rahasia itu, aku tak mau dia mengetahuinya, cukup kita yang melindungi dan membuatnya tetap aman," kata Prof. William tegas.

"Ya, aku juga tahu bahwa kau sudah tak tahan untuk melihat cucumu dan mengatakan bahwa kau adalah Kakeknya saat dia pingsan. Benar, kan?" tanya Prof. Robert sedikit berang. Prof. William diam.

***

Malam itu bulan yang hampir sempurna menggantung di atas awan hitam. Entah mengapa dia merasa ada hubungannya dengan bulan itu. Entah hal apa yang membuatnya amat erat dengan bulan. Tiap kali dia melihat cahaya bulan bersinar terang, hatinya merasa tak tenang dan sedikit gundah. Dia juga terkadang sering merasa sedikit sakit pada mata dan bahunya jika menatap bulan. Entah apa hubungannya.

Darwin mengambil sebuah buku tebal. Itu adalah buku Elizabeth yang dipinjamnya. Selama itu dia membaca beberapa tentang Werewolves. Di buku itu diceritakan bahwa Werewolves itu akan menurun pada anak dan bisa ditularkan dengan gigitan atau cakarannya. Juga seorang Werewolves akan terus muda dan bisa dibilang abadi. Namun mereka bisa mati jika terkena tusukan atau pun sesuatu yang bisa membuatnya mati. Maksud dari abadi itu tak akan pernah tua. Namun setahunya Werewolves adalah makhluk terkuat yang pernah ada di dunia sihir karena tak akan mempan dengan mantra. Mereka juga sangat buas dan ganas. Sangat sulit caranya jika ingin mengontrol tubuh dalam kesadaran saat menjadi Werewolves. Dan itulah yang ingin

Darwin pelajari. Juga ramuan yang bisa membuatnya tidak berubah saat malam purnama.
Malam itu Darwin melakukan pembelajaran cara untuk mengontrol tubuh saat menjadi Werewolves dan rencana untuk memutuskan Nathly. Dia seharusnya tak mencintai seorang pun walau dalam hatinya. Seharusnya dia tahu akibatnya jika mencintai dan menikah, pasti anak mereka akan terlahir sebagai Werewolves sebagai Ayahnya.

***

Darwin berusaha melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Siang itu dia habis meminum ramuan yang dia buat setelah memutuskan Nathly. Dia lalu mengusap bibirnya dan langsung menuju Elizabeth yang akhir-akhir ini terlihat buruk. Dia selalu berbicara singkat dan seperlunya jika Darwin bertanya atau menyapanya. Dia juga sering menyendiri dan tak begitu dekat dengan Edgar. Begitu pun Darwin, dia tak tahan berada di dekat Edgar karena Sonny yang amat menyebalkan.


"Kau tahu kenapa Elizabeth akhir-akhir ini?" tanya Darwin.

"Willy suka Eylizab!" kata Sonny tiba-tiba.

"Sonny, kau harusnya diam saat Tuanku sedang berbicara!" kata Hipo menegur Sonny.

"Suka-suka Sonny!"

"Sonny, kau harus diam! Kau harus menuruti segala yang aku katakan!" kata Edgar berang.

"Tn. Ferdy juga tak suka menuruti perintah!" kata Sonny membalikan fakta.

"Argghh! Mati saja kau!" geram Edgar berang.

"Bagaimana keadaanmu, Edgar?"

"Semenjak aku dapat dia, hidupku hancur!" kata Edgar mengeluh.

"Oh, itu Elizabeth, Elizabeth!" teriak Darwin.

"Ya, ada apa?" kata Elizabeth.

"Aku ingin mengembalikan buku ini," kata Darwin sambil memberikan buku berjudul 'Sejarah Makhluk Kuno dan Penyihir Legendaris'.

"Oh, terimaksih," kata Elizabeth sambil sedikit berlalu.

"Tunggu!" kata Darwin. Elizabeth mendongak.

"Ada perlu apa lagi?" tanya Elizabeth.

"Aku mau berbicara sesuatu padamu."

"Kumohon jangan lama," kata Elizabeth.

"Aku sudah putus dengan Nathly."

"Apa?"

***

 Malam menjelang membuat matahari harus kembali ke persinggahannya. Darwin menatap sendu jendela kamarnya. Akhir-akhir ini dia selalu merasa sedih dan waspada. Entah karena dirinya, atau pun hatinya. Tapi seberkas rasa menyayat selalu timbul di dalam tubuh kuatnya.

"Darwin, ini gawat!" kata Elizabeth mendobrak pintu.

"Apa yang terjadi?" kata Darwin kaget dan langsung menatap Elizabeth.

"Nathly, dia diculik Troll. Kau tahu, siapa yang sudah mencoba mengalahkan Troll?"

 ***

 Darwin berlari menembus malam bersama Elizabeth dan Edgar. Mereka telah mengurung Sonny dan membuatnya bisu dengan mantra yang menggunakan kata kunci oleh Elizabeth. Tapi memang ada mantra untuk cara membuatnya terbuka.

Elizabeth dan Minimollynya sedang berusaha untuk membereskan beberapa barang yang mereka perlukan untuk diperjalanan. Sementara Edgar dan Darwin masih berlari bersama

angin malam yang menusuk keras dan bersama jubahnya yang berkibar-kibar. Mata Darwin mulai waspada dan terlihat tembus pandang. Dia bisa melihat jarak beberapa kilo meter ke depan yang sudah terlihat seorang yang ditangkap oleh Troll jahat yang raksasa. Darwin tak salah lagi, kemampuannya merasakan sihir hitam telah hilang dengan timbulnya mata tembus pandang benda dan jarak jauh. Dia cukup suka dengan kelebihannya yang satu ini. Tanpa dia ketahui, semua yang ada pada dirinya adalah warisan terbesar dari Ayahnya yang dia punya. Hampir semua kekuatan sihir yang dirinya punya adalah kekuatan milik Ayahnya juga. Tapi kini dia tak tahu Ayahnya ada di mana. Informasi tentang Ayahnya belum begitu jelas.

Darwin menembus pepohonan dan mencoba melacak perginya Troll jahat itu. Dia melihat Troll masuk ke sebuah gudang di dalam hutan yang terlihat sangat lusuh. Darwin sudah tahu bahwa jarak itu masih cukup jauh. Dan dia juga tak yakin akan kuat menempuhnya.

"Nathly berada jauh di sana, kita tak akan bisa untuk menempuh perjalanannya. Terlalu jauh, kurasa kau telah bisa menggunakan mantra untuk menuju gudang itu langsung, Elizabeth?" tanya Darwin.

"Oh, ya! Akan kucoba pakai mantra bergerak," kata Elizabeth.

Elizabeth mulai mengucap beberapa kata. Dan dengan cepat mereka terasa tersedot dan berubah menjadi debu yang terbang dengan cepat juga melesat jauh dari tempat mereka berpijak. Serasa melayang dengan ringan di atas tanah dan berputar seperti angin. Beberapa detik kemudian pun mereka sudah berdiri di atas tanah dengan seluruh tubuh asli mereka.

"Berapa jauh lagi, Darwin?" tanya Elizabeth.

"Kurasa sudah dekat. Cepat, sebelum biji menghilang kita kehabisan waktu!" kata Darwin.

"Tenang saja, aku punya beberapa lagi. Prof. Robert yang memberikannya," kata Elizabeth sambil berlari.

"Kukira Colin," kata Darwin.

Mereka kembali berlari dan terus berlari. Sampai setelah tak terlalu lama berlari, mereka menemukan sebuah gudang kumuh yang berada di sana. Dan Darwin sangat yakin bahwa gudang kumuh itu adalah tempat yang mereka maksudnya.

"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Edgar ragu-ragu.

"Aku yakin aku tak salah," kata Darwin.

Perlahan mereka mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam sana. Darwin mulai merasa Deja Vu ketika dia akan memasuki gudang tersebut. Langkahnya terasa berat dan dia tampak tak mau bergerak sedikit pun. Dia merasa tak bisa untuk ke sana.

"Kau ragu, Darwin?" tanya Elizabeth.

"Entahlah, aku tak begitu yakin untuk masuk ke sana. Rasanya aku merasakan sesuatu yang tak jauh berbeda. Tapi entah apa yang kupikirkan, kupikir ini buruk," kata Darwin tak begitu yakin dengan perkataan dan perbuatannya.


"Ayolah, kau yang bilang ini baik, kita akan baik-baik saja, aku yakin," kata Elizabeth meyakinkan.

Darwin mengangguk pasrah dan mulai berjalan memasuki ruangan itu. Ruangannya gelap dan cukup berantakan. Terdapat banyak sarang laba-laba di sana yang membuat mereka tak begitu nyaman untuk memasuki ruangan itu. Debu yang menyelimuti dinding dan lantai ruangan itu semakin membuat mereka sesak dan pengap.

"Di mana Nathly?" tanya Edgar sedikit waspada sambil terus masuk ke sana.

"Di sana ada pintu, akan kah dia di sana?" tanya Elizabeth.

Elizabeth sekarang terlihat lebih ramah dari sebelumnya. Dia juga terlihat sangat lebih baik pada Nathly. Mungkin ini berhubungan dengan nyawanya, Elizabeth juga tak akan mau membiarkan temannya mati begitu saja walau Nathly telah menyakitinya.

Mereka mulai memasuki ruangan gelap dan sempit itu. Dan benar saja, Nathly tengah dikurung di sana. Elizabeth langsung terkejut dan membaca beberapa mantra untuk melepaskan Nathly. Namun sial, mereka gagal. Tiba-tiba terdengar seseorang berkerasak-kerusuk di luar. Dan tiba-tiba saja, Troll jahat itu membuka pintu dan mendapati mereka bertiga yang tengah berusaha membuka mantra. Elizabeth terkejut dan langsung gemetaran. Sama halnya seperti Edgar. Namun Darwin langsung menyeret mereka dan menyuruh mereka berlari.

Mereka berlari dan mencoba menghindari Troll itu. Tiba-tiba saja luka di bahu dan mata Darwin kembali berdenyut-denyut. Dia menatap langit dan terlihat bulan purnama tengah bergantung di sana. Darwin lupa tak membawa ramuannya. Dan tiba-tiba saja dia merasa sangat kesakitan.

"Kalian pergi cepat, biar aku selamatkan Nathly!" kata Darwin langsung berbalik arah bermaksud agar dia tak terlihat oleh Edgar dan Elizabeth ketika akan berubah menjadi Werewolves.

Elizabeth tadinya berusaha menolak Darwin. Hatinya sebenarnya tak rela jika Darwin menyelamatkan Nathly sendirian. Dia tak keberatan jika dirinya harus menyelamatkan Nathly berdua, bahkan bertiga dengan Edgar. Namun rasanya begitu janggal jika Darwin harus menyelamatkan Nathly sendirian.
Darwin terus berlari dengan rasa sakit dan perubahan di tubuhnya yang mulai terlihat. Dia mencoba beberapa kali menahan dan mengontrol tubuhnya agar bisa menyelamatkan Nathly tanpa mencakar atau pun menggigitnya. Dia berusaha sebisa mungkin agar tak akan ada seorang pun yang bisa dia sakiti.
Saat tubuhnya telah berubah drastis sebagai Werewolves, dia akhirnya bisa mengendalikan tubuhnya dan kesadaran yang masih sama seperti tadi. Darwin berlari. Dia tahu bahwa Werewolves bisa menembus mantra. Dan ini saat untuknya agar bisa menembus mantra dan menyelamatkan Nathly.


Darwin berlari semakin kencang. Ukuran tubuhnya yang membesar hampir mengimbangi Troll walau tidak sebesar Troll. Dia berlari dengan wujud Werewolvesnya yang baru beberapa menit lalu berubah. Dan dia pun segera membanting pintu gudang saat sampai di sana. Begitu dia masuk, Nathly terlihat menjerit melihatnya.

"Jangan berisik!" katanya dengan suara yang agak berbeda. Serak dan berat.

"Jangan sentuh aku! Jangan!" kata Nathly.

Darwin tak mendengarkannya. Dia langsung meraih tubuh Nathly yang menurutnya tak terlalu besar walau dia terus meronta dan menjerit-jerit.

"Kamu harus diam, atau nanti terkena cakaranku!" kata Darwin.

"K-kau siapa?" tanya Nathly mencoba diam.

"Apa kau tak akan memberitahukan keadaanku kepada siapa pun?" tanya Darwin. Nathly menggeleng.
Darwin sedikit berpikir. Apa kah Nathly dapat dipercaya? Dia terus memikirkannya secara masak-masak agar yang dia lakukan tak akan salah. Dan setelah dia pikir-pikir, rasanya Nathly cukup bisa dipercaya juga.

"A-aku, Darwin," kata Darwin sedikit ragu. Nathly terkejut. "Kumohon jangan terkejut, maafkan aku. Luka di bahuku saat itu memang cakaran Werewolves, kau tak boleh banyak bergerak, atau kau akan terkena cakaran juga. Dan satu lagi, aku ingin kau merahasiakan ini. Aku tak bisa memberitahu keadaanku kepada siapa pun, mungkin kau satu-satunya orang yang tahu."

Nathly terdiam. Setelah mereka sampai di ujung hutan, Darwin menyuruh Nathly pergi. Nathly terlihat menangis melihat wujud Darwin yang telah berubah menjadi Werewolves pergi mengembara ke dalam hutan. Dia masih menatap Darwin sampai bayangannya hilang ditelan pepohonan. Setelah itu, dia berjalan sedikit terpogoh ke dalam asrama dan sangat terkejut melihat segala kejadian yang terjadi selama dia hilang.
Sementara Darwin berlari menembus hutan. Dia bermaksud mencari Elizabeth dan Edgar. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat Werewolves yang masuk ke dalam gua. Tak salah lagi, itu pasti Werewolves yang waktu itu menggigitnya. Darwin pun segera ikut masuk ke dalam sana dan tampak seorang wanita lusuh dan kumuh yang tengah duduk bersama Werewolves itu. Wanita itu berambut hitam sama persis seperti dirinya. Wanita itu tengah membuat ramuan untuk diberikan kepada suaminya-Werewolves itu-.

"Ka-kalian siapa?" tanya Darwin.
Keduanya langsung terkejut dan menatap Darwin yang tanpa mereka ketahui sudah masuk dan menatap mereka.

"Kalian siapa? Mengapa ada di sini?" tanya Darwin lagi dengan suara serak dan berat yang bukan merupakan suara aslinya walau ada sedikit kesamaan antara suara aslinya.

"Minumlah, Nak!" kata wanita itu.

Darwin mengambil ramuan tersebut dan membagi dua ramuan itu dan memberikannya pada Werewolves yang lain. Ketika mereka sama-sama meminumnya, wanita kusam yang sedang duduk di sana terkejut seketika. Darwin langsung menatap seorang di sampingnya yang telah berubah ke wujud semula. Dan begitu dia melihat, dia terkejut dan langsung memeluk sosok yang ada di sana itu.

"Benar, kan kau Ayahku?" tanya Darwin masih sambil memeluk sosok itu.

"Oh, kau Darwin? Anakku?" tanya wanita yang duduk di sana yang tak lain adalah Ibunya.
Wanita itu langsung berjalan menuju Darwin. Sementara Darwin langsung memeluknya erat.

"Daniel, apa kau memberikan anakmu Werewolves?" tanya wanita itu, Ibunya yang bernama Sarah William.

"Tidak, aku mencakarnya waktu itu, aku tak tahu kalau yang aku cakar itu dia," sesal Ayahnya.

"Tidak, ini lebih baik untukku, kita sama bukan? Oh ya, omong-o-"


"Aaaaa!"

Darwin terkejut. Sebuah suara teriakan yang sudah sangat dikenal olehnya masuk begitu saja ke gendang telinganya. Dia yakin, Elizabeth pasti telah tertangkap oleh Troll jahat itu dan mencoba melepas diri. Dan Edgar, dia pasti berusaha menyelamatkannya.

"Dia temanmu? Cepatlah selamatkan dia, dan tolong kau tak boleh memberitahukan keadaan kami kepada siapa pun," kata Ayahnya Darwin.

Darwin hendak berbicara namun dia terpotong oleh menghilangnya kedua orangtuanya dari gua itu. Serentak Darwin mengambil langkah seribu untuk bisa menyelamatkan Elizabeth. Walau dalam benaknya masih terpampang jelas wajah tirus orangtuanya yang seperti hampir tak memiliki daging.

Darwin mencoba melacak dengan penglihatannya di mana kini Edgar dan Elizabeth berada. Dan beberapa detik kemudia, dia sudah tahu di mana Elizabeth dan Edgar berada. Sejenak dia mencoba berpikir tentang cara untuk mengalahkan Troll jahat itu. Dia sudah tahu bahwa caranya adalah dengan membuatnya pusing dan memilih dua cara. Karena mereka tahu, bahwa kelemahan Troll adalah bodohnya dia.

Darwin langsung berlari dan mendapati Elizabeth yang tengah dijadikan mainan oleh Troll itu. Sementara Edgar sedang berusaha untuk mengalahkan Troll itu. Ketika Darwin datang, Darwin langsung mengundang perhatian Troll dengan memantrainya. Dan langsung saja Troll itu berusaha mengejar Darwin. Entah darimana, tiba-tiba Darwin berpikiran untuk membuat bayangannya lebih dari satu. Dan tiba-tiba tubuhnya seperti membelah dan terus membelah sampai seperti mengelilingi Troll itu. Seketika, si Troll langsung pusing dan melemparkan Elizabeth. Ketika Elizabeth akan jatuh, Edgar memantrainya menjadi melayang-layang dan Darwin segera menyuruh Edgar untuk menyelamatkannya selagi Darwin mengecoh Troll.

***

 Darwin berjalan gontai. Dia menahan agar air matanya tak turun. Sungguh sebuah duka yang sangat menusuk hatinya. Kakeknya, dia tak akan menyangka jika Kakeknya akan pergi secepat itu. Dia tak tahu bahwa selagi dia pergi, para penyihir jahat itu datang ke sekolah dan memporak-porandakan semuanya. Bahkan ketika dia pulang, mereka masih di sana dan menyerangnya. Sehingga kini dia mendapat beberapa luka yang belum kering di tubuhnya.
Darwin duduk di kamarnya sendirian sambil menatap matahari terbit yang bersinar dari ufuk timur keoranyean. Prof. Robert tiba-tiba datang dan membuka pintu sambil berjalan duduk di sampingnya.

"Aku tahu kau sangat bersedih," kata Prof. Robert, "kau masih punyaku. Aku akan menjagamu sebagai pengganti Ayahmu," kata Prof. Robert.

"Terimakasih, Profesor. Boleh kah saya bertanya sesuatu?" tanya Darwin.

"Tentu saja, silahkan," kata Prof. Robert.

"Apa ada Werewolves yang bisa berubah tak hanya ketika sedang malam purnama?" tanya Darwin.

"Tentu ada, dia yang menyimpan cahaya bulan di tubuhnya begitu. Saat dia marah, cahaya bulan itu akan bersinar sama halnya seperti bulan purnama, jadi dia bisa berubah pada saat itu. Memangnya ada apa, Darwin?" tanya Prof. Robert.

"Tidak, aku hanya ingin diajari cara untuk menolak pembaca pikiran. Maukah kau mengajariku?" tanya Darwin.

"Tentu, siapa yang selalu membaca pikiranmu?"

"Seseorang."

 ***

Sore itu suasana kelam. Setelah Darwin mencoba belajar mantra penolak pikiran, dia berjalan keluar dan menatap matahari terbenam. Dia duduk sendirian bersama lembayung sore yang mulai timbul di awan. Juga bersama angin yang bergulir seirama dengan desahan nafas yang dihembusakannya.

"Darwin," seru Elizabeth lembut dan ikut duduk di samping Darwin.

"Ya," balasnya tanpa menatap Elizabeth.

"Boleh kah aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Elizabeth sedikit serius.

"Tanyakan."

"Apa kau menyukaiku?" tanya Elizabeth.

"Ya, aku suka caramu mengerjakan semua soal dengan kepintaranmu," kata Darwin.

"Tidak, maksudku bukan seperti itu, maksudnya menyukaiku tak dengan segala yang aku punya. Menyukaiku apa adanya," kata Elizabeth, "atau maksudnya mencintaiku," lanjutnya lagi.

"Kupikir, tidak. Tapi aku berharap ya," kata Darwin tenang.

"Tidak kah kau mencintaiku?" tanya Elizabeth kaget.

"Sepertinya tidak," balas Darwin.

"Aku tak percaya!" kata Elizabeth. "Kau memblokku agar tak bisa membaca pikiranmu?" tanya Elizabeth.
Darwin terdiam. Sungguh sesuatu yang salah yang telah dia kerjakan. Mengapa dia sungguh munafik? Hatinya berkata bahwa dia memang mencintai Elizabeth. Lalu untuk apa berkata tidak?

"Edgar yang menyelamatkanmu, seharusnya kau mencintai dia," kata Darwin.

"Lalu mengapa tak kau saja yang menyelamatkanku agar aku bisa mencintaimu? Seperti kau menyelamatkan Nathly!" kata Elizabeth.

"Setiap yang terjadi jarang bisa terulang dua kali," kata Darwin.


"Aku mencintaimu, aku yakin kau juga mencintaiku! Aku tak percaya jika kau tak punya sedikit pun rasa padaku, kita sudah lama bersama!" kata Elizabeth sedikit terisak dan berteriak.

"Ya, sudah lama," kata Darwin menatap Elizabeth.

Mata Darwin sedikit panas ketika melihat bibir Elizabeth yang bergetar mencoba menahan air mata yang hendak keluar dari matanya. Dia menggigit bibir dan tak menatap Elizabeth kembali. Pecundang! Dia hanya seorang lelaki pecundang. Tak punya keberanian untuk mengaku cintanya pada gadis yang dia cintai. Tapi bagaimana lagi? Dia tak bisa mencintai dengan dirinya yang lain. Dia harus mengakui bahwa dia sebenarnya tak pantas untuk dicintai. Jadi apa yang harus dia lakukan? Menyakiti hati gadis yang dia cintai?

"Maafkan aku Elizabeth, aku tak bisa memaksakannya. Aku takut aku tak bisa," kata Darwin.

"Pengecut! Kau masih mencintai Nathly, kan? Begitu?" tanya Elizabeth.

"Entahlah, banyak hal yang tak aku ketahui, bahkan aku mengira telah mengenal diriku. Tapi ternyata tidak, banyak kemampuan yang tak aku pikirkan bisa kulakukan," kata Darwin.

"Ya, jadi apa yang membuatmu bahagia? Apa yang bisa kulakukan untukmu? Demi orang yang sangat berharga bagiku?" tanya Elizabeth menyeka air matanya.

"Cintai Edgar," kata Darwin.
Elizabeth menyeka air matanya. Dia lalu berjalan masuk ke dalam asrama. Beberapa menit kemudian, dia keluar sambil memeluk Edgar. Ketika Darwin melihatnya, dia memaksakan tersenyum walau terasa menyayat.

"Hy, Edgar? Kau telah jadian dengan Elizabeth?" tanya Darwin mencoba menyembunyikan wajah dan suaranya yang terlihat sedikit serak.

"Ya," bisik Edgar.
Elizabeth diam melihat senyum Darwin. Dalam hatinya berbisik bahwa Darwin adalah orang yang hebat menyembunyikan sesuatu. Dia tak pernah mengenal Darwin yang seperti ini sebelumnya.

Darwin menatap Edgar dan Elizabeth yang berlalu dari hadapannya. Dia tahu, inilah yang dia inginkan. Edgar, dia tahu Edgar sangat mencintai Elizabeth. Tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Dia hanya berharap Elizabeth bisa bahagia bersama Edgar begitu pun Edgar dan dirinya.
Malam menutup kisah kelam yang telah datang. Lembayung pun sudah menghilang ditelam alam. Darwin masih menatap langit temaram dan menanti terbitnya bulan. Walau rasa perih yang menyayat masih menusuk di hatinya dengan tajam, setidaknya dia masih punya harapan untuk menjalani kehidupan yang layak dan seperti yang lainnya. Banyak yang mengira bahwa dia mempunyai hidup yang sempurna. Dia tampan, terkenal, pintar dan bebas memilih gadis yang menyukainya. Tapi bisikan dalam hatinya hanya berharap dia bisa seperti masa lalu saat dia pertama kali masuk Grondey. Tak banyak yang mengenal dan mengaguminya. Tapi takdir tetap takdir. Dia tak akan bisa mengubahnya.

Darwin masih menatap cahaya temaram rembulan. Seharusnya dia berubah malam ini. Tapi dia sudah minum ramuan, tak akan mengalami perubahan. Sebenarnya dia ingin sekali menjadi pria yang sederhana. Tak tampan, tak pintar, tak terkenal dan biasa-biasa saja. Keadaannya kini hanya membuatnya tak bisa berbuat seperti yang dia inginkan. Dia banyak musuh, seperti yang baru saja terjadi semalam. Para penjahat itu sengaja menculik Nathly agar Darwin tak bisa menyelamatkan sekolah. Bagaimana pun juga, mereka sudah tahu bahwa Darwin adalah orang yang baik dan pasti mengganggap mahal nyawa.

Akhir cerita, kini dia kehilangan segalanya. Kakek, orangtua, teman dan semua orang yang berharga baginya. Dia tak akan biasa-biasa saja. Kini dia adalah seorang pahlawan kesepian.

-SELESAI-

The Grondey: Board of Death

The Grondey and The Board of Death

Hari ini Grondey Express mulai berdecit lagi. Suara decitan itu hampir terdengar ke seluruh penjuru kereta. Darwin, Elizateh dan Edgar berada di kompartemen yang sama. Darwin dan Elizabeth tengah mengobrol bersama. Dan hal itu membuat Edgar merasa bosan dan jengkel.

"Darwin, coba tebak, mengapa waktu itu kita hanya berkeliling di sekitar hutan terus menerus, itu karena kita sudah sampai!" ucap Elizabeth riang ketika sesuatu terpikirkannya.

"Oh, yeah. Kau benar, Elizabeth," ucap Darwin sedikit malas.

"Darwin, lihat! Aku sedang membaca beberapa jenis makhluk mitologi kuno yang katanya ada di dunia sekitar Grondey. Aku juga sedang membaca beberapa penyihir legendaris. Dan di sini ada Ayahmu, Darwin!" ucap Elizabeth sambil menunjuk salah satu foto di buku tebal yang sekarang tengah dipegangnya.

"Coba kulihat! Tunggu, ini tidak mirip de-"

"Hy, Darwin, Elizabeth, Edgar!" sapa Polly menyela pembicaraan Darwin.

"Hallo, Polly, eh, hallo juga Bert," sapa Elizabeth membalasnya.

"Oh, ya! Kau tahu, ada murid baru di kompartemen sebelah. Aku tak pernah berharap bisa satu hotel dengannya," bisik Bert pada kalimat terakhir.

"Ya, dia hampir mirip seperti Dustin, dia membawa dua koper dan sebuah tas besar yang ketiga-tiganya penuh! Mirip!" kata Polly antusias.

"Hay semua!" sapa Dustin tiba-tiba.

"Kurasa dia datang," bisik Polly ke telinga Bert.

"Bagaimana musim panas kalian?" tanya Dustin mencoba ramah.

"Ya, tidak buruk," balas Edgar.

"Kurasa aku buruk," jawab Darwin.

"Musim panasku tak sama sekali buruk," kata Elizabeth riang.
Dustin tersenyum dan berjalan sambil menutup pintu kompartemen kereta. Dia mungkin hanya ingin menyapa beberapa orang yang dia kenal. Agar terlihat lebih ramah. Begitu juga Bert dan Polly, mereka kembali ke kompartemenya tepat ketika Dustin datang. Dan tanpa berkata apa-apa tentang murid baru yang menurut mereka mirip sekali dengan Dustin ketika pertama kali datang ke Grondey.

"Darwin, aku sudah tak sabar dengan Minimolly kita! Kapan, sih mau ada?" tanya Edgar tak sabar akan kedatangan Minimollynya.

"Minimollymu pasti akan sangat buruk! Lihat saja dirimu!" ucap Elizabeth sambil membaca beberapa keterangan tentang Minomolly. "Minimolly bisa disebut juga dengan kembaran kita. Dia selalu menyesuaikan diri dengan Tuannya. Jika dia malas sepertimu, maka Minimolly itu juga akan malas," lanjut Elizabeth sedikit menyindir pada Edgar.

"Ya, jika luar biasa seperti Darwin pasti akan luar biasa juga, kan?" tanya Edgar mengerling ke arah Darwin.

"Ya, kurasa kau benar," balas Elizabeth malas.

***

 Darwin sedikit membereskan barang-barangnya dan buku-buku yang akan dia pakai di tahun keduanya ini dengan tangannya sendiri. Sementara Elizabeth berusaha membaca beberapa mantra untuk merapikan barang-barang secara langsung. Dan Edgar, dia hanya membiarkan barang-barangnya tergeletak lemah di dalam kopernya dan tak sama sekali menyentuhnya.

"Waw, namanya Verby Russle. Dia salah satu anak menteri," ucap Bert sambil duduk di atas kasurnya.

"Tapi dia terlihat sangat bodoh, seperti orang idiot," kata Polly mengejek.

"Kau jangan mencela!" ucap Elizabeth sambil berjalan menuruni tangga.

"Tapi itu fakta!" kata Bert antusias.

"Ya, dia benar. Coba saja, Clawfrintclass adalah kelas rendah! Seharusnya anak menteri masuk ke kelas tinggi seperti, Agreniaclass, Drawsenclass, atau Elyasclass. Itu cukup bagus, tiga kelas terbaik," kata Polly santai.

"Ya, tadinya Drawsenclass juga kelas rendahan, lho! Setelah Darwin datang, baru Drawsenclass menjadi kelas tinggi. Siapa tahu Verby juga bisa membuat Clawfrintclass jadi kelas tinggi," kata Elizabeth antusias. Bert terdiam. Sementara Polly hanya berdiri saja.

"Sudah! Jangan diam di sana, lebih baik ajak saja Polly untuk belajar sapu terbang. Aku sangat prihatin jika melihatnya wajahnya ketika dimarahi Prof. Lopez!" kata Elizabeth menahan tawa.

"Baiklah! Mengapa juga aku begitu bodoh naik sapu? Padahal mereka semua bilang itu pelajaran paling mudah. Dustin, anak lugu itu juga bisa! Lalu mengapa hanya aku saja yang tak
bisa mengendarainya?! Arrghh! Bodoh, dasar bodoh!" geram Polly gusar.
Darwin nyengir melihat Polly yang sampai segitu marahnya karena tak bisa naik sapu. Sementara Edgar terlihat sangat bersantai sekali di atas kasurnya sambil menyilangkan kedua tangannya dan meluruskan kaki panjangnya di atas kasur berseprai putih. Dan Elizabeth terlihat terkekeh sambil memegang pegangan tangga.

"Aku sangat prihatin padanya. Entah mengapa dia begitu bodoh bersapu terbang. Padahal pelajaran itu cetek banget," kata Edgar sambil mengusap rambut coklat tuanya yang sedikit berminyak. Elizabeth dan Darwin mengerling ke arahnya sambil sedikit tertawa.

"Apa dia bodoh?" tanya Edgar.

"Kurasa tidak, dia cukup baik mengucap dan mempraktekan mantra," kata Darwin sambil menarik sebuah buku dari atas laci mejanya.

"Ya, dia juga cukup pandai menjaili oranglain," kata Elizabeth dan duduk di atas kasur Darwin.

"Tapi dia sangat bodoh dalam hal terbang," komentar Edgar.

***

Beberapa bulan terakhir ini jadwal sekolah sangat penuh. Sampai-sampai Darwin tak punya banyak waktu untuk bersantai dan menyimpan bukunya. Menurut Elizabeth, ini adalah saat-saat paling menyenangkan baginya. Tak ada yang lebih baik selain adanya pelajaran tambahan. Padahal ini adalah saat-saat paling buruk bagi Darwin dan Edgar. Mereka jadi tak bisa lebih banyak bermain ketika istirahat karena terlalu banyaknya PR yang harus dikerjakan. Mereka juga harus punya perkamen tambahan dan membelinya di Zongokertomark-semacam pasar-. Dan sangat beruntung sekali daerah itu tak terlalu jauh dari Grondey.
Darwin dan Edgar biasanya membeli kebutuhan sekolah di Porkstil. Di sana tempat paling lengkap tentang alat-alat sekolah. Juga Mr. Collage, penjaga toko tersebut sangat ramah sekali pada mereka berdua. Apalagi setelah tahu bahwa Darwin adalah anak dari salah satu penyihir legendaris dan cucu dari kepala sekolah Grondey. Dia jadi selalu bersikap baik pada Edgar dan Darwin.

***.

"Aaaaaa!" teriak Elizabeth.

Semua murid perempuan maupun laki-laki langsung
menyapa teriakan Elizabeth yang ada di lantai atas kamar laki-laki. Terlihat di sana Elizabeth tengah berdiri di atas kasurnya dengan sedikit bercak darah di atas kasurnya. Dan juga ada sedikit darah di bagian belakang piamanya. Elizabeth sedikit menarik piamanya ke atas. Dia tampak menangis. Tiba-tiba semua anak yang ada di sana menertawakan Elizabeth yang tampak bodoh.

"Arrgghh!" geram Elizabeth dan langsung berlari menuju toilet ketika semua mata tertuju padanya.
Darwin dan Edgar persis melihat Elizabeth berlari dengan wajah yang kusam dan berang. Memang mereka berdua yang sedang ada di kamar sendiri. Dan bagitu terkejutnya Edgar ketika melihat piama Elizabeth bagian belakang terdapat darah.

"Dia haid, hahah!" kata Edgar terkekeh dan menertawakan Elizabeth.

"Sudah tak asing lagi, dia sudah berumur tiga belas tahun," kata Darwin.

"Ya, sepertinya dia mulai menyukai seseorang. Yaitu, aku!" kata Edgar percaya diri.

***

 Hari ini Elizabeth tak masuk ke kelas. Mungkin dia hanya berdiam diri di kamarnya atau menangis di toilet. Dia mungkin merasa malu akan hal itu. Padahal itu hal normal dan tak perlu dipikirkannya. Dia hanya malu karena telah berteriak dan dilihat oleh dua puluh anak Drawsenclass. Karena tiga di antaranya adalah Elizabeth, Darwin dan Edgar. Dan yang paling buruk baginya, Polly dan Bert! Dia yakin, pasti dirinya akan menjadi buah bibir di sekolah.

"Aku sedikit kasihan pada Elizabeth, dia pasti malu," kata Edgar cemas ketika pelajaran mantra telah selesai.

"Ya, padahal tak perlu dipermasalahkan saja," kata Darwin.

"Hey bodoh!" sapa seorang pria jangkung berambut hitam dan berkacamata pada Edgar.
Edgar mencibir sambil menatapnya sinis dan menyumpah-nyumpahinya. Dia seperti sangat membenci orang itu. Orang yang waktu kelas satu mengajak Drawsenclass berkeliling. Pria yang cukup tampan.

"Siapa dia?" tanya Darwin penasaran.

"Dia? Cowok gila itu? Sebenarnya aku tak mau mengakui ini, namanya Edmund, dia Kakakku, dia kelas empat. Mentang-mentang jadi murid kesayangan dari kelas tiga, dia jadi suka
berlagak sok padaku. Padahal aku yakin, dia tak lebih baik darimu," kata Edgar sambil memasang wajah geram, "dia gila, aku selalu dimarahinya jika mendapat nilai yang kurang baik. Padahal itu bukan salahku, aku juga yakin, aku bisa lebih baik daripada dia. Bahkan seluruh sekolah telah mengetahui aku, kau dan Elizabeth oleh pencarian jamur dan menyelamatkan Kepala Sekolah," kata Edgar.

"Tapi mengapa rambut kalian berbeda?" tanya Darwin.

"Mungkin karena aku mirip Ayah, rambut Ayahku coklat tua. Sementara dia sama seperti Ibuku, cerewet, sombong, argghhh!" kata Edgar.
Darwin hanya terdiam. Edmund, dia tak pernah menyangka seperti itu. Dulu dia menyukai Edmund, tampaknya dia terlalu bersikap buruk pada adiknya. Dia juga kadang tak suka saat Billy dan Nelly melemparinya dengan saus tomat. Itu membuatnya sakit hati.

"Omong-omong Elizabeth kenapa, ya? Kita harus lihat dia dulu," kata Darwin lagi cemas akan sahabatnya.

Mereka berdua segera masuk ke hotel. Hari ini istirahat sedikit panjang. Dan kebetulan sekali tak ada PR yang selalu menemani mereka selama ini. Bagaimana pun juga, mereka harus mengetahui keadaan sahabatnya. Selama setahun ini mereka banyak dibantu oleh Elizabeth.

"Hy Elizabeth!" sapa Darwin ketika Elizabeth sedang duduk murung di atas kasurnya.

"Eh, hallo Darwin, Edgar! Terimakasih mau menemuiku," kata Elizabeth menyeka air matanya.

"Kau tak usah memikirkan hal tadi," tenang Edgar sambil duduk di sampingnya.

"Terimakasih, Edgar," kata Elizabeth.

"Hari ini pelajaran mantra halaman 76. Hanya satu pembelajaran hari ini. Tadi Prof. Robert bilang ramalan tak akan masuk. Dan Prof. Lopez juga bilang kalau sapu terbang hari ini tak akan belajar juga," kata Darwin.

"Dan aku yakin Polly bahagia," lanjut Edgar.
Elizabeth pun tersenyum dan langsung membawa banyak buku entah ke mana. Darwin dan Edgar hanya menatapnya.

"Si Eugene-penjaga sekolah-nggak ada?" tanya Edgar.

"Entah, dia paling di gudang. Biasa, cuma di sana istirahatnya. Kalau tiap hari ngepel aula depan, kan bosan. Dia juga paling ke ruang bawah tanah, kamarnya. Sebenarnya ada apa, sih, di sana? Mr. Eugene rahasia banget," kata Darwin dan berjalan menuruni tangga kayu.

"Kita bisa keluar, dong! Di depan halaman sekolah kayaknya asyik banget!" kata Edgar antusias.

Mereka pun segera pergi untuk menuju ke halaman depan. Mumpung Mr. Eugene tak ada, waktu ini harus digunakan sebaik-baiknya. Berhubung akhir-akhir ini pelajaran penuh terus menerus setiap hari. Sampai hari libur pun mereka berkutat pada pena bulu angsa dan perkamen mereka. Jadi pada 
waktu emas seperti ini sangat sayang untuk disia-siakan.

"Aku dapat! Ayo bawa, cepat!" teriak Polly sambil memanggul benda berwarna coklat ke luar sekolah.
Bert ada di belakang Polly dan Dustin juga Verby mengejar-ngejar mereka. Edgar dan Darwin tampak mengernyit.

"Ada apa?" kata Darwin.

"Kita kejar saja, ayo!" ucap Edgar lalu ikut mengejar Bert dan tiga orang lain di sana.

Mereka terus berlari ke luar sekolah. Bert langsung meletakan papan coklat itu di atas rumput. Dan terlihat di sana hanya ada secarik perkamen, sebuah tongkat sihir dan papan coklat yang di tengahnya ada tulisan 'play'. Bert sedikit kebingungan menatapnya.

"Verby, darimana kamu dapat ini? Keren banget permainannya!" kata Bert melihat setiap sudut dari benda itu.

"Jangan! Kembalikan benda itu!" kata Verby.

"Tunggu, Bert!" kata Elizabeth tiba-tiba. "jangan sentuh benda itu! Beberapa benda hitam bisa berbahaya untuk kita!" kata Elizabeth.

"Aku sentuh!" ucapnya sambil menyentuh tombol play dengan tongkat sihir yang ada di sana. "lihat! Tak ada apArrgghhh!" teriak Bert dan tiba-tiba saja tersedot ke dalam papan permainan itu.

"Bert ohhh!" kata Elizabeth dan langsung tersedot ke dalam sana dengan buku-bukunya.

"ElizabArgghhh!" teriak Edgar.

Polly, Dustin, Verby, dan Darwin langsung melotot. Mereka langsung berlari mencoba menjauhi angin yang tiba-tiba keluar dari papan permainan itu. Mereka terus berlari dan akhirnya mereka pun tersedot ke dalamnya.

Darwin tertarik dan perlahan bayangannya mulai menghilang. Tubuhnya terasa terkikis
dan tak menginjak tanah. Dia merasa sangat pusing dan ingin muntah. Sampai tubuhnya terhuyung ke tanah, matanya langsung berair dan dia merasa mual. Entah hal apa tadi yang membuatnya benar-benar merasa tak enak.

"Di mana ini?" tanya Darwin sambil mencoba membenarkan tubuhnya.
Tiba-tiba Dustin datang tepat setelahnya. Dan Verby juga tiba-tiba muncul terjatuh dengan keras. Setelah itu Polly meluncur bersama papan permainan yang jatuh tepat di atas kepalanya yang sedang tengkurap.

"Arrgghh!" kata Polly menyingkirkan papan permainan besar itu.

"Sini Polly, coba kulihat!" kata Elizabeth.

Elizabeth langsung menarik benda kotak yang cukup besar itu. Dia sedikit melihat-lihatnya. Dia pun mengambil salah satu buku tebal yang tertata rapih di dekat Edgar duduk. Ketika dia membaca buku dengan serius, dia tiba-tiba terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangan membuat yang lain bingung dan heran.

"Ada apa, Elizabeth?" tanya Edgar mencoba melongo ke arah buku yang dibaca Elizabeth.

"Ini semua gara-gara kau, Bert!" kata Elizabeth menyalahkan.

"Kenapa harus aku?" tanya Bert tanpa dosa.

"Ya, kau penyebab semua ini! Aku sudah memperingatkanmu untuk tak menyentuhnya! Tapi kau malah menyangkal! Lihat sekarang, kita tak bisa pulang! Hanya satu-satunya cara yang bisa membuat kita pulang. Bermain Board of Death. Kita tak tahu apa benda ini berbahaya atau tidak, tapi menurut buku ini, benda ini memiliki sihir jahat yang sangat kuat. Benda ini bisa memanggil apa saja yang dia kehendaki. Dan perkamen juga tongkat ini, ini adalah alatnya. Perkamen ini nanti akan memunculkan peringatan atau bisa menjadi sebuah teka-teki. Sementara tongkat ini untuk bermain. Lihat papan ini! Hanya satu orang yang bisa membuat kita selamat, hanya Darwin," kata Elizabeth memelankan suara pada akhir kalimat.

"Aku?" tanya Darwin.

"Ya, lihat! Jalur Darwin yang menunjukan kita ke finish dari permainan ini. Kita bermain sesuai dengan waktu kita jatuh, namun dari keempat sampai ketujuh dibalikan. Jadi, di sini Darwin dapat jalur keempat, namun boleh bagian terakhir. Bert pertama, Aku kedua, Edgar ketiga, Polly keempat, Verby kelima, Dustin keenam, dan kau terakhir. Dan jalurnya, Bert kesatu, aku kedua, Edgar ketiga, Darwin keempat, Dustin kelima, Verby keenam dan terakhir kau, Polly. Oh, ya, aku hampir lupa. Kita harus bersiap-siap dengan tongkat kita, kau tahu, kan? Bisa saja bahaya menyerang secara tiba-tiba, aku juga harus mengantongi bukuku dan memperkecilnya lalu memasukan ke dalam saku bajuku. Agar tidak hilang, Lugtletuf Book!" ucap Elizabeth sambil menjentikan jarinya.

Buku itu perlahan mulai mengecil sampai bisa muat ke dalam saku jubah Elizabeth. Elizabeth langsung memasukan semua bukunya ke dalam saku jubah coklat miliknya. Dia menghela nafas. Bert dan Polly menatap Elizabeth yang menurutnya sangat pandai.

"Bagaimana caranya kau membesarkan buku itu lagi?" tanya Bert bingung.

"Oh, itu gampang, tinggal hilangkan saja mantranya dengan mengembalikan ke keadaan semula, Farobucksent," kata Elizabeth enteng, "tapi aku belum coba praktek, Darwin pernah melakukannya pada Samantha. Dia berhasil," kata Elizabeth lagi.

"Oh, ya! Yang waktu ada kembang api itu, kan?" tanya Bert.

"Ya, tapi kalau buku ini nggak bakalan ada kembang api, hanya mantra biasa. Kalau yang dipakai Samantha, itu mantranya kuat," kata Elizabeth, "kita harus cepat, mainkan permainannya, jangan tanya-tanya terlebih dahulu, nanti keburu malem," kata Elizabeth lagi.

Bert mengangguk. Dia langsung meraih tongkat sihir khusus untuk permainan itu. Dia langsung menjentikan tongkat pada sebuah nama 'Bert Wilson' di jalur pertama. Tiba-tiba saja nama itu berjalan beberapa langkah ke depan. Sepertinya tiga langkah. Dan perkamen panjang terbang ke arah Bert. Perlahan terukir tinta hitam dengan tulisan tegak bersambung yang tiba-tiba muncul tanpa tinta.

"Perjalanan pertama dimulai. Jangan menghindar jika matahari mulai tenggelam," ucap Bert membaca huruf-huruf dan kata yang tercetak di perkamen itu.
Dan setelah dia selesai, perkamen itu terbang lagi ke tempat semula. Tinta di perkamen itu mulai pudar dan menghilang. Perkamen itu kembali putih bersih dengan sedikit warna coklat tua di setiap sisinya.

"Perjalanan pertama dimulai, jangan menghindar walau matahari tenggelam, apa maksudnya?" tanya Bert bingung.

"Mungkin ini teka-teki. Atau peringatan, ya? Kurasa peringatan, mungkin maksudnya walau pun malam, kita tetap dalam bahaya," kata Elizabeth.

"Jadi maksudnya, kita tak akan tidur?" tanya Polly.

"Kurasa, ra-Lariiiii!" teriak Elizabeth tiba-tiba.

Semua kaget. Dan langsung memeriksa ke arah
belakang mereka. Seketika semuanya langsung mengangakan mulut dan berlari tunggang langgang menjauhi makhluk yang ada di sana.

"Makhluk apa itu, Elizabeth?" teriak Darwin berusaha berlari secepat mungkin.

"Itu, namanya-hah-hah," kata Elizabeth terengah-engah.

Darwin masih menunggu jawaban Elizabeth sambil berlari. Seperti biasa, Edgar berteriak-teriak histeris ketika melihat makhluk besar itu. Sama ketika dia bertemu Troll jahat dan juga ketika masuk lorong bawah tanah untuk pergi ke Grondey. Sementara Dustin terlihat sangat syok dan trauma melihat lima puluh kepala juga seratus kaki yang ada di belakangnya.

"Mengapa dia memiliki kepala dan tangan yang sangat banyak?" tanya Polly sedikit terengah.

"Namanya-namanya Hecatoncheires," kata Elizabeth terengah-engah juga.

"Oh, artinya seratus tangan!" kata Verby terlihat kaget dan terkejut.

Mereka terus berlari sambil berteriak. Tak ada mantra yang bisa membuat makhluk besar raksasa itu lenyap. Makhluk itu terus mengejar-ngejar ketujuh anak tersebut sambil menyingkirkan beberapa pohon yang tengah menggugur-gugurkan daunnya dengan keras. Makhluk itu memang tak berlari, hanya berjalan pelan. Namun satu langkah sama dengan berpuluh meter mereka berlari.

"Elizabeth, apa yang harus kita lakukan, aku sudah capai!" keluh Edgar.

"Kenapa bertanya padaku, kita harus-Aaaaaa!" teriak Elizabeth ketika seratus tangan kuat itu hampir menarik kakinya.

"Semut kecil, di mana kau?" kata suara menggema keras dan besar sambil mencabut tanaman-tanaman dengan tangan-tangannya yang kuat.

"Dia, dia makhluk mitologi kuno yang katanya masih ada, aku membacanya waktu naik kereta, mereka punya tangan yang sangat kuat. Banyak juga yang berkata bahwa mereka adalah jahat dan sangat mendukung sekali kejahatan. Mereka suka merusak," kata Elizabeth menjelaskan.

"Kita tak butuh penjelasan tentang makhluknya, yang kita butuhkan cara penyerangannya!" kata Darwin.

"Aku tak tahu, Darwin. Tak ada orang yang pernah menyerang makhluk ini setahuku. Mereka hidup di zaman dahulu," kata Elizabeth cukup nyaring dan sedikit tersendat-sendat.

"Aku rasa- kita harus- bersembunyi terlebih dahulu, kita- tak mungkin melawan- mereka," kata Verby terjeda-jeda.

"Mereka? Maksudmu dia? Dia seorang," gumam Polly.

"Yeahh! Mereka, dia memang seorang, tapi kepalanya begitu banyak, tak salah, kan jika ak-"

"Merunduk!" teriak Darwin ketika kepala mereka hampir saja tertangkap oleh puluhan tangan yang merayap.

"Aku-lelah, Darwin!" kata Edgar dengan nafas cepat.

"Kurasa, ide- Verby bagus! Kita- harus cari- gua!" kata Darwin terengah-engah sambil sedikit mengusap wajahnya.

"Arrgh!" geram makhluk itu masih terus mengejar mereka semua.

"Lihat! Di sana ada gua! Aku yakin kita bisa istirahat sekarang, cepat!" teriak Elizabeth sambil menunjuk sebuah lubang hitam dan gelap yang tak terlalu jauh dari mereka.

"Baiklah, bagus-Elizabeth," kata Dustin sudah terlihat sangat kelelahan dan gemetaran.

Dengan cepat, mereka langsung berlari ke arah gua kecil yang mereka yakin tak akan muat untuk satu tangan makhluk itu pun. Mereka sudah kelelahan. Mereka juga sudah tak kuat lagi untuk berlari.

"Aku lelah, aku tak mau mati di sini!" kata Edgar.

Akhirnya mereka semua berhasil masuk ke dalam gua kecil dan gelap itu dan benar-benar merasa sangat lega. Elizabeth dan Darwin langsung menyalakan tongkat sihirnya. Ketika keadaan sedang hening, yang hanya desahan nafas terdengar, Edgar tiba-tiba terkejut.

"Papan permainannya! Di mana?!" kata Edgar begitu kaget dan sangat terlihat seperti orang yang tiba-tiba kehilangan ingatannya.

"Tenang saja, Edgar! Kau tak perlu terkejut seperti itu! Aku sudah membawa dan memperkecilnya ketika kalian terkejut, lagipula kita tak akan lupa," kata Darwin mengeluarkan sebuah kotak kecil sebesar korek api.

"Farobuckshent!" katanya sambil menjentikan tongkat ke arah papan permainan yang mengecil itu.
Beberapa detik, papan itu mulai membesar dan menjadi besar seperti sedia kala. Dan Edgar terlihat sangat senang.

"Baiklah bagus sekali, sekarang bagian siapa? Aku ingin cepat-cepat pulang!" kata Edgar antusias.

"Hhh, aku tak terlalu yakin jika kita main, kita bisa pulang. Aku tak yakin," kata Elizabeth sedikit mengeluh.

"Setidaknya kita punya harapan," balas Darwin mencoba menerawang apa yang terjadi.

"Apa kau masih menggunakan kelebihanmu itu?" tanya Elizabeth ketika semuanya diam.

"Aku tak tahu, padahal mungkin di sini banyak sekali sihir jahat, tapi-"

"Semua sihir jahat, Darwin," kata Elizabeth menyela.

"Tapi kita belajar," balas Bert.

"Ya, untuk pertahanannya saja, kita tak akan belajar banyak, itu karena terlalu banyak orang yang menyalah gunakannya," kata Elizabeth lemah.

"Cepatlah main Elizabeth," kata Edgar memelas sambil memberikan tongkat sihir permainan.

Elizabeth mengambil tongkat itu lemah. Lalu dia menempelkan ujung tongkat ke papan tepat di jalur dua yang ada nama 'Elizabeth Benson'. Beberapa langkah nama itu melaju. Dan perkamen mulai terbang ke arah Elizabeth.

"Hati-hati! Awal musim gugur akan datang hujan deras," kata Elizabeth sedikit mengernyit.
Perkamen itu terbang kembali ke tempat semula dengan menghilangnya tinta di perkamen itu. Semua mata tertuju kepada Elizabeth yang hanya seorang diri berada di sana. Dia satu-satunya wanita yang ikut menghilang dengan enam pemuda lainnya.

"Eli-"

"Yeah, aku tahu. Aku sedang haid," kata Elizabeth menyela Edgar yang akan mengatakan bahwa di belakang bajunya ada sedikit bercak darah.

"Baiklah, giliran kau Edgar!" kata Polly lalu bersandar di dinding gua. "dinding ini licin," katanya.

"Bernarkah? Oh, ya!" kata Edgar sedikit meraba dinding gua itu juga. "baiklah, sudahan dulu merabanya. Aku akan main," kata Edgar.

Edgar menjentikan tongkat. Nama 'Edgar Ferdinand' di jalur ketiga melaju lima arah ke depan. Perkamen melayang dan perlahan untaian huruf tegak bersambung itu mulai muncul lagi dengan tinta yang sama.

"Jangan bangunkan atau tanahmu akan bergetar dengan cepat, apa maksudnya?" tanya Edgar.

"Membangunkan, maksudnya membangunkan siapa?" tanya Verby kebingungan.

"Bukan kah tanah bergetar itu gempa?" tanya Darwin.
Mereka semua kebingungan. Tiba-tiba tanah yang sedang mereka injaki bergetar. Elizabeth yang pertama kali terkejut dan menyadari hal itu.

"Ada apa ini?" tanya Edgar bergetaran.

"Huaahhhh!"

"Aaaaaa!" teriak Elizabeth ketika sepasang pasukan makhluk aneh datang dari arah belakang mereka.

"Lari! Bawa papannya!" teriak Dustin.

"Ya, lugtletuf!" kata Darwin menjentikan tongkat pada papan dan langsung menariknya.

Mereka semua langsung meloncat dari dalam gua mencoba menjauhi makhluk-makhluk yang hendak menyerang mereka semua. Elizabeth menatap ke belakang. Laba-laba raksasa keluar dari mulut gua itu. Tapi mereka tak mengejar anak-anak ini. Laba-laba itu malah berlari berlawanan arah.

"Lihat guanya! Lihat, itu bukan gua, tapi-tapi monster!" teriak Edgar histeris.

Semua mata langsung tertuju pada monster raksasa yang mereka kira adalah gua. Jadi tadi mereka tengah terduduk di dalam mulut itu. Dan maksudnya membangunkan, adalah membangunkan monster itu.

"Bahaya! Kita harus berpencar!" teriak Verby.

"Tidak! Kita harus bersama-sama. Jika kita berpencar, kita tak akan bisa main, permainan ini sudah ditentukan pemainnya dan hanya bisa main oleh gilirannya!" kata Elizabeth membantah.

"Lalu kita apa?" tanya Darwin cepat.

"MENGHINDAR!" teriak Dustin saat makhluk itu hampir menginjak mereka semua.

Ketujuh anak itu terpelanting akibat derap besar kaki yang berpijak di tanah. Hampir saja mereka terinjak. Baru tersenggol sedikit saja sudah terpelanting jauh seperti itu, apalagi jika terinjak. Mungkin mereka sudah gepeng dan remuk karena kaki besar tersebut.

"Hah! Untunglah," kata Elizabeth mendesah.

"Makhluk itu tak melihat kita, kan?" kata Dustin menghela nafas.

"Kurasa tidak," balas Darwin bersandar di batu besar.

"Uhh! Hari ini akan jadi hari terburuk untukku, setelah kita mengecoh Troll," kata Edgar mencoba berbaring di tanah, "dan juga melihat wujud Samantha, aku kira dia benar-benar cantik," kata Edgar lagi, "untung nggak ada si Edmund, kalau ada, pasti dia pasti mengejek aku yang berteriak-teriak," kata Edgar lagi untuk kedua kalinya.

"Aku juga sudah bilang, Samantha itu sedikit berbahaya, tapi kau malah menyukainya!" kata Elizabeth.

"Tadinya," balas Edgar.

Darwin menatap ke arah Elizabeth. Lalu Elizabeth juga menatap ke arahnya. Darwin mengalihkan pandangan ke arah lain namun Elizabeth sedikit menatapnya lagi dengan pandangan kecewa. Dia berpikir bahwa Darwin mungkin belum tahu.

"Ayo buat perlindungan di tempat ini, kita bisa mempelajarinya di bukuku. Kita harus tidur, tapi kita tak tahu apakah berbahaya atau tidak," kata Elizabeth menarik sebuah buku tebal berjudul 'Mantra'.

"Kurasa kau benar, kita harus buat sekitar seratus meter ke semua arah dari sini untuk berjaga-jaga," kata Darwin.

"Bagaimana cara kerjanya?" tanya Edgar.

"Menolak semua makhluk datang ke sini kecuali kita, tapi hanya delapan jam bertahannya. Kita pastikan untuk bisa mempelajarinya. Aku ingat, kita datang kesini sekitar pukul dua belasan. Dan sekarang sudah cukup sore, kita bisa belajar dulu sebentar, kan?" tanya Elizabeth.

Mereka semua mengangguk dan langsung membuka buku milik Elizabeth yang berjudul Mantra itu. Mereka mencari-cari halaman yang mempelajari tentang Mantra pelindung tempat. Mereka tahu bahwa mantra pelindung itu baru dipelajari pada kelas empat nanti. Untuk anak kecil seperti mereka belum tentu bisa. Namun di sana ada Elizabeth, yang sangat pandai dalam hal ini. Juga Darwin yang selalu langsung bisa melakukan sesuatu meski pun kadang-kadang gagal.

"Baiklah, kita harus mencari batu besar. Tak perlu terlalu besar, sekitar sebesar kepala kita kalau ada. Ini hanya untuk membatasi saja setiap sudutnya. Aku belum bisa langsung, masih pemula," kata Elizabeth sambil membaca beberapa kata di sana.

"Oke, aku akan membatasinya, ayo! Polly, Edgar, Verby!" kata Bert sambil menarik ketiga anak itu.
Mereka bertiga langsung berjalan dan mencari batu yang cukup besar. Mereka meletakan setiap batu itu di arah kanan, kiri, depan dan belakang mereka. Setelah itu Elizabeth memantrai batu-batu itu dengan bahasa yang tak sama sekali mereka mengerti. Entah apa, tapi Elizabeth terdengar beberapa kali mengulang kata-katanya.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Edgar.

"Membuat mantra, hanya butuh waktu dua jam, tak lama. Mungkin kita akan langsung tidur dan terbangun di pagi buta untuk mencari makanan juga mencari kayu, atau bahkan bisa mencari kayu terlebih dahulu, kita bisa makan juga, aku sedikit lapar," jelas Elizabeth.

"Di sana ada pohon apel!" kata Dustin sambil menunjuk ke arah timur darinya.

"Hhah?! Aku tak pernah menyadarinya," kata Edgar.

"Kita tinggal memetik saja, sebelum musim gugur," kata Darwin sambil berdiri dan sedikit menepuk-nepuk bajunya.

"Ya, tinggal pakai mantra saja, apa susahnya? Platberod!" teriak Elizabeth.

Apel-apel yang menggantung di atas pohon itu perlahan mulai terbang ke arah mereka. Darwin dan Elizabeth segera mengambil apel-apel yang melayang ke arah mereka itu.

"Waw keren, apa namanya?" tanya Polly juga sambil meraih apel-apel itu.

"Cuma mantra biasa, harusnya dipelajari sekarang. Namanya mantra gravitasi, jadi kita bisa menarik apa saja yang kita mau untuk kita tarik, kita bisa mendapatkannya," kata Elizabeth antusias.

"Bagaimana dengan Grondey? Kita bisa membawa menara itu ke sini, kan? Atau bagaimana?" tanya Edgar dengan mulut penuh.

"Oh, bodoh! Kita tak bisa menarik benda berat, hanya benda-benda ringan yang sekiranya dapat kita ambil sendiri. Apa kau mampu mengangkat Grondey? Tentu tidak!" kata Elizabeth sedikit membentak pada Edgar.

"YA!" kata Edgar sinis sambil mengunyah apelnya yang tinggal separuh.

Mereka masih terduduk menunggu hari gelap sambil memakan apel dan memainkan papannya sampai Verby. Beberapa kali mereka mendapat serangan yang tak terlalu besar. Seperti goblin dan dwarf. Mereka tak terlalu membahayakan dan cukup bisa mengalahkannya dengan mantra yang Darwin pakai ketika semester pertamanya. Dan setelah itu, mereka membuat perlindungan pada tempat di sekitar mereka jika sekiranya telah cukup larut untuk tidur. Dan setelah itu, mereka terlelap dan pergi terbang ke dunia mimpi masing-masing yang selalu mereka harap dapat melupakan hari ini dan segera pulang besok. Mereka berharap dapat bermimpi indah dan mengalami Lucid Dream. Mencoba mencari cara untuk menyelesaikan permainannya dengan cepat dan segera pulang.
Malam itu Darwin terbangun dengan mimpi buruk yang menggelayutinya. Dia melihat seorang pria jangkung dengan badan kekar. Pria itu menjentikan tongkat sihir ke arah dahinya. Di sekitarnya dikelilingi orang berjubah hitam tanpa terlihat wajahnya. Dan yang paling jelas, pria itu punya sebuah tanda merah tepat di dahinya dengan mata sebelah kanan yang terlihat katarak. Tapi tidak, matanya tak katarak. Hanya terlihat sangat berbeda dengan mata coklat tua kirinya. Dia tak tahu, orang itu terasa sangat familiar untuknya. Dia merasa pernah melihatnya, entah kapan. Apa benar, atau hanya perasaannya saja yang mengalami Deja Vu? Entahlah, Darwin bingung.

Darwin lalu bangun dan mulai duduk termenung. Udara yang berhembus tulang terasa sangat menusuk. Apalagi langit terlihat sangat mendung, seperti akan turun badai besar yang hendak penghantam ketujuh anak itu.

"Kau tak tidur, Darwin?" tanya Elizabeth tiba-tiba membuyarkan lamunan Darwin.

"Eh, err, tidak," kata Darwin merapatkan jubahnya untuk menahan angin malam.

Mereka berdua terdiam selama beberapa menit tanpa keluar sepatah kata pun dari kedua mulut tersebut. Dan Elizabeth mulai merapat mendekati Darwin yang duduk di depan bekas api yang semalam dinyalakan. Terlihat kayu yang sudah menjadi arang dan menghitam. Mereka hanya duduk memandangnya.

"Kau tak menyalakan apinya, Darwin?" tanya Elizabeth yang dibalas oleh Darwin dengan gelengan "Akan kunyalakan" kata Elizabeth sambil membawa beberapa buah kayu bakar yang tergeletak lemah di dekatnya dan langsung menyalakannya. "Lebih hangat bukan?" tanya dia.

Darwin mengangguk mengiyakan perkataan Elizabeth. Dia tak berkata apa-apa lagi kepada Elizabeth. Dia hanya duduk sambil melamun di depan api. Elizabeth menatap mata biru milik Darwin. Dia tiba-tiba terkejut sambil sedikit menghindari Darwin. Darwin bingung.

"Ada apa?" tanyanya cepat.

"Matamu! Di sana! Aku melihat sesuatu yang berputar dan-" kata Elizabeth terbata sedikit gemetaran.

"Dan apa?"

"Aku-aku bisa membaca pikiranmu, seseorang. Ya, dia-dia mencoba untuk, membunuhmu! Ya, Darwin! Bagaimana ini, apa yang harus kita lakukan?" tanya Elizabeth gugup dan bingung. Dia beberapa kali mondar-mandir memikirkan sesuatu.

"Sudah Elizabeth, duduk!" kata Darwin sambil mendorong pundak Elizabeth ke bawah.

"Aku ingin kau tutup mulut, ini tak ada hubungannya sama sekali denganku dan seseorang yang membunuhku! Kau salah lihat!" kata Darwin mencoba menutupi semua yang membuatnya resah, pria itu.

"Tidak, aku tak mungkin salah lihat! Kau berbohong, Darwin! Aku tahu, kau sedang memikirkan sesuatu! Kau tak perlu berbohong padaku, itu hanya untuk tak membuatku cemas, kan?" kata Elizabeth yang bisa membaca pikirannya. "Katakan saja Darwin, kau jangan berbohong, semuanya tampak jelas dari matamu! Kau-"

"Selamat tidur, Elizabeth," kata Darwin lemah.

Darwin lalu tidur di atas bebatuan dan tak menatap lagi Elizabeth. Dia memunggunginya sambil terus mencoba merapatkan jubah. Sementara Elizabeth terduduk dan mulai mencoba tidur. Dia tahu Darwin orang yang seperti itu. Darwin tak tahu bahwa dirinya pernah diajarkan mantra pembaca pikiran oleh Prof. Greture saat dia dipaksa melakukan pelajaran tambahan. Darwin tak tahu bahwa dirinya cukup mahir. Apakah Darwin menganggapnya bodoh?

 ***

Fajar mulai menyingsing diiringi berhilangnya perlindungan dari tempat yang mereka pijaki. Ketujuh anak itu mulai bangun dengan tubuh lengket dan kusam. Elizabeth masih tampak cemas pada Darwin. Namun Darwin mencoba menepis pemikiran itu.

"Kita langsung main saja, Dustin, giliranmu," kata Elizabeth lemah.
Dustin mulai menjentikan tongkat dan membaca perkamen melayang. Tulisannya kurang lebih, 'Setelah matahari menyingsing, setelah tulisan ini, sesuatu akan terjadi dan mulai terkabul'.

"Apa maksudnya? Apakah kita akan kembali ke Grondey?" tanya Edgar mencoba meraih apel.

Darwin menatap sekeliling. Daun-daun di sana tampak sedang berguguran. Daun-daun itu sudah menguning dan pantas untuk jatuh. Darwin lalu memandang kembali papan dan memandang jalur keempat. Darwin William, itu nama yang tertera di sana.
Tanpa disuruh, Darwin mengambil tongkat dan menempelkan ujungnya pada namanya. Nama itu berjalan enam langkah dan artinya dia harus main kembali.

"Lakukan lagi," kata Elizabeth.
Darwin melakukan hal serupa. Dia maju selangkah dan perkamen mulai melayang ke arahnya diikuti tulisan sambung yang mulai muncul beberapa detik kemudian.

"Tunggu lima menit. Jangan kaget jika sesuatu terjadi. Cukup mudah dihafal," kata Darwin sambil menaruh tongkat.

Mereka hanya terduduk mencoba melihat apa yang akan segera terjadi. Elizabeth beberapa kali bersiap-siap. Sementara Darwin masih menatap daun-daun yang mulai berguguran. Dan dengan tak sengaja, dia ingat kartu pertama Elizabeth yang menyatakan bahwa hujan deras akan datang di awal musim gugur.

"Apa sekarang musim gugur?" tanya Darwin menoleh ke arah teman-temannya.

"Bisa dibilang begitu," kata Verby.

"Elizabeth, apa kau ingat? Kartu pertamamu menyatakan bahwa awal musim gugur akan hujan deras," kata Darwin.

"Ah, kau benar! Apa sebentar lagi akan hujan, ya?" tanya Edgar.
Darwin tiba-tiba terhenti. Secara langsung, matanya seperti bisa menerawang ke masa depan. Terasa waktu seperti berhenti. Di tengah-tengah mata birunya terlihat lima kristal mengelilingi sesuatu berwarna hitam. Dan secara tak sengaja, dia melihat daun-daun yang gugur dan sangat banyak sedang menuju ke arah mereka seperti tsunami. Daun itu bergerak sangat cepat dan membuyarkan lamunan Darwin. Darwin kaget, dia langsung memantrai papan permainannya dengan "Lugtletuf board!"

"Ada apa, Darwin?" tanya Elizabeth cepat.

"Lari, sekarang! Akan ada tsunami daun menghantam kita, lari!" kata Darwin sambil langsung berlari.
Elizabeth dan yang lainnya terkejut. Mereka langsung mengikuti perintah Darwin. Dan benar saja, terdengar gemuruh besar dari arah belakang mereka.

"Darwin, bagaimana kau tahu?" tanya Elizabeth sambil berlari.

"Aku dapat melihatnya, kita harus cepat!" kata Darwin sambil memeriksa sakunya yang berisi papan permainan yang mengecil.
Elizabeth mengangguk. Gemuruh itu semakin lama semakin keras dan terdengar jelas. Tak lama, terlihat sekumpulan daun-daun tengah berlari mengimbangi langkah mereka dan membuat Elizabeth berteriak histeris.

"Aaaaa!" teriak Elizabeth.

Mereka berlari semakin cepat. Tsunami dedaunan itu sedikit menggetarkan tanah. Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang cukup keras dari arah depan mereka. Dan daun-daun itu tiba-tiba muncul dari arah depan mereka. Mereka terhenti. Bingung juga panik. Apa yang harus mereka lakukan? Tak ada jalan lain untuk berlari.

"Bagaimana ini-Arrgghhh!" teriak Edgar.

Ketujuh anak itu tersapu oleh daun-daun yang menghantam mereka dengan cepat. Tubuh mereka hanyut bersama dedaunan yang terus bergerak cepat di atas tanah. Elizabeth dan Edgar berteriak sama histerisnya, walau pun anak lain juga merasa takut dan berteriak, tapi tak sehisteris Elizabeth dan Edgar.

"Arrgh!" geram Darwin ketika tubuhnya tergeletak lemah di atas dedaunan yang telah berhenti bergerak.

"Di-di mana kita?" tanya Elizabeth gemetaran dan bangun.

"Hutan ini terlihat terbakar," kata Verby sedikit menepuk jubahnya yang kotor.

"Tidak! Tampaknya daun tadi berasal dari hutan ini! Lihat! Hutan ini benar-benar gundul!" kata Darwin sambil menunjuk ke arah pohon-pohon yang tinggal batang dan rantingnya saja.

"Pergi dari hutan ini!" teriak sebuah suara menggema dari arah pohon-pohon.

"Siapa itu?" tanya Elizabeth cepat.

"Pergi! Pergi!" kata suara itu menggema lagi.

"Dryad!" kata Elizabeth menjawab pertanyaannya sendiri.

"Dryad? Apa itu Dryad?" tanya Edgar bingung.

"Semacam Nymph-peri-, tapi Nymph ini hidup di tumbuhan. Namanya Dryad, atau peri hutan," kata Elizabeth antusias.

"Pergi!" teriak suara itu lagi.

Elizabeth berdiri dan langsung mendekati salah satu pohon yang menyisakan sebuah daun di sana. Elizabeth mulai menyentuh pohon itu dan menutup matanya. Dia mempraktekannya seperti merasuk ke dalam batang pohon tersebut. Selang beberapa saat, sebuah kepala muncul dari atas dan ada sebuah tangan. Seorang wanita berparas cantik setengah pohon itu membuka matanya dan mengibarkan rambut hijaunya. Semuanya kaget kecuali Elizabeth.

"Namaku Elizabeth, bisa kah kau memberitahu di mana kami?" tanya Elizabeth melepaskan sentuhan itu dari batang pohon.

"Oh, kau berada di hutan Harphioneria. Tepat di sebelah selatan Grand away," kata Dryad itu dengan suara mendesah.

"Be-besar pergi? Grand Away?" tanya Elizabeth sedikit aneh dengan nama itu.

"Ya, Grand Away. Kau tak tahu, Grand Away?" tanya Dryad itu.

"Tidak, bisakah kau beri tahu kami, sekarang kami berada di tahun ke berapa?" tanya Elizabeth.

"Oh, tentu. Kau ada di tahun 1009 masehi, tak tahu?" tanya Dryad itu.

"Hah?!" kata Edgar terkejut mendengar kata 1009 masehi.

"Tidak, kita mundur seribu tahun. Kita berada seribu tahun yang lalu!" kata Elizabeth gemetaran.

"Ada apa?" tanya Dryad itu bingung.

"Kami terjebak di dalam waktu, kami dari 2009 masehi, tidak, ohh!" kata Elizabeth murung.

"Tak apa, aku punya teman di sini. Dia seorang penyihir, mungkin dia bisa membantu," kata Dryad itu menawarkan pertolongan.

"Di mana?" tanya Elizabeth cepat.

"Kau tinggal lurus saja dari sini, sampai kau melihat sebuah pertigaan. Nah, kau belok kanan dan tak jauh akan ada pondok kecil di sana, semoga perjalananmu menyenangkan."

 ***

Darwin tampak terduduk di atas batang pohon yang tumbang dengan lemas. Begitu juga yang lainnya. Mereka tampak lelah dan tak bersemangat. Tiga jam sudah mereka berjalan. Dan beberapa puluh menit darinya mereka dikejar-kejar kawanan Centaurus di hutan Harphioneria gara-gara permainan itu. Lelah sudah mereka. Berhubung pagi tadi hanya makan beberapa gelintir apel yang tersisa. Juga mereka belum minum selama seharian. Sekarang tubuh mereka tambah kumal dan kusut.

"Ahh..hh! Ini lebih menyeramkan dari hutan Scarymus. Aku benar-benar lelah, andai saja hujan deras itu hujan beneran, ini malah hujan dedaunan. Kalau hujan beneran kita nggak terlalu capek," kata Edgar mengeluh sekaligus mengomentari cuaca siang ini yang tak bersahabat dengan mereka.

Semua terdiam. Panas mentari seakan membungkam mereka untuk tak berkata dan menyuruh mereka untuk berdiam. Tak ada sedikit pun suara dari mereka kecuali desahan nafas yang teramat kelelahan. Mereka sudah tak tahan dengan hawa siang yang membakar kulit dan tubuh kecil mereka. Juga dengan papan permainan yang tak sama sekali memberikan harapan.
"Baiklah, giliranmu, Verby," kata Elizabeth lelah dan memberikan tongkat pada Verby lemas.

"Baiklah, akan kuusahakan agar bisa menang," kata Verby mencoba menjentikan tongkat sihir pada jalur keenam.

Perkamen melayang ke arahnya tanpa ada peringatan maupun tulisan yang tertera di sana. Perkamen itu kosong. Tak ada goresan yang membuat perkamen itu kotor.

"Baiklah, permainan ini kenapa, sih? Bagian Bert, Elizabeth, aku, Polly dan Verby terus begini? Apa rusak?" tanya Edgar sedikit marah dan sebal karena permainan itu tak merespon sesuai dengan keinginannya.

"Oke, kita tunggu sampai Dustin, apa permainan ini emang udah rusak," kata Elizabeth.
Dustin segera mengambil tongkat sihir itu. Ini adalah kedua kalinya dia bermain. Yang artinya dia punya kesempatan main sekali lagi. Dan ketika nama Dustin George melaju, perkamen melayang dengan sebuah tulisan di sana yang membuat mereka semua gembira.

"Ayo apa?" kata Edgar tak sabar.

"Petujuk jalan: lima puluh langkah ke arah timur untuk menemukan si pondok reyot."

Mereka semua langsung tersenyum bahagia. Akhirnya mereka dapat petunjuk dari permainan ini. Dengan cepat mereka segera menghitung langkah mereka ke arah timur. Dan benar saja, di sana ada pertigaan yang memisahkan tiga jalan berbeda. Mereka segera berbelok ke arah kanan. Tepat di sana terdapat sebuah pondok yang sangat reyot dan tampak rusak. Bilik bambunya sedikit bolong-bolong dan tampak tak terawat. Darwin mengernyitkan dahi melihat pemandangan tak mengenakan itu.

"Seperti rumah kosong, sangat jelek sekali," kata Darwin mengejek gubuk itu.

"Masuklah! Kau akan merasa tak percaya jika melihatnya," seru suara dingin dan berat dari dalam sana.

Mereka perlahan mulai berjalan memasuki pondok. Ketika mereka masuk, tepat seorang pria sedang terduduk di kursinya memunggungi mereka. Darwin merasa pria itu tak asing baginya. Ketika pria itu hendak memalingkan wajah padanya, mata biru Darwin kembali bereaksi. Kristal putih berputar mengelilingi sebuah lingkaran hitam. Dan matanya tiba-tiba bisa menerawang apa yang selanjutnya akan terjadi. Pria itu, pria dengan tanda merah di dahinya yang akan membunuhnya. Tepat dia melihat bagaimana detailnya gerakan pria itu mengangkat tongkat sihir dan mengeluarkan mantra padanya. Darwin spontan langsung meloncat dan mendorong teman-temannya menjauh dari mantra itu.

"Pergi! Dia akan membunuh kita!" teriak Darwin.

Mereka semua tersentak dang langsung berlari. Dustin sedikit ketinggalan karena merasa panik. Sementara yang lain masih terus berlari. Dia benar-benar melihat pria itu mengejarnya. Pria itu bertanda merah di dahi dan berkaki ular. Tubuhnya tubuh manusia. Namun kakinya ular. Pria itu melata cepat dan hampir mengimbangi langkah mereka.

"Darwin, kau main!" kata Elizabeth.

Darwin mengangguk. Dia mencoba bermain walau sambil berlari. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan permainan itu dan berharap segera pulang. Namun sayang, dia tak melaju empat langkah. Malah tiga langkah yang artinya dia kurang satu langkah untuk menuju finish. Sementara Bert, Elizabeth dan Edgar tak sama sekali melaju dan mendapatkan perkamen kosong sama seperti Darwin. Dan pada saat Polly bermain, mereka mendapatkan bantuan dari Scorpio yang setidaknya mengulur waktu pria bertanda merah itu untuk mengejar mereka. Namun naas, ketika Dustin akan main, Darwin dihantam oleh pria itu dan pria tersebut menjentikan tongkatnya ke arah dahi Darwin.

"Arrghh!" geram Darwin.

"Cepat, Dustin! Ini giliran terakhirmu!" kata Elizabeth cepat.
Dustin langsung menjentikan tongkat pada papan. Sementara Darwin sudah mengerang minta dilepaskan karena tindihan pria itu yang sangat kuat juga mencekik keras lehernya. Ketika perkamen melayang, tongkat pria itu juga melayang. Di perkamen itu tertulis "Mari berputar di awan dan biarkan temanmu yang selanjutnya maju satu langkah."

Mereka bingung dan melihat nama Darwin William maju satu langkah. Tiba-tiba saja Elizabeth tersenyum riang.

"Kita menang!" katanya.

Semua terkejut. Tepat saat pria bertanda merah itu menjentikan tongkatnya dan membaca mantra, Darwin dan kenam temannya tertarik ke dalam papan dan menyebabkan mantra itu meleset ke arah matanya. Pada
saat itu mereka langsung berteriak dan merasa tubuhnya berputar dan diguncang keras. Darwin masih merasakan dirinya berteriak dan langsung terjatuh di atas tanah putih dengan lemas. Dia terbaring di sana bersama teman yang lainnya. Dalam waktu beberapa detik, Darwin langsung terbangun sambil memegang matanya. Hitam, matanya hitam. Seketika dia merasa sedikit kedinginan dan langsung terbangun. Ketika seorang anak di atas menara berteriak sambil menunjuk ke arah mereka, semua dari dalam asrama langsung berlari keluar untuk menghampiri Darwin dan keenam teman lainnya yang pingsan di atas salju. Darwin bingung, salju? Mengapa sudah bersalju?

"Darwin! Aku mencemaskanmu, kemana kau pergi bersama teman-temanmu? Kau menghilang selama berbulan-bulan," kata Prof. Robert cemas sambil langsung memeluk Darwin. "Lopez, Greture, Colin, Knite, kalian bopong anak-anak ini ke rumah sakit, biarkan aku berbicara dengan Darwin. Anak-anak, kalian kembali ke asrama kalian," titah Prof. Robert.

Anak-anak kembali ke dalam asrama dan temannya yang lain-keenam temannya-dibawa ke rumah sakit. Sementara Darwin mengikuti Prof. Robert ke kantornya dan langsung duduk berhadapan.

"Aku memiliki beberapa pertanyaan untukmu," kata Prof. Robert.

"Silahkan, Profesor," balas Darwin.

"Ke mana kau pergi, Darwin?" tanya Prof. Robert.

"Saya tak tahu, Profesor. Tapi benda ini-"

"Oh, darimana kau dapati ini?" tanya Prof. Robert cepat ketika Darwin mengeluarkan papan permainan Board of Death.

"Verby membawanya, tapi dia mencegah untuk menyentuhnya, namun Bert nakal, dia menyentuhnya dan membuat kami tersedot ke sana. Selama dua hari kami terjebak di tahun seribu sepuluh, Profesor," kata Darwin.

"Ya, Ayah Verby bekerja di kementrian. Dia menyuruh Verby untuk membawa benda hitam ini dan menghancurkannya di sana. Tapi ternyata Bert malah menyentuhnya. Sekarang biarkan benda ini ada padaku. Aku akan membawanya ke kementrian besok. Oh ya, kau bilang di sana dua hari? Tapi kau menghilang berbulan-bulan. Ngomong-ngomong, darimana kau dapat tanda hitam di matamu itu, Darwin?"

"Oh, ini Profesor?" tanya Darwin menunjuk mata kirinya, "seseorang akan membunuh saya. Namun mantranya meleset karena saya tertarik pada permainan. Dia punya tanda di dahinya, berwarna merah. Tak punya kaki tapi ekor ular," kata Darwin menjelaskan orang yang hampir membunuhnya. Prof. Robert sedikit terkejut.

"Ada apa, Pro-Profesor?" tanyanya bingung.

"Oh, tidak, Darwin. Kau boleh pergi menengok temanmu. Lagipula matamu perlu diobati. Mintalah seseorang di rumah sakit mengobatinya!"

***

Hari-hari Darwin setelah pulang sangat melelahkan. Mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti ulangan akhir semester saat itu. Para Guru bisa mengerti bagaimana traumanya mereka menghadapi makhluk-makhluk menyeramkan yang baru saja mereka temukan. Apalagi Dustin, dia kadang sering melamun sendiri. Edmund tak terlalu sering menghina Edgar kini. Dan Thom and Jerry tampak lebih baik dari sebelumnya. Entah Hilton telah melemparkan mantra atau ramuan apa pada mereka.
Saat akhir semester, Elizabeth berada di peringkat paling atas dan membuat posisi Drawsentclass jadi semakin tinggi. Walau dia ketinggalan berbulan-bulan pelajaran, tapi dia sangat jenius dan bisa mendapatkan rangking itu. Sementara Darwin turun dua tingkat dari asalnya.

"Aku tak tahu kenapa Elizabeth ajaib," kata Edgar.

"Ya, dia sulit untuk dimengerti," balas Darwin.

"Pakai mantra pembodoh saja untuknya. Tapi aku tak yakin dia bisa turun peringkat,"

"Sedang menggossipkanku?" tanya Elizabeth. Darwin tersentak. Mereka langsung tertawa bersama.

"Jangan menertawakanku!" bentak Elizabeth.

-END-

;;

By :
Free Blog Templates