Kamis, 22 Agustus 2013

Aku Sebutir Pasir

Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata.
Pasir namanya. Gadis yang tak pantas disebut kecil itu tengah berdiri di antara ribuan pasir yang terbaring luas. Entah mengapa orangtuanya menamai gadis itu Pasir. Entah ada maksud apa dalam penamaannya. Tapi sekarang dia malah berdiri seorang diri tanpa seorang pun menemani. Entah di mana orangtuanya yang telah memberi nama Pasir pada dia. Entah masih ada atau pun tidak. Tapi mengapa gadis itu sekarang begitu tampak kucel dan kotor. Dia hanya sebatang kara berdiri di sana. Mungkin dengan bayangannya.
“Pasir.” Desah seorang pria berbaju putih dan terlihat sangat rapi.
Sebutir Pasir itu pun mendongak dan menatap pria tadi yang memanggilnya. Matanya mengamati tiap bagian di tubuh sang pria.
“Pasir. Namamu aneh!”
“Kau siapa?” Pasir mulai mengeluarkan sepenggal kata dari mulutnya.
Pria bergamis putih itu tersenyum.
“Mengapa orangtuamu memberi nama Pasir?”
“Bukan mereka. Aku yang menamai diriku Pasir.” Bantahnya.
Pria tadi tersenyum kembali.
“Lantas mengapa kau ingin nama itu?”
“Kau mungkin tahu berapa banyak pasir di sini?”
Pria itu menggeleng.
“Aku tidak tahu. Apakah perlu aku menghitungnya?”
“Sudah kuduga. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya.”
“Tak ada? Bagaimana dengan Tuhan? Apakah Dia juga tak tahu? Bukankah Dia yang telah menciptakan pasir di gurun ini?”
“Ya mungkin. Kecuali Tuhan.” Ujar Pasir.
Pria bersorban itu tersenyum kembali.
“Lantas, apa maksudmu menamai dirimu Pasir?”
“Di sini aku melihat banyak pasir. Dan sungguh ironis sekali hanya ada sebutir pasir di gurun ini. Dan itulah aku. Aku sangat ironis. Sebutir Pasir. Dan aku juga berfikir bahwa tak akan ada sebutir pasir, pasir yang sendirian. Tak ada kawan dalam hidupnya. Pasir pasti selalu berkumpul dengan pasir-pasir lainnya.”
“Lekas, mengapa kau menyebut dirimu sebutir pasir?”
“Ya karena itu. Aku sendirian. Aku tak punya kawan. Aku sangat ironis.”
“Lantas mengapa kau tak bergabung dengan pasir-pasir lainnya agar bisa menjadi gurun?”
Pasir terdiam. Dia tak bisa mengeluarkan sepenggal kata pun. Mulutnya terkunci rapat. Air matanya dia tahan agar tak pernah keluar.
“Coba kau pikirkan! Tak pernah ada satu pun orang yang mau sekedar bertanya padaku. Tak ada satu pun orang yang peduli terhadapku! Apakah aku bisa bergabung dengan mereka dan menjadi sebuah gurun?”
“Apakah aku bukan seseorang yang peduli padamu? Apakah aku bukan seseorang yang bertanya pada dirimu, Pasir?” Jawabnya tenang.
Pasir kembali terdiam. Kata-kata pria tadi seolah menusuk tajam di dalam hatinya. Namun dari wajah pria itu tak nampak sedikit pun tersirat kecurangan. Wajahnya suci dan bersih. Tak ada setitik noda dosa tersirat dalam hatinya.
“Ya mungkin. Hanya kau yang mau bertanya padaku.”
“Selain aku, bayanganmu juga masih setia bersamamu. Dia selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi. Tapi memang, ada kalanya bayanganmu itu pergi meninggalkan tubuhmu.”
“Kapan?”
“Di saat gelap. Tak ada setitik cahaya pun menerangimu. Dan saat itu tak akan ada siapa pun yang menemanimu.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Mendekatlah pada Tuhan! Sadarilah perbuatanmu itu salah!”
“Aku tak punya Tuhan. Aku tak punya teman. Aku tak punya segalanya.”
“Maka dari itu, dekatilah mereka. Jika kau ingin mengenal Tuhan, dekatilah Tuhan. Jika kau ingin punya teman, dekatilah mereka. Jangan hidup sebutir sepertimu ini. Jangan sia-siakan waktu dengan menyendiri seperti ini.”
“Tak apa. Ini hidupku. Jalan mana pun yang aku pilih, biarkan. Kau tak berhak untuk mengatur apa yang kulakukan dalam hidupku. Hidupku terserah diriku.”
“Memang benar. Tapi apakah aku akan membiarkan seseorang yang tersesat di jalan yang salah untuk tetap berjalan? Tentu tidak. Aku tak akan membiarkannya. Aku harus membenarkannya.”
“Kau siapa diriku? Sebegitu pedulikah kau tentangku?”
“Aku mencintaimu karena Allah. Maka dari itu aku peduli terhadapmu.”
“Siapa dirimu?”
“Aku adalah sebilah kayu.”
“Lekas mengapa dirimu menyebut diri sendiri kayu? Mengapa kau menurutiku sebagai sebutir pasir?”
“Jika kau pasir, aku adalah kayu. Kau mungkin tahu apa gunanya kayu. Kayu berawal dari sebatang pohon. Dan kau mungkin tahu, seberapa berguna pohon bagi dirimu. Apalagi di tengah padang pasir seperti ini. Setelah pohon tersebut ditebang, pasti mereka banyak digunakan. Kayu bisa dibuat meja, kursi dan mungkin sebagai bahan bangunan. Seperti untuk rumah. Kayu juga sangat kokoh. Kayu tak mudah patah. Maka dari itu, aku menyebut diriku kayu. Karena aku ingin menjadi seperti kayu. Walaupun masih jauh sesempurna itu.”
“Mengapa tidak besi saja? Besi lebih kokoh daripada kayu. ”
“Ya. Kau benar, Pasir. Besi lebih kokoh dari kayu. Namun asalkan dirimu tahu, besi melambangkan seseorang yang tangguh namun sombong. Maka dari itu, aku tak akan meniru besi.”
Pasir kembali terdiam. Otaknya dia buat bekerja. Dia memikirkan sesuatu yang mungkin tak pernah bisa dijawab oleh pria itu. Pandangannya menatap ke atas.
“Bagaimana caranya aku mengenal Tuhan?” Tanya Pasir polos.
“Kau bisa belajar dari orang lain.”
“Apakah kau bisa mengajariku?”
“Aku tak punya banyak waktu.”
“Bukankah kayu itu sangat berguna. Pasir itu tak pernah berguna. Untuk apa juga aku mengenal Tuhan.”
“Ish, kau jangan bilang sembarangan.” Tegur pria itu lembut.
“Sebutir pasir memang tak akan berguna jika hanya sebutir. Jika kau bergabung dengan pasir lain, dengan semen, besi, batu, kayu dan air. Kau bisa menjadi sebuah gedung.”
“Kebersamaan?”
“Ya benar. Umat muslim itu seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan. Jika kau sebutir pasir, dan banyak lagi pasir sepertimu, bergabunglah dengan mereka. Setelah itu, carilah orang lain. Seperti besi, kayu, air, semen, batu. Dan bersatulah. Maka kalian akan menjadi sebuah gedung yang kokoh.”
“Jadi aku tak boleh menyendiri?”
“Benar sekali. Kau hanya bisa menjadi sebutir pasir di hadapan Tuhan-Mu. Allah. Kau hanya sebutir pasir di hadapan-Nya. Dan jangan pernah menjadi lagi sebutir pasir di hadapan para manusia-manusia itu. Bergabunglah dan menjadi padang. Bergabunglah dan menjadi gedung.”
“Lalu bagaimana diriku mengenal Tuhan? Allah. Dari siapa aku akan belajar?”
“Kau bisa belajar dari siapa pun yang memiliki ilmu. Ilmu tauhid. Sedari dulu kamu memang selalu berjalan di kesesatan. Maka dari itu, sekarang kau sadari dan segera beralih ke jalan yang benar. Segeralah bergabung dengan orang-orang itu.”
“Tapi apakah mereka akan menerimaku?” Tanya Pasir polos.
Pria itu tersenyum lagi.
“Tentu saja. Mereka adalah orang baik. Lebih baik dari yang kau pikirkan.”
“Jadi sekarang aku harus ke kota itu?”
“Ya. Pergilah. Dan ingat, kau sebutir pasir di hadapan Tuhan. Maka jangan melampaui batas. Tapi kau sama seperti manusia derajatnya di sini. Kau tak pantas sendirian. Kau tak pantas sebutir saja. Di tengah gurun pasir luas seperti ini, sama seperti orang bodoh. Kau masih muda. Jangan sia-siakan waktumu. Masih banyak orang-orang di sana yang sangat membutuhkan waktunya untuk hidup. Maka dari itu, bertakwalah. Dan jalin silaturahmi. Perbaikilah amalanmu. Jangan hidup di tengah kesendirian dan kebimbangan.”
Pasir pun tersenyum. Pria tadi ikut tersenyum. Pria itu pun melangkah menjauh dari Pasir. Pasir menatapnya heran.
“Kau mau ke mana?”
“Masih banyak urusan yang harus kukerjakan. Sebaiknya kau bergabung dengan orang-orang di sana. Mereka pasti menerimamu dengan baik.”
Pasir mengangguk.
Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?
Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama sekali merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata. “Ya Allah, Tuhanku. Terima kasih Engkau telah menyadarkanku dari kebodohan ini. Seharusnya aku tak hidup seperti ini. Hanya karena kedua orangtuaku meninggal, aku sudah tak ingat dan kenal pada-Mu. Aku sudah tak punya semangat hidup. Ampuni aku Ya Allah. Sekarang aku berjanji, tak akan ada lagi sebutir pasir di hidupku, kecuali ketika menghadap pada-Mu. Ya Rabb yang Maha Agung.”
Satu tetes air mata keluara dari pelupuk matanya. Bukan kesedihan. Melainkan kebahagiaan. Kini Pasir sudah tak jadi sebutir lagi. Dia akan pergi berkelana mencari teman dan lebih mempelajari tentang Rabb-Nya. Dia mungkin tak akan menjadi sebutir pasir, kecuali di hadapan-Nya. Sang Rabb pencipta.
- SEKIAN -

“Bu, kasihan! Pak!” Ucap seorang gadis kecil berbaju lusuh sambil menampan ke arah orang-orang yang ada di sekitar tempat itu.
Beberapa orang memberi sekoin uang. Beberapa lagi mengusirnya dengan keras. Dan beberapa lagi tidak memberi dan menjawab perkataannya sama sekali. Gadis kecil itu terus berjalan di kehiruk pikukan kota saat itu. Langkahnya sedikit terseok-seok mengingat kemarin dia terjatuh di aspal akibat diusir oleh seorang pria gemuk. Walau pun seperti itu, si gadis tak pernah memendam dendam sedikit pun kepada mereka yang telah memperlakukannya semena-mena. Dia pun tak pernah memberikan pandangan buruk terhadap mereka. Hanya seulas senyum yang bisa dia lakukan untuk menerima apa pun yang orang-orang itu lakukan padanya. Walau sebenarnya senyum di atas lukanya sendiri. Lantas apa lagi yang harus dia lakukan? Jika dia harus mendendam kepada mereka pun, tak ada gunanya.
Gadis itu masih terus menampan dan meminta kepada mereka yang dengan suka rela memberinya. Tak ada paksaan baginya. Siapa saja yang mau membantunya, dia akan menerimanya dengan senang hati. Jika tidak, dia akan melakukan hal yang sama.
“Om!” Seru gadis itu sambil menampan.
Pria gemuk itu menatap ke arah gadis kumuh di sampingnya. Pria itu menatap si gadis rendah.
“Kamu lagi! Kamu mau saya lempar ke aspal lagi, iya?” Tanya pria gemuk itu dengan ketus. Si gadis kecil menatap raut wajah Om tersebut.
“Om, seharusnya Om banyak beramal. Umur Om udah nggak lama lagi. Seenggaknya, Om bisa sedekahin harta Om buat saya. Biarpun sedikit. Tapi kalau Om nggak mau, ya saya nggak keberatan.”
“Eh kamu ini! Nggak sopan banget bicara sama yang lebih tua! Emang saya sehat begini bakal mati cepet apa?” Bentak Om itu.
“Om, umur itu nggak ada yang tahu. Cuma Allah yang tahu. Harta itu nggak bakalan dibawa mati, Om. Tapi nggak apa-apa. Kalau Om nggak suka sama saya, Om nggak usah lemparin saya ke aspal lagi. Itu sakit, Om.” Ucapnya.
Pria itu semakin berapi-api. Dia melempar gadis kecil itu ke tengah jalanan. Terdengar suara benturan keras dari tubuh si gadis.
“Brrakk!”
“Aaaa!” Teriak gadis kecil.
Dari jarak yang tak jauh, nampak sebuah sepeda motor hendak melaju ke arah si gadis dan akan menbraknya. Dengan cepat si gadis bangun dan berlari. Namun…
“Brraakkk!”
“Brruukkk!”
Bersamaan gadis kecil itu terjatuh, pria yang melempar si gadis tadi malah tertabrak oleh motor yang melaju tersebut. Entah mengapa jadi terbalik. Seharusnya si gadis yang tertabrak, karena dia berada di tengah jalan. Bukan Om tadi yang berada di pinggir trotoar.
Gadis itu menatap sayu. Dia sudah menduga apa yang akan terjadi. Om itu akan meninggal. Dan buktinya, dia meninggal sekarang. Memang, dia seperti memiliki kelebihan. Dia selalu tahu, jika akan ada seseorang yang akan meninggal. Dia selalu bilang bahwa jika seseorang akan meninggal, akan ada seberkas bayangan cahaya warna dari orang tersebut. Ada beberapa macam dari warna bayangan tersebut. Namun dia tak pernah melihat bayangan putih sekali pun. Dan dia pun tak pernah mengerti apa arti dari warna tersebut.
Gadis itu pun bangun dan berjalan di sekitar kota. Dia pun merogoh sakunya. Ada beberapa uang receh. Terdengar perutnya sudah mulai berseru-seru. Dia pun menangkap sebuah bangunan yang tengah berdiri di tepi jalan. Dia segera menyebrangi jalan dan berlari dengan cepat ke arah sebuah toko roti. Dia segera masuk dengan senyum tersirat di wajah kucelnya.
“Bu, saya mau beli roti. Sekarang uangnya cukup.” Ucapnya.
“Eh kamu ya! Yang kemarin? Gara-gara kamu, anak saya jadi meninggal! Kamu ini bicara yang sopan dong! Jaga mulut kamu! Jangan asal jeplak aja kalau mau ngomong!”
“Tapi, Bu. Saya kan sudah bilang. Saya cuma mau ngasih tahu Ibu aja.” Ucap gadis itu sambil tertunduk.
“Ahh! Tapi, tapi! Sekarang kamu pergi dari toko saya! Pergi!!!” Bentak Ibu pemilik toko sambil mendorong keluar si gadis kasar.
“Aduhh…” Rintih gadis itu.
Gadis tersebut pun berdiri dan mencoba tersenyum. Air matanya mulai terjatuh perlahan. Dia terus mencoba tersenyum walau sebenarnya dia merasa sangat sakit hati. Namun tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya untuk membenci mereka.
Dia masih terus berjalan dengan secercah air mata membasahi pipinya. Dia masih berjalan dengan langkah terseok-seok. Dia pun melihat sebuah cermin yang sudah terlihat sangat berdebu. Dia mengusap permukaan cermin panjang itu dengan sikutnya. Dia melihat bayangan kusut dirinya di sana. Dia melihat pantulan kumuh dan kotor dirinya sendiri. Tiba-tiba dia terkejut melihat bayangannya,
“Itu…”
“Brakk!”

“Pasti kau menyimpan uangnya di sana! Pasti ada!”
Gadis kecil itu terus menerobos masuk ke dalam toko. Gadis itu tak peduli bagaimana pun yang pemilik toko lakukan terhadapnya.
“Jangan masuk ke sini! Pergi kau! Pergi!”
“Aku tak mau! Aku tahu di sana ada banyak uang! Setidaknya kau bisa memberiku sedikit uang!”
“Tak ada uang untukmu! Tak ada!” Bentak pemilik toko keras. Gadis itu pun menatap sinis pemilik toko. Dia pun berteriak.
“Adikmu akan mati besok!” Teriaknya.
Pemilik toko menatap keji gadis. Gadis itu segera berlalu dari toko tersebut.
Setiap hari memang begitulah kerjanya. Dia memaksa orang-orang agar memberinya sepeser uang dan sedikit makanan. Jika tak diberi, dia selalu memaksa dan menerobos masuk ke dalam toko. Atau jika dia meminta kepada seseorang dan tidak diberi, dia tinggal copeti saja orang yang dia pinta. Apa susahnya untuk dia?
Gadis itu pun tersenyum sinis. Dia telah berhasil membawa satu dompet milik seseorang. Dia lihat isinya cukup banyak. Gadis kecil itu memang masih sangat mungil. Namun entah mengapa itu yang harus dikerjakannya.
Dia pun menyusuri lorong kumuh tempatnya tinggal. Ketika dia melihat salah satu temannya tengah terduduk lesu di dekat gubuk lusuh. Gadis kecil itu menatapnya dengan seksama. Tiba-tiba dia terjatuh. Badannya bergetaran semua. Air matanya berlelehan di pipinya. Dia melihat sesuatu yang aneh. Dia melihat orang lain yang mirip dengan temannya itu. Sangat mirip. Bayangan itu tepat ada di belakang temannya. Dia terduduk. Dia tak bisa berkata apa-apa. Bayangan itu benar-benar mirip temannya.
“Ngaakkk!”
Dia pun berlari menjauh dari sana. Kakinya dia lajukan untuk menghindari makhluk yang tak tahu apa itu. Dia berlari cepat-cepat menjauh. Dia berlari menuju kota.
Dilihatnya, banyak orang yang mirip dengan temannya tadi. Di mana-mana ada apa pun yang seperti itu. Dia terduduk lagi. Dia menggeleng-geleng.
“Nggak! Nggak! Nggaakkkk!” Bantahnya sambil menjambak keras rambutnya.

Mengapa aku selalu melihat itu? Mengapa bayangan itu selalu ada? Dan mengapa orang yang dia lihat bayangan cahayanya selalu meninggal. Dan di sana terdapat banyak warna. Semua warna itu jadi satu. Aku pernah melihat satu warna dari warna-warna itu. Tapi aku tak pernah melihat warna putih yang hanya satu. Mengapa? Pikirnya.
Dia pun menepis tentang bagaimana bayang cahaya warna kematian itu. Dia sudah bosan dengan hal itu. Hal kali ini benar-benar membuatnya stres.
Dia segera berjalan menuju seorang bapak-bapak yang tengah berdiri dan hendak menyebrang jalan. Dia pun berniat menyebrang bersamanya dan akan mencopet dompetnya ketika akan menyebrang.
“Om, Om mau nyebrang bareng saya?” Tanyanya.
Perlahan Bapak-bapak itu pun menoleh ke arah Gadis kecil tersebut. Tiba-tiba si gadis melotot dan mengangakan mulutnya. Dia terdiam sejenak.
“Nggak! Nggaakkkk!” Teriaknya.
Dia berlari menjauh dari Bapak-bapak tadi. Dia melihat bayang cahaya warna itu. Dia melihatnya. Dia terus berlari menjauh. Dan benar saja. Dari kejauhan terdengar benturan keras yang memekakan telinganya.
“Argggghhhh….”

“Mengapa kau mencopet?”
“….”
“Mencopet itu tidak baik.”
“…..”
“Berusahalah sendiri. Kau sudah besar!”
“…”
“Bukankah kau bisa mengetahui orang yang akan meninggal?”
“Apa katamu?”
Gadis itu tertegun. Mengapa pria misterius itu bisa mengetahui hal itu.
“Darimana kau tahu?”
“Berhentilah mencopet! Berhentilah memaksa! Maka kau bisa menghentikan kelebihanmu itu!”

“Bu, aku mau beli roti.” Ucap gadis itu.
“Biarin aja dia. Nanti juga sembuh sendiri.”
Klik. Dia menutup telepon lalu menatap gadis kumuh lusuh di depannya.
“Ada uangnya?”
Gadis kecil itu merogoh dalam-dalam saku bajunya. Dia pun menyondorkan banyak uang recehan.
Si pemilik toko mengambil dan mulai menghitungnya.
“Kurang!” Tukasnya.
“Kurang berapa?” Tanya si gadis.
“Dua ratus rupiah.”
“Bisakah aku membayarnya besok? Aku berjanji.”
“Asal kau tahu. Di sini tak ada hutang!” Bentaknya.
“Aku janji akan membayarnya besok.” Ucapnya memelas.
“Tak ada kata besok. Jika mau hari ini, cari dulu uangnya.”
Gadis itu sedikit mencibir. Dia mengambil uang recehannya lagi.
“Terima kasih, Bu. Oh ya, saya cuma mau ngasih tahu doang. Anak Ibu lagi sakit, ya? Cepet aja bawa ke dokter. Dia udah parah.” Ucapnya lalu berlalu.
Pemilik toko tak menghiraukan perkataan si gadis. Dia hanya gadis kecil, pikirnya.
Gadis itu berjalan lagi di trotoar. Berharap ada tangan-tangan yang mau memberikan sepeser hartanya untuk dirinya. Walau hanya sedikit saja.
Dia pun melihat seorang pria gemuk tengah berdiri di tepi trotoar. Dia segera menghampiri pria itu.
“Om, kasihan. Saya belum makan.” Ucapnya sambil menampan.
Pria itu menatap rendah gadis. Dia mengabaikannya.
“Om,” Lirihnya.
Pria itu pun menganggkat bibirnya. Dia mendorong gadis itu keras ke aspal.
“Kalau saya nggak bilang berarti nggak ada! Dasar gadis bodoh! Bisanya minta doang!”
Pria itu berlalu dari hadapannya. Gadis kecil tersebut menangis di atas aspal. Kaki dan sikunya luka dan mengeluarkan darah. Dia meniup-niup bagian yang luka tersebut.

“Itu…”
“Brakk!”
Dia terjatuh. Dia tertabrak sebuah motor. Dia tertabrak tepat saat dia melihat bayangan putih di cermin. Bayang cahaya warna kematian. Dan warna itu adalah warna putih.
Pandangannya samar-samar. Sekumpulan orang mengerumuninya. Dalam berkunang-kunangnya pandangan, dia melihat seorang pria. Pria misterius itu.
Dia teringat kata-kata si pria misterius.
“Berhentilah mencopet! Berhentilah memaksa! Maka kau bisa menghentikan kelebihanmu itu!”
“Bagaimana caranya?”
“Temukan bayang cahaya warna putih. Maka semuanya akan berakhir!”
Setelah dia mengingatnya, senyuman pria misterius itu sangat jelas. Dia dapat melihat pria itu hendak mendekati dan mengambil tubuhnya.
“Sudah kubilang. Semuanya berakhir dan terhenti ketika kau menemukan bayang cahaya kematian berwarna putih!”
GELAP
- SEKIAN -

Jumat, 16 Agustus 2013

Lirik Lagu Davichi Missing You Today/Because I Miss You Today (Translate English+Indonesia)
Oneul ttara geunyang jom
Bogosipeoseo geurae
Naega algoitdeon
Geu moseup geudaero jal jinaeneunji
 Neomu geokjeongeun ma
 Geunyang miryeoni jogeum namaseo
Bigawaseo geurae gibundo uljeokhae
Saenggagi nannabwa
Dasiolkka neo dasiolkka Seollaeideon eoneu bam
 Bulkkeojin bangane bam saedorok
Gidarida neol gidarida
 Cham manhi ureosseo
Dasi mannado anilgeol nan anikka
 Gidarida neol gidarida
Jeongmal niga neomu sirheunde
Ajik neohanae ulgo utneun naega sirheo
Oneulttara geunyang jom
Bogo sipeoseo geurae
 Baramdo siwonhae nalssiga joheuni
 Gwaenhi deo geureone
Sigani jom deo jinamyeon Hanbeonjjeum dasi
 Bolsuisseulkka
Joheunsaram manna
Haengbokhage doemyeon
Nal ijeo beorilkka
Kkeuchirago da kkeuchirago
Saenggakhamyeon halsurok
Niga neomuna bogosipeoseo tto nan
Gidarida neol gidarid
a Cham manhi ureosseo
Dasi mannado anilgeol nan anikka
Gidarida neol gidarida Jeongmal niga neomu sirheunde
Ajik neo hanage ulgo useo
 Bogo sipeo neo bogo sipeo
 Cham manhi ureosseo
Amuri aereul sseodo neon anonikka
Geuraedo na deo gidarimyeon gyesok neoman
Geuriwohamyeon
Hanbeonjjeumeun nal bol
Geot gataseo
Neol gidaryeo
 Oneul ttara geunyang jom Bogosipeoseo geurae
Terjemahan Bahasa Indonesia

 Itu karena aku sangat merindukanmu hari ini
Apakah kau baik-baik saja, kau masih tetap sama? Jangan khawatir, aku hanya sedikit tidak bisa melupakanmu
Ini karena hujan dan aku merasa murung
Jadi aku memikirkanmu
Akankah kau kembali?
 Akankah kau kembali?
Hati yang berdebar semalaman
Aku menunggu sepanjang malam diruangan gelap
Aku menunggu dan menunggumu dan aku sering menangis
Karena aku tahu itu tidak akan berhasil bahkan jika kita bertemu lagi
 Aku menunggu dan menunggumu
Aku benar-benar membencimu
Tapi aku benci diriku sendiri karena masih menangis dan tertawa karena dirimu
Itu karena aku sangat merindukanmu hari ini
Karena angin terasa dingin dan cuaca bagus
Jika waktu berlalu , dapatkah aku melihatmu sekali lagi?
Jika kau bertemu seseorang yang baik dan hidup bahagia
Maukah kau melupakanku?
Semakin aku berpikir bahwa itu sudah berakhir
Aku semakin merindukanmu
Aku menunggu dan menunggumu dan aku sering menangis
Karena aku tahu itu tidak akan berhasil bahkan jika kita bertemu lagi
Aku menunggu dan menunggumu
 Aku benar-benar membencimu
Tapi aku benci diriku sendiri karena masih menangis dan tertawa karena dirimu
Aku merindukanmu, aku rindu padamu
 Aku sering menangis Karena tidak peduli berapa banyak aku mencoba, kau tidak akan pernah kembali
Tapi tetap saja, jika aku menunggumu, jika aku terus merindukanmu
Mungkin kau akan melihatku sekali lagi
Jadi aku menunggumu
 Itu karena aku sangat merindukanmu hari ini

Translate English

 It’s because I miss you more today Are you doing well, are you still the same?
Don’t worry too much, I’m just a little bit not over you
It’s because of the rain and I feel moody
So I thought of you
Will you come back?
Will you come back?
One heart fluttering night I waited all night in a dark room
 I waited and waited for you and
 I cried a lot Because I know it won’t work even if we meet again
I waited and waited for youI really hate you so much
But I hate myself for still crying and laughing because of you alone
 It’s because I miss you more today
More because the wind feels cool and the weather is nice
If time passes a little, will I be able to see you once more?
If you meet someone good and become happy
Will you forget me?  
The more I think that it’s over I miss you so much that  
I waited and waited for you and I cried a lot
 Because I know it won’t work even if we meet again
 I waited and waited for youI really hate you so much
But I hate myself for still crying and laughing because of you alone  
I miss you,
I miss you I cried a lot
Because no matter how much
I try, you won’t come But still, if
 I wait for you, if I keep longing for you
Maybe you’ll look at me once more
So I wait for you  
It’s because I miss you more today  

Kamis, 15 Agustus 2013

Ireumi Mwoyeyo? (Part 1)


Ireumi Mwoyeyo?
"Anyyeong haseyo (Selamat pagi)?" katanya menyapaku. Aku hanya tersenyum dan duduk di sampingnya.
"Anyyeong haseyo," balasku hangat.
"Jung-Sin, kau masih suka latihan menyanyi?" tanyanya-Min-Ah-sambil menggenggam tanganku.
"Ne (Ya), aku masih mengikutinya. Aku paling suka jika Guru vocal kita memainkan biolanya. Aku sangat suka." ucapku sambil tersenyum padanya.
"Kau masih sering bersama Byul-in, kan?" tanya Min-Ah cemas.
"Memangnya kenapa?"
"Aku tak mau kehilanganmu, Jung-Sin," *** Pagi ini aku berangkat terlalu pagi sepertinya. Tak biasanya, aku berangkat sepagi ini. Gedung sekolah terlihat begitu angker dan mencekam hari ini. Apalagi di lantai dua dan ujung koridor itu. Di sana selalu tampak wanita sedang berlari. Kakinya ramping. Rambutnya panjang. Gadis misterius itu selalu melintas jika keadaan sekolah sedang sepi.
"Jung-Sin -ah!"
"Hhah!"
Aku langsung berbalik ketika sebuah tangan menyapa pundakku. Di sana telah berdiri Byul-In dengan wajah heran melihatku begitu terkejut.
"Ah, ternyata kau Byul-In." ucapku sedikit malu sekaligus gugup.
"Mianhae (Maaf), aku tadi mengejutkanmu, ya? Geundae (Omong-omong), bagaimana lagu ciptaan barumu? Aku belum menemukan inspirasi untuk membuatnya. Dan aku yakin, kau pasti sudah, kan?" tanya Byul-In. Aku tersenyum kecil padanya.
"Hahah, tentu saja. Murid sepandai kau selalu mengerjakan sesuatu dengan cepat. Aku ingin sepertimu. Kau pandai, cantik, rendah hati lagi." pujinya padaku. Aku masih tersenyum saja. Byul-In membalas senyumanku semanis mungkin yang bisa dia berikan.
"Jung-Sin -ah, aku harap kita selalu bisa bersama." kata Byul-In sambil berjalan masuk menuju kelasnya. Aku tersenyum lagi. Kulajukan kembali kakiku menuju ruang kelasku. Di sana kosong.
"Ahh, belum ada siapa-siapa." ucapku sendirian sambil menyimpan buku dan menggantungkan headset di telingaku.
"Emmmm, your my only one way, ojing noreul wonhae...em!" ucapku sambil sedikit bersenandung mendengarkan nyanyian dari earphoneku. Sebenarnya, ini adalah earphone pemberian dari Byul-In, setiap hari aku selalu membawanya. Kami adalah teman dekat.
"Jung-Sin -ah!" panggil seorang gadis yang suaranya sudah tak asing di telingaku. Min-Ah.
"Anyyeong, Min-Ah." ucapku sambil membuka headset. Min-Ah sedikit cemberut.
"Waeyo (Kenapa)?" tanyaku sedikit heran.
"Kau masih menyimpannya? Itu pemberian Byul-In, kan?" tanya Min-Ah sedikit berang.
"Ne (Ya), ini dari Byul-In. Waeyo (Kenapa)? Ada masalah?" tanyaku sedikit muak padanya.
"Ye (Ya), itu masalah untukku! Aku ingin kau satu-satunya yang menjadi sahabatmu! Aku sudah setia padamu! Kau tak tahukah itu?" geram Min-Ah. Aku pun berdiri.
"Min-Ah! Aku memang sahabatmu! Kau memang sahabatku! Tapi, bukan berarti hanya kau sahabatku! Siapa saja boleh jadi sahabatku!" teriakku sedikit menggema. Kebetulan, di kelas hanya ada aku dan Min-Ah.
"Baiklah! Kalau begitu kita putus!" teriak Min-Ah.
Air mataku mengalir. Min-Ah bilang putus? Apakah hanya karena aku bersahabat dengan Byul-In aku harus putus persahabatan dengannya?" *** Aku terduduk di kursi panjang sambil menatap secarik foto yang berisikan aku dan Min-Ah. Rambutku yang panjang dengan poninya yang panjang terurai. Dan rambut sebahu Min-Ah dengan poni sedikit di atas alis juga terurai. Di foto itu, wajah kami saling bahagia. Senyum kami jelas menampakan senyuman paling bahagia yang kami punya. Aku masih ingat. Sampai sedetail kisahnya juga masih ingat. *** "Jung-Sin -ah!" teriak Min-Ah.
"Eh, Anyyeong Min-Ah." balasku sambil melambai padanya.
"Jung-Sin -ah, kita sudah lama bersama, aku mau kita menjadi sahabat, mulai dari hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini." ucap Min-Ah sambil menggenggam tanganku.
"Ayo kita buat perjanjian, bahwa kita akan terus dan selalu bersama selamanya. Kau sahabatku, dan aku sahabatmu." ucap Min-Ah lagi. Aku menatapnya. Min-Ah adalah gadis yang cantik. Dia juga pandai dan baik. Dari awal bertemu, aku sudah menyukainya.
"Min-Ah -ssi, aku mungkin tak akan menyebutkannya lagi nanti. Kau akan jadi orang yang paling dekat denganku." ucapku sambil menggenggam tangannya.
"Kau mau menjadi sahabatku, Jung-Sin -ah?" tanya Min-Ah terlihat sangat bahagia. Aku mengangguk.
"Jijja (Sungguh)?" tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi.
"Oh, Jung-Sin! Hari ini akan menjadi hari terindah!" ucapnya sambil memelukku.
"Kajja (Ayo) kita berfoto bersama!" pintanya. *** Ya, masa itu adalah masa satu tahun kebelakang. Sejak saat itu, aku dan Min-Ah menjadi sahabat baik. Min-Ah, aku sangat menyukainya. Dia adalah teman yang sangat baik. Harus kuakui, aku tak gampang berteman dengan sembarang orang. Dan aku yakin, Min-Ah adalah teman yang sangat baik. Dia pandai, cantik dan sangat baik hati. Tapi terkadang dia seperti ini, egois.
Srrrtt!
Aku mendongak. Suara itu tiba-tiba muncul dari ujung koridor tepat di depan lift. Bayangan gadis berkaki ramping itu melintas di depan lift sangat cepat. Aku segera berlari untuk menanyakan siapa dia. Siapa gadis itu.
"Hey! Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?!" teriakku ketika dia melintas. Namun, dia tak berhenti. Dia selalu begitu. Dia amat membuatku penasaran.
"Jung-Sin -ah!" seru seseorang. Aku mendongak.
"Songsaengnim (Ibu Guru)!"
"Jung-Sin, aku harap setelah ujian nanti kau bisa membuatkan aku lagu. Lagu dengan judul Biola Kematian." ucap Bu. Gin-Ha, Guru vocalku.
"Geu-Geurae (Baiklah)." ucapku sedikit gugup. Bu. Gin-Ha sedikit tersenyum dan pergi meninggalkanku sendiri. Dia bilang Biola Kematian? Untuk apa dia menginginkan aku mengarang lagu itu? *** Biola kematian Datanglah dan nyanyikan Gesekan biolamu sesuai dengan keinginan Bukan keinginan kita Namun itu keinginan nyanyian
Biola kematian Jangan coba-coba memainkan Karena itu alat pemanggil setan Siapa saja yang berani mendengarkan alunannya yang mengagumkan Akan membangunkan sang seniman Biola kematian Hati-hati dalam mendengarkan alunan Jika nyanyian tak memerintahkan Maka nyanyian akan menjadi pedang Biola kematian Lanjutkan jika telah menyanyikan Jika tidak akan membuatku berang Membuat berang sang seniman Biola kematian Jangan hiraukan lirik yang mencekam Jangan hiraukan gangguan yang akan datang Tapi harukan kematian Kematian yang akan datang Pada saat menghadang sebuah pertanyaan Jika kau ingin selamat maka harus ada jawaban Jawaban kematian Jika kau tak bisa menjawab Maka lehermu akan jadi penggantinya Biola kematian Lanjutkan
Aku terdiam lagi, apakah lirik ini benar-benar mencekam? Apakah lirik ini benar-benar memiliki rahasia? Aku tak tahu. Aku yang membuat lirik ini. Aku juga yang pasti tahu apa maksudnya, tapi entahlah! *** "Byul-In, kemarin aku disuruh membuat lagu oleh Songsaengnim. Aku sudah membuat liriknya, tapi aku belum menemukan nada yang tepat. Aku harap kau bisa menyanyikannya dengan nada yang bagus." ucapku sambil menyondorkan secarik kertas yang berisi tentang lirik lagu yang kemarin kubuat. Byul-In tampak membacanya. Dia kelihatan sangat serius dalam membacanya.
"Eottokhae (Bagaimana)? Kau sudah menemukannya?" tanyaku. Byul-In terdiam. Dia lalu mengeluarkan bolpoin dan bukunya dari tas.
"Aku salin ini." ucapnya. Aku mengangguk. *** Hari ini ujian telah berakhir. Min-Ah kelihatannya sedikit cuek ketika aku berbicara dengannya. Dan aku juga mengerti, dia pasti masih marah padaku.
"Min-Ah," desahku.
"Mwo (Apa)?" tanyanya sedikit mengabaikanku.
"Aku tak mau kita putus. Shireo (Tak mau)!" pintaku padanya sambil menggenggam tangan kanannya.
"Arraseo (Aku mengerti)." ucapnya lalu melepaskan tanganku perlahan.
"Kau harus memberikan earphonemu itu pada Byul-In!" perintah Min-Ah.
"Dan satu lagi, jangan pernah lagi berbicara dengannya!" teriak Min-Ah.
"Hajiman (Tapi)..." ucapku terpotong ketika Min-Ah pergi. *** "Byul-In -ssi!" teriakku ketika Byul-In lewat di depan lift.
"Anyyeong, Jung-Sin." sapanya hangat.
"Byul-In, mianhae (maaf)!" ucapku sambil memberikan earphone dan segera berlalu dengan berlinang air mata. Aku masih ingat, aku sangat ingat ketika dia memberikan earphonenya untukku. *** "Jung-Sin, aku sangat mengangumi suaramu. Kau memiliki suara yang amat bagus. Aku sangat ingin sekali mempunyai suara sepertimu. Ini, aku berikan padamu." ucapnya sambil memberikan sebuah earphone padaku. Aku menatapnya.
"Aku baru membelinya sekitar seminggu yang lalu. Setiap aku mendengarkannya, aku selalu merasa tenang. Dan aku tahu, kau juga harus mencobanya, untuk suaramu. Kau bisa berlatih agar lebih bagus." ucap Byul-In sambil memamerkan senyum terbaiknya.
"Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya." *** "Jung-Sin -ah!" teriak Byul-In. Aku terhenti.
"Aku tak percaya kau masih menyimpannya. Ini kan sudah setahun yang lalu. Kau benar-benar merawat dan menyimpanya. Tak ada yang berubah dari benda ini, masih sama dan persis seperti waktu aku memberikannya padamu. Gomawo (Terimakasih), aku akan menyimpannya." ucap Byul-In sambil berlalu. Aku menahan air mataku. Kugigit bibirku keras. Aku tak mau. Aku tak mau! *** Hari ini adalah pembagian hasil ujian. Aku sudah mempersiapkan diri kalau-kalau nilai ujianku tak sesuai dengan yang aku inginkan. Hari ini aku sengaja berangkat lebih pagi. Dan seperti biasa, gadis misterius itu datang lagi.
"Anyyeong! Ireumi mwoyeyo (Siapa namamu)?" teriakku. Gadis itu terhenti.
"Datangi aku setelah hasil pembagian ujian. Dan datangi aku saat keadaan sekolah sepi." ucapnya dingin. Aku menelan ludah.
"Satu lagi, jangan ingkari janjimu. Kau harus mendatangiku!" ucapnya sambil berlari dan berlalu. *** "Min-Ah, lihat! Nilai ujianku nyaris sempurna!" ucapku sambil menyondorkan kertas hasil ujianku padanya.
"Chukae (Selamat)." ucap Min-Ah sedikit murung. Aku pun segera melihat hasil ujiannya. Hanya berbeda 0,1 denganku. Nilaiku lebih baik. Perbedaannya tidak besar.
"Min-Ah, hari ini kita pulang bersama, yuk!" ajakku padanya. Min-Ah sedikit menggeleng.
"Mianhae (Maaf), aku harus menjenguk Eommaku yang sedang sakit." ucapnya.
"Aku ikut!" kataku.
"Andwae (Jangan)!" ucapnya sambil berjalan menjauhiku. Aku terdiam. *** Seperti yang dikatakan gadis tadi, aku harus menemuinya sepulang sekolah. Ya, turuti saja. Lagipula aku sangat penasaran terhadapnya. Siapa dia sebenarnya, dia tak pernah menampakan wajahnya. Aku pun berjalan sendirian di atas koridor ini. Di sekolah sudah sangat sepi. Mungkin hanya tinggal aku sendiri di sini.
Dan akhirnya seorang yang aku tunggu datang. Dia melintas cepat di depan lift dan berlari menuju ruang bawah sekolah. Aku mengejarnya. Dia sedang berdiri di ruang bawah. Dia tampak menggenggam kertas dan sedikit meremasnya.
"I-Ireumi Mwoyeyo (Siapa Namamu)?" tanyaku sedikit gugup. Gadis itu berbalik. Seketika, darahku langsung naik dan tiba-tiba aku terhenti.
"Mi-Min-Ah!" ucapku gelagapan.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku sedikit mundur.
Dia melaju ke arahku. Matanya merah dan sedikit lebam. Dia mengarahkan kertas itu padaku. Kertas itu adalah kertas hasil ujian!
"Min-Ah, itu bukan kau, kan? Katakan bukan! Marhaebwa (Katakan)!" teriakku sambil terus berjalan mundur. Detak jantungku seakan terhenti. Nadiku seakan tak ada denyutan. Dan darahku seperti telah membeku dan terhenti.
"Jung-Sin -ah! Kau telah merebut segalanya!" teriaknya sambil melemparkan kertas ujian itu tepat di leherku.
Aku terpaku. Kutatap secarik kertas yang tertancap tajam di leherku itu. Perlahan, darah mengalir dan berjatuhan di baju dan seluruh tubuhku. Kulihat Min-Ah tersenyum sinis sambil berlalu dan tertawa licik. Sementara aku masih berdiri dengan pandangan berkunang-kunang. Rasa sakit menjalar dengan cepat. Rasanya seperti urat-urat tubuh ini tercabut dari tubuhku. Aku terjatuh. Aku tersungkur. Terakhir kali yang aku ingat adalah suasana GELAP!
Bersambung...



  • Bab I Grondey Express
    Kereta itu melaju terus ke satu arah di mana ada sebuah sekolah yang memiliki dua ruang yang berbeda. Terpisah oleh sebuah elemen yang tak bisa digambarkan bagaimana bentuk dan rupanya. Walau banyak orang yang tak bisa menyadarinya, tapi kadang ada seseorang yang sadar dengan adanya hal tersebut. Terkadang merasa takut, atau merasa yakin untuk memasuki ruang waktu yang berbeda dimensi. Di sebuah dimensi yang penuh dengan keajaiban. Seperti sebuah kuda terbang yang bisa membawa kita terbang ke mana pun kita ingin. Atau mungkin burung berekor panjang yang paruhnya mirip dengan mulut kuda. Dan mungkin hal-hal aneh lainnya.
    Seperti yang anak itu rasakan, dia sudah bisa tinggal di sana semester lalu. Rasanya sangat senang dan betah bersekolah di sana. Apalagi dikelilingi dengan orang-orang yang dia cintai. Itu semakin membuatnya merasa tenang dan tentram. Walau banyak hal-hal aneh dan jahat yang dia temukan, tapi senyum dari orang-orang tersayangnya tak akan bisa menyaingi ketidaksukaannya terhadap sesuatu. Seperti sesuatu yang terpendam dalam dirinya. Entah mengapa dia sangat membenci hal itu, sesuatu yang sangat mengganggunya.
    "Hy, Darwin. Liburanmu menyenangkan?" tanya Elizabeth sambil duduk di samping Darwin.
    "Yeah, seperti biasa. Ayah dan Ibuku tak pernah mau memanjakanku." ucap Darwin datar.
    "Hahha, mereka memang kejam, ya. Sepertinya aku harus sedikit bersyukur menjadi anak satu-satunya orangtuaku. Walau mereka sedikit cerewet." kata Elizabeth sambil membuka-buka lembar buku yang dia baca. Tak lama datang Dustin dengan setoples coklat berwarna-warni yang sepertinya dia bawa dari rumahnya ketika liburan.
    "Hy, Darwin, Elizabeth." sapa hangat Dustin pada mereka. Darwin melambaikan tangan dan Elizabeth tersenyum.
    "Kau mau coklat. Lihat! Aku bawa banyak, yang kuning rasa mint, yang biru rasa permen karet, yang merah muda rasa stawberi. Kalian mau?" tawarnya pada Darwin dan Elizabeth sambil menunjuk coklat berwarna itu.
    "Aku boleh menambahkan coklatmu, kan, Dustin?" ucap Bert dan Polly sambil mendekati Dustin.
    "Kau pasti akan memasukan permen coklat meledak lagi, kan? Aku merasa geli dengan itu!" ucap Dustin sambil menyembunyikan toples coklatnya. Sementara Polly Marco dan Bert Wilson tertawa-tawa.
    "Hahah, maafkan kami, Dustin. Kami tak bermaksud. Ya, kan?" ucap Polly sambil mengerling ke arah Bert. Bert mengangguk.
    "Awas saja kau! Pelajaran Prof. Lopez aku laporkan!" ancam Dustin sambil pergi ke tempat duduknya.
    Bert tertawa-tawa, sementara Polly hanya berdiri kaku menatap sebal Bert. Dia memang tak bisa naik sapu terbang, tapi setidaknya sahabatnya itu tak menertawakannya.
    "YEAH, ITU LUCU!" ucap Polly sambil berlalu.
    Darwin sedikit tertawa-tawa melihat dua anak paling jail itu. Elizabeth terus memperhatikannya sampai Darwin meliriknya.
    "Ada apa, Elizabeth?"
    "Begini, aku sedang melakukan sebuah uji coba." ucap Elizabeth riang.
    "Wah! Lalu?"
    "Dan aku..."
    "Darwin!" Edgar tiba-tiba datang dan menyela. Elizabeth terlihat kesal.
    "Hay, Edgar." sapanya.
    "Darwin, ini hebat! Kau tahu? Di semester ini akan ada Minimolly." ucap Edgar. Darwin mengernyit.
    "Apa itu Mini...?" tanya Darwin sedikit berfikir. Elizabeth langsung menyerocos.
    "Minimolly adalah makhluk kecil berwarna coklat. Dia kira-kira sebesar bayi usia lima bulan. Mereka memiliki sayap dan mata yang indah. Tubuhnya berbentuk seperti oval. Dia termasuk pembantu para penyihir. Dia adalah makhluk yang baik." ucap Elizabeth panjang lebar menahan nafas Edgar.
    "Mengapa kau menyela? Aku juga tahu apa itu Minimolly." ucap Edgar sinis. "Memang hanya kau saja yang tahu?!" lanjutnya lagi. Elizabeth mendelik, dua-duanya memang egois.
    "Tapi aku harus lebih cepat daripada kau, tahu!" kata Elizabeth tak mau kalah.
    "TERSERAH PADAMU!" Edgar marah dan mendelik berlalu. Dia langsung menuju meja Samantha. Elizabeth menggeram dan duduk keras di atas bangkunya. Wajahnya merah padam. Edgar benar-benar selalu membuatnya kesal.
    "Sudahlah, Elizabeth. Edgar mungkin menyukaimu." tenang Darwin pada Elizabeth. Elizabeth meletakan dua tangannya di wajahnya. Dia seperti menangis.
    "Edgar selalu membuatku sakit hati. Aku amat membencinya." ucap Elizabeth.
    2.Rahasia Elizabeth
    Darwin sedikit gugup ketika Elizabeth menyandarkan kepalanya di pundak Darwin. Dia sungguh tak pandai menilai wanita. Edgar tiba-tiba datang dengan Samantha. Dia kaget melihat Darwin yang canggung dengan Elizabeth di sampingnya.
    "Elizabeth kau kenapa?" tanya Edgar sambil memegang tangannya. Elizabeth menepis tangan Edgar keras lalu pergi berlari sambil menangis.
    "Ada apa dengan dia?" tanya Edgar. Darwin menggeleng pelan.
    Tak lama, Grondey Express tersebut mulai berdecit pelan dan berhenti. Semua anak berlarian keluar menuju sekolah. Sebagian anak-anak Grondey Sihir mulai berhamburan ke tempat-tempat pergantian sekolah mereka. Sebagian juga masih berkeliaran di sekolah tersebut.
    "Kau mau ke Grondey sihir lewat hidung Monalisa lagi?" tanya Edgar.
    "Rasanya aku seperti diputar dan dikocok." keluh Darwin.
    "Kalau begitu, kau ikut bersamaku saja. Ada tempat yang tak akan membuatmu pusing." tawar Edgar sambil merangkul pundak Darwin.
    "Yeah, kita coba dulu." Darwin mengiyakan.
    Mereka mulai berjalan menuju tempat yang dimaksud Edgar. Edgar mulai melirik ke sana-sini. Dia sedikit mengangguk pada Darwin. Darwin mengernyit.
    "Maksudmu?"
    "Kita masuk ke lorong bawah tanah ini. Nanti kita akan bermain selujuran. Asyik deh pokoknya!" ucap Edgar.
    Edgar segera membuka salah satu batu yang ada di sana. Mereka segera masuk ke dalamnya. Batu itu tiba-tiba tertutup dengan sendirinya.
    "Lalu kita bagaimana?" tanya Darwin.
    "Menyelunjurkan diri, oke aku hitung sampai tiga. Satu, dua ti...Arrghhhh!" Edgar sudah berteriak duluan.
    "Ba-gaimana i-ni!" Darwin sedikit tergagap menahan besarnya angin yang mendorong tubuhnya ke bawah lubang batu tersebut.
    "Ka-u bi-bilang tak me-musingkan! I-ni lebih da-ri pu-sing!" teriak Darwin. Sementara Edgar masih berteriak menahan rambutnya yang berkibar-kibar.
    "Ini le-bih lama da-ri hidung Monalisa!" teriak Darwin lagi.
    Edgar masih tetap berteriak. Sementara sebuah lubang yang cukup besar terbuka dan membuat mereka jatuh ke lantai dengan suara 'Brakkk!' keras.
    "Arggh!" geram Darwin.
    "Hahaha, lihat cucu dari Kepala Sekolah kita! Dia datang ke sini dengan menggunakan cara lama yang tidak menakjubkan. Lebih baik kita pakai sihir. Langsung berpindah ke sini, hahahha!" Cole tiba-tiba datang dan langsung mengejek Darwin.
    "Yeah!" ucap Darwin singkat. Darwin lalu bangun dan menarik Edgar.
    "Ayo, Darwin! Kita pergi saja, di sini ada Thom and Jerry dan Tuannya. Aku sangat muak terhadap mereka!" ucap Edgar sinis sambil mendelik.
    *** Dua anak itu tengah bercakap-cakap. Namun hanya satu yang kelihatannya begitu serius dan berbicara panjang lebar. Anak laki-laki dan perempuan. Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Tapi kelihatannya, anak perempuan itu menangis.
    "Sudahlah, Elizabeth!" tenangnya. Elizabeth masih menangis.
    "Aku tak suka, Darwin!" balasnya dengan mata berlinang.
    Tak lama, seorang anak laki-laki yang seumuran dengan mereka datang dan langsung menyapa.
    "Hay, Darwin. Hay, Elizabeth!" sapanya. Darwin tersenyum dan Elizabeth hanya menunduk.
    "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya.
    "Ini rahasia." jawab Elizabeth masih tak menatap Edgar.
    "Jika kau sudah memberitahunya, itu bukan rahasia lagi!" oceh Edgar dengan mata abu-abunya.
    "Ya, ini bukan rahasia lagi di antara aku dan Darwin. Tapi bagimu ini rahasia!" bentak Elizabeth dan langsung pergi.
    "Ada apa lagi dengannya? Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanya Edgar sambil duduk di samping Darwin. Darwin menggeleng pelan. *** "Kepala sekolah sakit keras. Sekarang sekolah dipimpin Prof. Robert. Aku harap dia bisa seperti Prof. William. Dia kepala sekolah yang hebat." ucap Bert serius pada Polly. Darwin hanya menatap mereka dan mencoba menguping. Kakeknya sakit?
    "Darwin, bagaimana keadaan Kakekmu? Aku sangat khawatir. Katanya sih, Kakekmu sakit Roinius. Penyakit itu cuma bisa disembuhkan oleh jamur liar di tengah hutan Scarymus. Hanya ada di sana saja." ucap Elizabeth sedikit murung.
    "Yeah, tapi rasanya jika kita ke sana akan mendapatkan pemotongan poin yang besar." tambah Edgar dengan kilatan matanya.
    "Tapi cara apalagi yang harus kita lakukan agar Kakek Darwin bisa sembuh?" tanya Elizabeth dengan pandangan tajam. Sementara Darwin menenggelamkan tubuhnya di atas kasur dengan wajah resah.
    "Edgar!" seru Elizabeth sambil sedikit berbisik.
    "Apa?" *** Hari ini Darwin nampak tak bersemangat sama sekali. Dia berjalan gontai menuju ruangan ramalan Prof. Robert di ujung koridor. Edgar dan Elizabeth tampak resah juga melihat Darwin.
    "Darwin, Kakekmu pasti dapat disembuhkan." tenang Elizabeth.
    "Prof. Colin bilang ini tak akan berhasil." Darwin berucap murung.
    "Aku pernah membaca di buku tentang penyakit-penyakit. Dan itu ada obatnya, ramuan dari jamur di hutan Scarymus. Hanya saja..." Elizabeth terhenti, dia tak mau meneruskannya.
    "Hanya saja apa?" tanya Darwin masih murung.
    "Ramuan itu harus diselesaikan paling sebentar dua minggu. Jamur itu harus dikeringkan terlebih dahulu sampai berwarna coklat. Karena jamur itu basah dan hidup di air." ucap Elizabeth sedikit murung.
    "Dan Prof. Colin bilang, Kakekku itu hanya punya sisa waktu seminggu." tambah Darwin.
    "Itukan kata Prof. Colin! Itu hanya memprediksi." ucap Edgar dengan kilatan matanya. Darwin masih terdiam. Setelah dia harus kehilangan kedua orangtuanya, apakah dia harus kehilangan Kakeknya juga?
    "Hay Darwin!" seru Prof. Colin ketika mereka sedang berjalan.
    "Profesor, bagaimana keadaan Kakekku?" tanyanya langsung. Prof. Colin tersenyum padanya.
    "Aku akan membuat ramuan terbaik yang bisa menyembuhkannya." ucap Prof. Colin.
    "Aku harap." balas Darwin singkat. *** "Bagaimana PR ramalanmu?" tanya Edgar sambil sedikit melongo ke arah Darwin.
    "Akan kutragis-tragiskan!" ucapnya sambil masih berkutat pada PRnya.
    "Kakekku akan mati lebih cepat, aku akan mendapatkan Minimolly yang cacat, semua nilai ulanganku kurang dari lima, aku akan menabrak pilar dari sapu terbang dan langsung terbang menuju hutan Scarymus dan tak kembali, aku akan terjatuh sebanyak tujuh kali setiap lewat tangga ke tiga belas, percobaan ramuanku nanti, wajahku akan terbakar dan menjadi hitam karena ledakan dari kegagalanku membuat ramuan...,waw! Itu bahkan lebih tragis dari yang pernah aku pikirkan." cerocos Edgar sambil membaca tulisan Darwin dari perkamen panjang itu.
    "Dulu kau bilang, kau mengagumi Prof. Robert. Kenapa jadi begini?" tanya Elizabeth pada Darwin.
    "Aku rasa Prof. Robert adalah penyebab semua ini. Apakah kau pernah berfikir bahwa dia pelakunya? Aku sempat merasakannya, ketika seseorang berkata begini, 'untuk memastikan ramalan itu tidak benar'. Dan aku yakin, siapa lagi peramal di sekolah ini? Dia, kan? Juga, mereka bilang jika mereka membunuhku dan Kakekku, mereka akan menguasai sekolah, siapa lagi? Prof. Robert adalah wakil kepala sekolah, jika Kakekku dan aku meninggal, maka sekolah akan jatuh padanya!" bentak Darwin.
    Elizabeth dan Edgar terpaku. Baru kali ini mereka melihat Darwin marah. Tak biasanya Darwin membentak seperti itu. Darwin menunduk.
    "Maafkan aku," ucapnya.
    "Sudahlah, Darwin! Aku tahu ini sulit untukmu. Kami mengerti, kok," tenang Elizabeth. Seberapa cerewetnya pun dia, Elizabeth adalah orang yang baik dan perhatian.
    "Ya, Darwin. Kita yakin, pasti kita bisa menemukan penawar itu. Jamur liar danau Scarymus." *** Pencarian Penawar Roinius
    Dua anak itu berjalan perlahan ke sebuah ruangan di ujung menara. Pagi-pagi buta begini entah apa yang mereka lakukan. Mereka menemui seorang pria tua berjubah. Mereka sedikit bercakap-cakap. Seperti sesuatu yang amat penting.
    "Jadi jika kita pakai ini akan selamat?" *** "Kalian akan pergi ke mana?" tanya Samantha dengan bola mata indahnya.
    "Kau mau ikut?" tanya Edgar.
    "Aku banyak tugas di sini, aku pergi dulu." ucap Samantha, di balik mereka, dia tersenyum sinis.
    "A-aa!" Darwin tiba-tiba menyentuh rambut hitamnya. Dia sedikit mengerutkan kening menahan sakit.
    "Ada apa, Darwin?" tanya Elizabeth cemas. Darwin menggeleng.
    "Aku hanya merasakan sihir hitam di sini. Anehnya, sekarang kepalaku jadi sakit." ucapnya sambil menggosok mata biru miliknya.
    "Darwin, gawat! Itu menandakan bahwa sihir hitam telah mengancam hidupmu. Mereka akan membunuhmu!" ucap Elizabeth dengan berbisik tajam ke telinga Darwin.
    "Kau menakut-nakutiku lagi?" tanya Darwin menelan ludah. "a-aaa!" geramnya lagi. Elizabeth melotot. Dia langsung menarik Edgar dan Darwin sambil mengacungkan tongkat dan membaca mantra "Move to Forest!"
    Mereka terguncang. Tubuh mereka tiba-tiba tertarik ke sesuatu yang entah bagaimana gambarannya. Tak dapat mereka gambarkan. Tubuhnya seakan terbawa ke sebuah tempat. Seakan pandangan mereka kabur dan hanya putaran yang mereka lihat. Tak lama, tubuh mereka terdorong ke sebuah tempat gelap dan tanah. Tubuh mereka terlempar dengan suara 'brukkk' bersamaan.
    "Arggh!" geram Edgar kesakitan. Darwin menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba melihat dengan jelas. Sementara Elizabeth mencoba bangun dan menepuk-nepuk rok dan jubahnya. Suasana di sana cukup gelap dan senyap.
    "Kita di hutan?" tanya Edgar sedikit gemetaran. Suasananya-hutan Scarymus-memang benar-benar mencekam. Angin berhembus keras ke kulit-kulit mereka. Pohon-pohon menjulang rapat dan begitu tinggi. Suara-suara hewan liar terdengar memecah keheningan. Elizabeth mulai berdiri dan merogoh saku.
    "Makan biji menghilang ini! Ini akan membuat kita tak terlihat oleh semua yang ada di sini, kecuali mereka yang sama-sama makan biji ini. Kira-kira biji ini bertahan selama tiga jam, jadi diusahakan kitak harus sudah menemukan jamur itu satu jam setelah ini." ucap Elizabeth sambil menggigit biji menghilang.
    "Pakai 'Move to School' saja!" ucap Edgar cetek.
    "Kau kira itu gampang? Aku hanya bisa melakukannya sekali dalam seminggu. Itu karena aku belum mahir!" ucapnya.
    Mereka cepat-cepat menelan biji menghilang itu. Lalu segera mereka berlari mencari danau yang letaknya di tengah hutan Scarymus.
    "Kita ada di mana ini?" tanya Darwin dengan jubahnya yang berkibar.
    "Kita ada di satu kilo meter dari ujung hutan. Kita belum jauh dari sekolah. Sementara hutan ini begitu luas. Makanya, kita harus cepat-cepat!" ucap Elizabeth sambil berlari.
    Mereka terus berlari bersama angin hampa yang mengibarkan rambut dan jubah mereka. Terutama Elizabeth, dalam sekejap rambutnya sudah mengembang.
    "Elizabeth, apakah masih jauh?" tanya Edgar buru-buru dengan nafas terengah.
    "Kita harus sampai di tengah hutan dulu, baru itu dekat." balas Elizabeth sambil membenamkan rambutnya.
    "Apakah ada orang lain yang bisa melihat kita selain yang tadi di sebutkan?" tanya Darwin mengerling ke arah Elizabeth.
    "Entahlah! Setahuku mereka yang punya penglihatan gaib yang bisa." jawabnya sedikit berpikir.
    "Penglihatan gaib? Apa maksudnya?" Edgar terlihat sangat penasaran dan bingung.
    "Sudahlah, nanti saja pertanyaannya! Sekarang kita fokuskan ke pekerjaan kita sekarang. Mencari jamur liar danau Scarymus!" teriak Elizabeth. Edgar dan Darwin diam. Mereka mengunci mulutnya rapat-rapat dan kembali berfokus pada jalan di sekitarnya. Walau hutan ini terkesan begitu angker dan mengerikan, tapi tak ada cara lain yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan Kepala Sekolah tambah Kakeknya Darwin.
    "Elizabeth, apakah kau merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Edgar sedikit bergidik. Hati Elizabeth mencelos. Mata Darwin langsung melotot ke arah Edgar.
    "Ya, aku merasa semakin lama semakin gelap." ucap Edgar enteng dan merasa tak enak diperhatikan seperti itu.
    "Lighten!" ucap Elizabeth sambil mengangkat tongkat sihirnya.
    "Lighten!" Darwin meniru ucapan Elizabeth. Dan kini kedua tongkat mereka bercahaya di ujung atasnya.
    "Baiklah, aku juga akan meniru kalian. Lighten! Oh!" Edgar terhuyung. Bukan karena terpeleset atau jatuh, melainkan karena silau tongkatnya bercahaya di bagian bawah.
    "Ya ampun! Sini, biar aku yang buat! Lighten!" ucap Elizabeth. Tongkat mereka bertiga kini sudah bercahaya. Mengingat hutan Scarymus yang begitu gelap dan amat mencekam, mereka memerlukan penerangan. Dan untung saja Elizabeth tahu caranya.
    "Apakah hari sudah gelap?" tanya Edgar bergidik lagi. Dia memang kelihatan sangat takut dan berdebar-debar.
    "Tenanglah, Edgar! Kita baru berlari sekitar tiga puluh menit. Dan kurasa, sudah sebentar lagi." tenang Elizabeth masih sambil berlari.
    "Kita tak akan ketinggalan pelajaran, kan?" tanya Edgar dengan pandangan liar.
    "Ini akhir pekan, libur, bodoh!" geram Elizabeth pada kata akhir. Dia sudah sedikit muak pada Edgar yang amat ketakutan.
    "Aku sudah capai!" ujar Edgar sambil terhenti. Nafasnya pendek-pendek dan keringatnya bercucuran.
    "Kita harus cepat!" ucap Elizabeth.
    "Elizabeth, sebaiknya kita istirahat dulu selama beberapa menit. Aku sendiri sudah lelah, kita bisa duduk dulu selama tiga menit, atau lima." ujar Darwin yang ikut terengah-engah dan duduk di samping Edgar. Elizabeth menurut, dia ikut duduk di samping mereka.
    "Andai ada air..." keluh Edgar sambil mengusap kepalanya. Elizabeth memandang ke lain arah. Lalu dia menyondorkan sapu tangan dan sebotol air minum pada Edgar.
    "Thanks." ucapnya singkat. Edgar lalu menerima pemberian Elizabeth dan langsung meneguk air.
    "Ya, tak masalah." balas Elizabeth lambat.
    "Darwin, kau mau minum?" tanya Elizabeth pada Darwin.
    "Aku belum haus." ucap Darwin. Elizabeth pun mengeluarkan sebotol penuh air lagi. Dia minum sampai separuh airnya habis. Dia memang sudah membawa beberapa botol air untuk diminum.
    Mereka bertiga kembali berdiri. Edgar kelihatannya sudah sedikit lega dan tak terlalu capai. Begitu pun Darwin dan Elizabeth. Mereka sudah siap untuk berangkat lagi.
    "Baiklah, karena sekarang kita dikejar-kejar waktu, aku tak bisa menunggu lama lagi. Perjalanan kita menuju danau hanya tinggal setengah jam lagi. Kita mungkin sedikit kesulitan mendapatkan jamurnya nanti, apalagi di dalam air. Jadi aku harap, kita bisa cepat!" ucap Elizabeth pada Darwin dan Edgar. Mereka berdua mengangguk dan kembali berlari mengikuti Elizabeth dari belakang.
    Selama perjalanan ini, mereka tak sama sekali mendapat gangguan dari para makhluk berbahaya di hutan Scarymus. Mereka tak sama sekali melihat ada tanda-tanda makhluk hidup di sana. Mereka juga tak sama sekali melihat tanda bahaya. Atau mungkin, memang mereka tak tahu adanya meberadaan mereka.
    Lima belas menit berlalu, mereka masih berlari mengintari belantara hutan yang banyak orang menganggapnya sebagai hutan yang paling menakutkan. Seperti yang orang-orang bicarakan, hutan itu sangat misterius. Tak ada orang yang tahu persis bagaimana hutan tersebut. Namun, karena telah adanya tiga orang korban yang memasuki hutan tersebut dan tak pernah kembali, hutan itu menjadi sangat buruk. Hutan tersebut juga mendapatkan nama 'Scary', yang berarti mengerikan. Walau sebagian juga tak percaya akan sesuatu yang ajaib bisa terjadi di sana-hutan Scarymus-, tapi mereka tak pernah berani masuk seperti anak-anak ini-Darwin, Edgar dan Elizabeth-.
    "Darwin!" Elizabeth tiba-tiba terhenti dan membentangkan kedua tangannya mencegah Edgar dan Darwin berlari.
    "Aku rasa, kita sudah beberapa kali lewat ke sini. Sepertinya ada yang tidak beres dengan hutan ini. Dan aku juga merasa, ini adalah tempat kita tadi berhenti." gumam Elizabeth sedikit berbisik. Dalam nada bicaranya, tersimpan berjuta-juta misteri.
    "Aku-aku juga merasa seperti itu," ucap Edgar sedikit gelagapan. Hati mereka bertiga mencelos, pandangan mereka liar dan sangat waspada.
    "Aku rasa, ada seseorang yang tengah mempermainkan kita!" Darwin terlihat sedikit histeris. Mereka bertiga berputar memandang sekeliling. Masih tetap waspada dan sangat berhati-hati.
    'Krsk! Krsk!' sebuah suara dari balik semak-semak muncul. Edgar langsung memelototkan matanya dan lebih berwaspada.
    "Suara apa itu?" bisik Edgar.
    Pertaruhan Nyawa di Dalam Hutan
    Darwin dan Elizabeth memandang setiap semak belukar yang ada di sekitar mereka dengan pandangan waspada. Sementara Edgar terlihat gemetaran dan takut. Giginya sedikit bergertakan dan bertabrakan. Beberapa detik, hening.
    "Lihat, tidak ada apa-apa, kan?" Elizabeth berkata dan berbalik ke arah lain.
    "Aku sudah bilang, tidak adArgggghhhhh!"
    "Elizabeth!" Edgar menjerit dan hendak berlari menuju monster yang mengangkat Elizabeth. Namun Darwin mencegahnya.
    "Tidak, Edgar! Jika kita melawan makhluk itu, kita akan kalah! Kita tak punya cukup tenaga dan cukup ilmu!" ucap Darwin.
    "Lalu kita harus bagaimana?" tanya Edgar cepat. Darwin menatap sekeliling. Dia menatap Elizabeth yang tengah menjerit dan meronta-ronta minta dilepaskan. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah danau yang berada sekitar dua puluh meter di sekitar mereka. Dan Darwin tahu, itu pasti danau yang mereka tuju.
    "Edgar, kita akan menjebaknya! Kau lihat danau di sana? Dan aku yakin, itu pasti danau yang kita maksud. Sekarang kita alihkan dia untuk mengejar kita. Kita berlari ke danau, aku yakin, makhluk besar buas dan jelek itu pasti akan mengikuti kita ke mana pun. Kita meluncur ke sana, kau menyelamatkan Elizabeth, sementara aku mencari jamur. Kau mengerti, kan?" ucap Darwin terperinci.
    "Yeah,"
    "Mari kita kecoh dia sekarang!" ucap Darwin lagi.
    "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Edgar kebingungan.
    "Ambil saja batu dan lempari dia. Aku tak yakin mantera Ordinggo makhluk itu bisa menghancurkannya." ucap Darwin.
    Mereka berdua sudah menggenggam beberapa gelintir batu di tangannya. Dan batu tersebut sudah siap untuk dilemparkan pada makhluk jahat yang tengah mengangkat-angkat Elizabeth.
    "Turunkan aku! Turun! Teman-teman! Edgar! Darwin! Bantu aku!" jerit Elizabeth.
    "Ayo, tembak!" teriak Darwin sambil meluncurkan sebuah batu yang cukup besar ke arah makhluk hijau raksasa itu. Begitu juga Edgar, dia ikut melempari makhluk besar itu dengan batu.
    "Argghh!" geram makhluk itu. Terlihat makhluk itu mendelik dan menatap Darwin dengan Edgar. Darwin dan Edgar saling bertatapan.
    "Kita harus LARIIIIII!" teriak Edgar.
    Dengan cepat, mereka berdua-Edgar dan Darwin-bergerak menjauh berlari dan berteriak-teriak.
    "Argghh! Argghhh!" teriak Darwin dan Edgar sambil berlari menuju danau.
    "Aaaaa! Aaaa!" jerit Elizabeth keras. Dia merasa diguncangkan keras sampai jantungnya copot. Dia takut jatuh, dia takut ketinggian.
    "Menyelam!" teriak Darwin sambil meluncur ke dalam danau. Edgar ikut meluncur, begitupun makhluk raksasa itu.
    'Blukkk!' suara raksasa itu masuk ke dalam danau dan membuat air meluap. Darwin segera berenang dan mencari jamur yang dimaksud mereka. Jamur liar yang berwarna coklat. Jamur liar, pasti jamur itu banyak.
    Darwin terus mencari-cari jamur yang dia maksud. Sementara Edgar mencoba untuk menyelamatkan Elizabeth. Kedua-duanya merasa sedikit sesak. Tentu saja, mereka tak bernafas dengan insang.
    "Mana-mana?" ucap Darwin. Dia berucap sendiri, tak ada suara dari tenggorokannya. Yang ada hanya air danau yang tertelannya.
    Selama beberapa detik mencari, akhirnya dia menemukan beberapa helai jamur yang tengah berada di sana. Warnanya putih, bukan coklat. Coklat jika mereka sudah mengering.
    Darwin segera mencabuti beberapa jamur liar itu. Untuk berjaga-jaga, dia mengambil sebanyak-banyak dan semampunya yang dia bisa. Setelah itu, dia langsung pergi ke atas untuk menyimpan jamur dan sedikit bernafas.
    "Ahh!" desahnya. Dia merasa sangat lega ketika sampai di atas.
    Dengan segera, dia langsung ke bawah lagi untuk menyelamatkan Edgar dan Elizabeth yang kelihatannya kesulitan dalam melawan makhluk buas itu.
    Dia menyelam semakin dalam. Namun tak dilihatnya Edgar dan Elizabeth. Dia semakin dalam berenang, namun kakinya malah terasa ditarik ke bawah.
    "Edgar!" ucapnya dalam senyap.
    Darwin langsung membawa Edgar dan berenang ke atas. Sesampainya di atas, dia langsung bertanya pada Edgar.
    "Di mana Elizabeth?"
    "Dia dibawa makhluk itu. Namanya Troll. Makhluk pemakan dan penculik manusia. Dia dibawa ke bawah. Tapi aku yakin, Troll itu tidak membawa dia, melainkan tenggelam. Coba kau pikirkan, betapa dalamnya danau itu!" ucap Edgar terengah-engah.
    "Baiklah! Kau tetap di sini, aku akan coba menyelamatkan Elizabeth, ya?" ucap Darwin. Edgar mengangguk lelah. Dia langsung berbaring ketika Darwin lenyap dari matanya.
    Di dalam danau, Darwin terus mencari-cari Elizabeth yang kelihatannya telah tenggelam bersama Troll itu.
    Sekitar lima meter dia menyelam, dia melihat Elizabeth yang tersangkut di bebatuan. Darwin langsung saja tak banyak berpikir. Dia dengan sekaligus mengangkat Elizabeth untuk segera ke atas. Elizabeth dalam keadaan pingsan. Pastinya terlalu lama di dalam air. Darwin berharap dia baik-baik saja.
    Tak butuh waktu lama, dia sudah hampir ada di atas. Dia mendorong tubuh Elizabeth ke daratan dibantu dengan Edgar. Ketika diangkat, Elizabeth langsung sadar dan menggosok matanya.
    "Oh, Darwin! Terimakasih!" ucap Elizabeth.
    "Makasih," Edgar menambahkan. Darwin tersenyum, begitu pun Elizabeth dan Edgar. Mereka segera berdiri untuk siap-siap berlari. Namun tiba-tiba saja Darwin memegang dadanya sambil menggeram.
    "Arghhh!" gerangnya sambil mengernyitkan dahi dan menyipitkan matanya menahan sakit.
    "Darwin!" teriak Elizabeth ketika melihat Darwin menahan nyeri sambil mengerang.
    "Darwin! Ada apa?!" Edgar tampak kaget dan langsung berlari menuju Darwin.
    "Hhhh! Aku melihat seseorang!" ucap Darwin dengan nafas tersendat.
    "Dia, dia sedang membicarakan kita!" ucapnya. Darwin memejamkan matanya. Dia merasa tuli dalam waktu yang dekat.
    "Sashamasa, kita tahu anak itu sedang menyelamatkan Kepala Sekolah, kau tahu? Dia cucunya!" ucap seorang gadis dengan suara mengancam.
    "Aku tahu, Liera. Aku akan berusaha mencegahnya! Kita tahu, di sekolah ini kita tak akan bisa membunuhnya, aku sudah mengirimkan Troll! Dia bisa melawannya!" ucap sebuah suara parau dan dingin dari sana.
    "Sashamasa! Bagaimana pun juga, kita tak akan membiarkan ramalan itu benar! Kau tahu apa yang akan terjadi bila benar? Kita akan hancur! Dan aku harus menepati janjiku pada Tuanmu! Aku tak mau berubah lagi!" ucap suara wanita berkerudung hitam. Darwin dapat melihat mata wanita itu. Mata hijau yang berkilau.
    "Aku juga sama, Liera! Mari kita cari cara bersama-sama untuk menghancurkan anak itu! Keluarga itu! Dan seluruh sekolah!"
    "Hhah!" Darwin mendesah.
    Dia tiba-tiba sadar dan sedang berdiri. Dia sadar, Edgar dan Elizabeth sedang mencoba menyangganya. Dia pingsan.
    "Aku bisa sendiri teman-teman!" ucap Darwin melepaskan tangan Edgar dan Elizabeth.
    "Darwin! Kau sudah sadar?" tanya Elizabeth cepat.
    "Yeah, kelihatannya." ucapnya sambil sedikit menggeleng.
    "Apa ada yang kau lihat?" tanya Edgar masih sambil berlari.
    "Ada, seseorang bermata hijau berkilau dan pria bersuara dingin."
    "Samantha!" teriak Elizabeth. Edgar dan Darwin mengernyit.
    "Samantha bermata hijau!"
    "Hitam!" teriak Edgar.
    "Tunggu, rasanya ada yang aneh. Waktu pertama kali kau dan Elizabeth bertengkar, Elizabeth bilang bahwa Samantha bermata hijau, dan ketika kau bilang padaku, bahwa Samantha adalah gadis tercantik dengan mata hitam yang pernah kautemui." ucap Darwin. Edgar dan Elizabeth bertatapan.
    "Aku yakin, ada yang tidak beres dengan Samantha!" Darwin berucap penuh kata misterius. *** Mereka terus berlari menuju sekolah. Perjalanan hari ini dirasa terlalu panjang bagi mereka. Padahal, perjalanan mereka kira-kira baru seratus lima puluh menitan. Walau begitu, serasa mereka telah berlari selama sehari penuh.
    "Oke, sekarang kita sudah ada di tepi hutan. Kita hampir sampai di sekolah. Kalian berdua, pergi ke gedung sekolah. Sementara aku di sini akan ke rumah sakit dan membuat ramuan untuk Kakekmu. Aku yakin, aku bisa menangkal racun dala tubuh Kakekmu."
    "Terimakasih, Elizabeth. Aku tak tahu harus berkata apa." ucap Darwin sedikit lega.
    "Aku tahu, aku tak bisa memprediksikan ini akan berhasil, tapi aku yakin. Aku pasti bisa melakukannya. Oke, aku akan di sini menyelesaikan ramuan."
    "Kau tahu resepnya?" tanya Edgar melotot.
    "Tenang, ada di buku!" ucap Elizabeth sambil mengerling.
    Darwin dan Edgar pun langsung berlari menuju gedung sekolah. Elizabeth masih di tepi hutan menyelesaikan ramuan. Darwin dan Edgar perlahan membuka pintu utama menuju asrama. Dan terlihat, Samantha tengah berdiri di depan pintu. Matanya hijau berkilau. Dia memakai jubah hitam panjang.
    "Tidak!" ucap Darwin sedikit mundur. Samantha mengernyit.
    "Ada apa, Darwin?" tanya Samantha berpura-pura tak tahu.
    "Aku tahu dia pasti akan berpura-pura bodoh!" geram Darwin garang.
    "Apa maksudnya, Edgar?" tanya Samantha tak berdosa.
    "Gromstandict!"
    Darwin menujukan tongkatnya ke arah Samantha. Dan Samantha terlempar kebelakang. Edgar sedikit mundur melihat Darwin yang kelihatannya sangat berang.
    "Ow, ow! Rupanya pangeran baru kita sudah tahu siapa aku! Ya! Aku adalah penyihir hitam! Dan aku yang meracuni Albert! Aku! Hahhaha!" teriaknya bersamaan dengan tawa yang menggelegar. Edgar tampak mundur dan bergetaran serta menelan ludah. Dia tampak gemetaran dan takut melihat semua ini.
    "Edgar! Kau harus cepat membantunya! Aku harus pergi ke Rumah Sakit, kau harus tenang! Beritahu Darwin, dia harus menggunakan mantra Farobuckshent!" ucap Elizabeth tiba-tiba dan langsung berlari.
    "Ehh tunggu! Elizabeth! Faro apa? Farobaktet, Farobindent? Argghhh! Faro apa?"
    Sementara Elizabeth, dia mengendap-endap masuk menuju ujung menara RS. Karena di sanalah Prof. William dirawat. Perlahan, dia melihat sesuatu dari celah pintu. Matanya sedikit melotot. Dia mulai mencampurkan sesuatu pada tabung reaksinya. Lalu menuangkannya pada tabung reaksi yang lain. Dia membuka pintu perlahan. Terdengar decitan pintu yang hendak terbuka. Elizabeth mulai melongo sedikit ke sana.
    "Tidak ada siapa-siapa disinAaaaaaaa!"
    Dia berteriak. Tabung reaksinya jatuh dengan suara 'brakk' di lantai dan mengeluarkan banyak asap. Elizabeth langsung berlari ke dekat kasur tempat Prof. William terbaring. Dia benar-benar terlonjak kaget ketika melihat seorang pria berjubah hitam. Dia tak tahu siapa, wajah orang itu tak terlihat.
    "Kau mau apa, anak kecil?"
    "Aaaaaaa!"
    4. Lahirnya Pangeran Baru
    Diraihnya Elizabeth dan disimpannya di atas pundaknya. Dia-pria berjubah-itu membawa Elizabeth keluar ruangan. Dia memiliki suara dingin dan serak persis seperti orang yang Darwin katakan.
    "Liera, aku sudah bawa pecundang ini!" ucap suara dingin dan serak itu.
    "Hahaha, bagus Sashamasa! Bawa dia beserta anak tak berguna itu! Dan kunci mereka berdua seperti anak-anak lain!" ucap Samantha sambil menunjuk ke arah Edgar. Edgar melotot kaget sambil mundur dan berteriak-teriak.
    "Argghh! Arrgghh!"
    "Darwin! Pakai mantra Farobuckshent!" teriak Elizabeth ketika mereka akan dibawa ke dalam asrama.
    "Farobuckshent!" teriak Darwin dengan mengacungkan tongkatnya ke arah Samantha. Terlihat sebuah cahaya merah berkilau akan menerpa Samantha. Samantha mengacungkan tongkatnya juga untuk mencegah mantra Darwin. Dan kini cahaya hitam muncul dari tongkat Samantha. Mereka berdua terlihat sedang menahan mantra masing-masing agar tidak gagal dan mantra lain menerpanya.
    "Argggh! Farobuckshent!" Darwin berteriak sambil mengangkatkan lagi tongkatnya dengan seluruh sisa tenaganya.
    "Tidak!" Samantha menjerit dan cahaya merah itu semakin menuju ke arahnya. Darwin terpental. Begitu juga Samantha. Namun sinar merah berkilau milik Darwin melaju cepat ke arah Samantha. Dan tiba-tiba meledak bagaikan kembang api. Cahayanya berkilauan di langit membuat mata Darwin menjadi silau. Dia menyipitkan mata dan meletakan tangan kirinya di depannya. Tak lama, semua murid dan seluruh warga Grondey keluar dari dalam asrama. Begitu juga Prof. William. Dia tampak sehat seperti biasanya. Semuanya memandang Darwin. Dia juga melihat Samantha berubah drastis. Kulitnya yang kencang menjadi keriput. Warna kulitnya yang putih menjadi sawo matang. Dan rambut hitamnya yang indah menjadi kering dan kusam. Wajahnya yang cantik kini jadi buruk rupa dan penuh luka-luka. Dia menjerit-jerit melihat tubuhnya yang kembali seperti awal.
    "Tidak! Tidak! Wajahku! Tubuhku yang mulus! Wajah cantikku! Tidakkk!" jeritnya dan langsung menghilang seketika.
    Saat itu juga, semua mata terpandang ke arah Darwin. Dan Edgar juga Elizabeth segera menyambarnya dari balik kepala yang berdesak-desakan di sana.
    "Darwin kau luar biasa!" teriak Elizabeth sambil memeluk dan menjabat tangannya.
    "Waw, Darwin! Aku tak pernah melihat sesuatu seperti itu. Amazing!" ucap Edgar sambil menepuk punggungnya.
    "Itu keren banget, Win! Dari mana belajarnya?" tanya Bert langsung dengan Polly.
    "Waw! Paling keren itu pas kembang apinya!" timpal Polly sambil menjabat-jabat tangan Darwin.
    Darwin hanya bisa tersenyum melihat mereka yang datang dan memuji-muji Darwin. Dia memang telah melakukannya. Tapi tak sendirian, dengan Elizabeth juga Edgar.
    "Edgar, Elizabeth. Mereka yang udah selametin kita." kata Darwin sambil mengerling ke arah Edgar dan Elizabeth. *** Desas-desus dan kabar kemenangan Darwin bersama dua rekannya kian menyebar luas. Bukan hanya di Grondey Day saja kabar itu muncul. Melainkan di seluruh koran di dunia itu. Julukan Pangeran Baru yang didapat Darwin saat itu membuatnya lebih tenar lagi. Begitu juga Edgar dan Elizabeth. Semua murid meminta menceritakan kisah yang terperincinya ketika mereka selamat dari hutan Scarymus.
    "Aku pergi ke sana bersama Darwin dan Elizabeth. Memakan biji menghilang! Kalian tahu, tak? Hutan Scarymus itu sangat menakutkan! Gelap dan senyap. Kita juga melawan Troll. Dia menangkap Elizabeth, dan kami mengecohnya. Itu sangat seru!" ucap Edgar ketika seluruh kelasnya mempertanyakan bagaimana petualangan seru mendapatkan jamur liar di hutan Scarymus itu.
    "Darwin, aku dengar kelas dan hotel kita kini jadi yang terbaik. Bukan Agreniaclass lagi. Tapi Drawsenclass." ucap Elizabeth senang ketika Darwin sedang sibuk memakan coklatnya.
    "Benarkah? Waw! Kita telah mengalahkan Cole dan Thom Jerrynya." gumam Darwin bahagia juga.
    "Edgar!" panggil Darwin.
    "Ya?"
    "Aku ingin berbagi rahasia padamu!" ucapnya setengah berbisik.
    "Apa?"
    "Rahasia Elizabeth!" katanya. Edgar langsung penasaran dan berjalan ke pojok bersama Darwin.
    "Waktu dia menangis, dia bilang dia tak suka terus dipaksa oleh guru Mantra kita. Prof. Greture. Dia bilang, Prof. Greture terus memaksanya belajar dua kali lebih lama. Dia sendirian, kata Prof. Greture, dia pintar. Namun dia tak suka, makanya dia menangis. Kau tahu, kan? Wajah Prof. Greture itu sangat bengis." kata Darwin menahan tawa.
    "Dan satu lagi rahasia Elizabeth yang ada padaku, dia memberitahu nama asli Samantha. Liera Samantha Fransisco. Oh! Aku menyesal menyukai wanita tua!" kelakar Edgar.
    "Hahah! Mereka wanita, aku tak mengerti wanita." kata Darwin dengan membagi sepotong coklatnya pada Edgar.
    "Ya, seperti Ibuku yang cerewet. Aku tak mengerti dia!"
    -SEKIAN-

;;

By :
Free Blog Templates