Senin, 09 Desember 2013

Gliese 581g

Namaku Glisa. Aku tinggal dan menetap di planet Gliese 581g. Terkadang aku merasa penasaran dengan nama yang orangtuaku berikan. Namaku yang hampir mirip dengan planet yang aku tempati.

Saat aku berusia 50 tahun, Ibuku selalu menceritakan tentang makhluk lain yang hidup dan tak jauh berbeda dari kami. Ibuku juga berkata bahwa nan jauh di angkasa sana ada sebuah peradaban yang hampir mirip dengan peradaban kami. Begitu juga Ayahku, dia pernah bercerita padaku tentang sebuah planet yang sejuk seperti udara di atmosfer kami, dan banyak lagi cerita yang beredar tentang peradaban dunia lain seperti kami. Namun, aku belum terlalu percaya akan adanya hal-hal dan makhluk lain di planet lain yang begitu jauh dengan kami, yang aku tahu hanya legenda itu sangat populer dan terkenal di masyarakat kami.

Sejak kecil, banyak orang-orang yang menceritakan peradaban dan kisah-kisah yang masih menjadi misteri padaku, mereka selalu bilang kelak nanti aku lah yang akan menjaga Gliese 581g. Padahal menurutku, aku tak begitu yakin dan memiliki kekuatan untuk melindungi seluruh permukaan tanah usang di planet ini, juga aku merasa tak pantas karena aku hanya seorang gadis. Aku pernah diberi sebuah liontin emas dengan kristal merah dan biru di sana. Saat aku menggenggam liontin dan memakainya, aku melihat semburat cahaya merah dan biru terpancar jelas di langit-langit rumah. Saat itu aku masih berusia sangat kecil, karena aku belum mengerti apa-apa. Mungkin usiaku saat itu adalah lima belas tahun, jadi aku belum tahu apa-apa. Tapi aku begitu ingat saat aku melihat sebuah planet yang hampir mirip dengan planetku dan aku mendengar satu kata, entah benar atau tidak karena aku sayup-sayup mendengarnya. Seingatku kata itu adalah MANUSIA.
-
Besok umurku genap seratus tujuh puluh tahun. Ini artinya, aku akan segera beranjak dewasa. Para tetua memberi banyak masukan padaku tentang apa saja yang sepatutnya kulakukan saat aku dilepas nanti. Ya, di planet kami setiap jiwa yang telah mencapai usia seratus tujuh puluh tahun akan dilepas dari orangtuanya dan dibiarkan hidup mandiri. Dan mulai besok, aku akan pindah rumah dan mencari pekerjaanku sendiri. Namun ada yang aneh saat orangtuaku dan para tetuaku merundingkan permasalahan tentangku. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun mereka tampak bermusyawarah begitu lama.
"Tapi bagaimana bisa kita melepas Glisa? Komet itu datang pada tahun ini, namun tak pasti kapan datangnya. Benda yang akan datang dari luar angkasa itu benar-benar besar, benda itu akan menghancurkan kita!" kata tetua Vad pada Ayahku.
"Lalu kita akan mengotori adat nenek moyang kita?" tanya Ayahku.
"Ini demi keselamatan Glisa, jika Gliese 581g punah, apa yang akan kita lakukan? Kita tahu bahwa setiap hal yang dikatakan Bola Zogo itu selalu benar, dan Bola Zogo telah mengatakannya. Kita boleh tak melakukan pelepasan ini, demi keselamatan Glisa," ucap tetua Vad meyakinkan.
"Tapi Vad, rutinitas ini telah lama kita lakukan, ini hal yang wajib untuk kita!" kata tetua Johan.

Semuanya terdiam. Akhirnya mereka memutuskan apa yang harus mereka putuskan. Tetua Vad pun menghampiriku dan memelukku.
"Siap-siap untuk melakukan tugasmu, kau akan kami kirim ke rumahmu yang baru esok hari. Sangat baik jika kau pulang dan membereskan barang-barang yang akan kau bawa besok," ucap tetua Vad lembut. Aku mengangguk dan segera pulang ke rumah. Setelah aku berlalu, mereka kembali merundingkanku.
"Tenang Vad, aku akan mengirim pelindung untuknya," ucap tetua Johan sambil menepuk punggung tetua Vad. Tetua Vad berjalan perlahan dengan jubah hijau besarnya yang menjuntai ke bawah. Janggut peraknya berkilauan dan lipatan wajah tuanya menunjukan kekosongan. Mungkin usianya telah lebih dari seribu tahun.
"Aku tak akan bertanggung jawab, Johan. Ini bukan pilihanku."
 -
Siang ini aku akan segera diberangkatkan ke daerah baruku. Aku akan berpisah dengan kedua orang tuaku dan aku akan segera menghidupi diriku sendiri. Aku harus mandiri dan aku harus bisa menyesuaikan diri.
"Ayah, Ibu," kataku sambil memeluk mereka. Ayahku tersenyum melihatku, aku balas tersenyum padanya. Ibuku sedikit menangis dan aku langsung memeluknya.
"Ibu tak perlu khawatirkanku, semuanya pasti baik-baik saja," kataku menenangkan. Ibu mengangguk dan menyeka air matanya.
"Iya, hati-hati di perjalananmu, Glisa."

Ibu melambaikan tangannya padaku. Aku balas lambaian itu. Segera aku memasuki pesawat kecil yang akan kukendarai untuk perjalanan nanti. Kumasukan tas ke belakang dan mulai menyalakan mesin. Kupacu mesin ini dan segera berangkat menuju rumah baruku. Sedih memang harus menerima kenyataan bahwa aku harus berpisah dengan kedua orangtuaku, namun inilah yang harus aku lakukan.
 -
Malam ini aku keluar dari rumahku. Tempat tinggal yang baru aku injaki sedikit tak nyaman. Aku lebih menyukai tempat yang dulu, mungkin ini karena aku baru saja tiba di sini.

Kutatap langit hitam malam ini, di sana tergantung banyak bintang dan bulan yang nampak bercahaya. Sebelum aku pindah, tetua Vad memberiku sebuah gulungan perkamen. Katanya perkamen ini pemberian dari tetua Hoshi, dia sudah meninggal waktu aku berumur dua puluh tujuh tahun. Katanya tetua Vad diperintah untuk memberikannya padaku, dan dia memberikannya untuk memenuhi tugasnya itu.

Kubuka tali pengikat perkamen ini. Gulungannya kuleberkan sehingga nampak huruf-huruf berwarna hitam menodai warna coklat perkamen ini. Perlahan mulai kulihat dan kucoba untuk memahami dan membaca isinya. Huruf-huruf dalam perkamen ini terlihat asing bagiku, namun entah mengapa aku merasa bisa membacanya.

"Dua puluh tahun yang lalu kami mengirimnya. Kami mengirimnya ke planetmu, mungkin kalian belum tahu nama planet yang sedang kalian tempati, Gliese 581g. Itu lah sebutan kami untuk kalian. Rawat anak ini oleh kalian, kami tak tahu kapan kalian akan menerima surat ini, bahkan kami tak tahu apakah surat ini akan sampai pada kalian dan anak ini benar-benar dalam keadaan hidup. Namun suatu hari nanti kami akan datang, kami akan pergi ke sana."

Begitu lah kira-kira isi surat itu. Aku tak tahu apa maksudnya, jika dilihat dari penampilannya, surat ini sudah begitu usang. Mungkin surat ini sudah tersimpan selama berpuluh-puluh tahun.

Aku menyimpan kembali surat itu, aneh sekali. Dulu, aku pernah bermimpi melihat dunia yang jauh lebih baik dari tanah yang aku injaki. Dunia itu penuh dengan tanaman dan air. Hampir mirip dengan apa yang ada di Gliese 581g, namun dunia itu terasa lebih menyejukan. Aku masih penasaran apakah dunia itu ada atau hanya semacam mimpi saja, atau mungkin bisa jadi sebuah dunia yang selalu diceritakan oleh kedua orangtuaku.

Malam ini angin berhembus tak seperti biasanya. Aku dapat merasakan hembusannya lebih kencang dan lebih menusuk dari sebelumnya. Juga aku merasa dadaku panas, liontinku, aku merasa liontinku terbakar. Perlahan liontinku mulai mengeluarkan semburat cahaya merah menyala. Lalu setelahnya warna biru berkilauan di atas langit sana. Aku tidak mengerti dengan keanehan pada liontinku ini, namun semakin lama, cahayanya semakin meleber dan semakin pucat. Kugenggam erat liontinku, liontin ini bergetar hebat dan seperti terdapat nyawa di dalamnya. Aku seakan mendengar jerit ketidakkuasaan yang akhirnya menghilang bersamaan suara duaar keras yang memekakan telinga. Liontinku pecah dan aku terdorong jatuh ke belakang. Pandanganku menyamar dan aku melihat baja meluncur ke arah tanah ini. Setelahnya semua gelap dan tak berbekas.
-
 Aku mengerjipkan mataku dan memandang sekitar ruangan. Aku telah ada di dalam rumahku. Kulihat seorang pria berpakaian aneh sambil membawa helm. Dia menatapku nanar dengan matanya yang berwarna biru pucat.
"Kau baik-baik saja?" tanya dia terlihat begitu cemas, padahal aku tak begitu mengenalnya.
 "Siapa kau?" tanyaku dan sedikit bangun. Saat menggerakan tubuhku, kurasakan sedikit ngilu dan sakit pada tubuhku.
"Tidak, kau tidur dulu di sini, keadaanmu masih lemah. Tangan kirimu cedera dan kepalamu terbentur semalam. Aku akan menjagamu di sini, namaku Raffles," katanya sambil menidurkanku kembali.

Aku masih menatap geriknya. Apa kah Raffles ini pantas kupercaya atau tidak? Dia terlihat begitu berbeda dengan orang-orang, atau mungkin pakaian orang sekitar sini memang begitu?
"Apa kau dari sini, Raffles?" tanyaku dan dia mendongak.
"Bisa dibilang tidak, aku dari Bumi. Apa kau mengenal planetku?" tanya dia. "Apa itu penuh dengan tanaman hijau dan air? Aku sempat bermimpi melihat dunia seperti itu," kataku sedikit berpikir dan mengingat mimpiku.
"Yup, kau benar sekali. Omong-omong, apa kau adalah makhluk karbon?"
"Maksudmu? Aku tak mengerti yang kau katakan," ucapku.
"Ya, makhluk yang bisa menghasilkan karbondioksida, maksudku apa kau mengihirup oksigen? Karena aku rasa aku bisa bernapas cukup lancar di sini, aku juga merasa gravitasi planet ini cukup besar. Di sini aku bisa berjalan tegak," katanya. Aku terus menatapnya, dia mengangkat alis dan tersenyum kecil. Tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam diriku, saat aku menatapnya, aku menyukainya.
"Berapa umurmu?" tanyaku. "Dua puluh tiga."
"Oh, semuda itu kah? Aku tak percaya jika kau berumur sedini itu, umurku saja seratus tujuh puluh tahun, dan sebentar lagi seratus tujuh puluh satu tahun," kataku dan dia terkekeh. "Rotasi dan revolusi Bumi berbeda dengan Gliese, di Bumi satu tahun sama dengan 365 hari, sedangkan di Gliese hanya 37 hari, itu mengakibatkan umur kita sama namun berbeda sepuluh kali," ucapnya lalu menghela napas.
"Jika aku tinggal di sini, umurku mungkin 235 tahun, kiranya."
"Ya, aku mengerti. Bagaimana dengan keadan tanah bumi?"
"Lebih baik dari yang di sini mungkin, namun tak beda jauh. Bagiku, kau adalah alien," katanya.
"Aku bukan alien, kau yang alien!" kataku membantah. Dia tertawa-tawa. Melihat tawanya, aku merasa yakin bahwa aku mulai menyukainya.
"Kau dan aku adalah alien," katanya. "Oh ya, mengapa pakaianmu seperti itu?"
"Ini pakaian astronot, lagipula di sini dingin sekali. Aku harus menghangatkan diri, apa air di sini sering membeku?" katanya sambil memeluk tubuh.
"Kadang-kadang, tapi aku sudah biasa tinggal di sini. Bagaimana dengan bumi?" kataku sambil menatap sekitar.
"Kupikir bumi memiliki posisi yang sangat pas, kau akan suka mungkin tinggal di sana," katanya duduk di sampingku.
"Oh ya, apa makanan yang biasanya kau makan? Aku ingin mencoba mencicipinya, nanti aku buatkan makanan bumi," ucapnya menawarkan.
"Idemu cukup bagus, aku ingin mencoba mencicipi makanan bumi, mungkin rasanya cukup sama."
-
Tiga hari aku mengenal Raffles. Tiga hari itu juga aku tak keluar dari rumah karena Raffles yang menjaga dan merawatku. Sekarang tangan kiriku sudah lebih baik, ini semua karena Raffles. Menurutku Raffles adalah pria yang begitu baik dan ramah. Aku bisa begitu mengenalnya dekat selama tiga hari ini. Bahkan, aku bisa yakin bahwa aku telah mencintainya, Raffles adalah cinta pertamaku.
"Glisa," katanya. Aku mendongak dan menatapnya.
"Ya?"
"Bolehkah aku berkata sesuatu?" katanya dan aku mengangguk. Dia mendekat dan menghampiriku yang masih terduduk di depan meja makan. Dia duduk di depanku dan menggenggam tanganku dengan tangannya yang dibaluti kostum tebal. Matanya sedikit panas dan membuatku kebingungan.
"Maafkan aku, aku mencintaimu," katanya sambil menggenggam keras tanganku. Aku menatap tangannya, lalu kualihkan pada matanya. Mata biru pucatnya berkilauan, jantungku seakan berpacu keras melewati batas biasanya.
"Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Aku mencintaimu sejak awal kita bertemu," balasku. Dia tersenyum kecil. Matanya menampakan raut kegelisahan. Dia menarikku berdiri dan keluar dari meja, lalu dia memelukku erat dengan pelukan yang serasa janggal.
"Berjanji lah bahwa kita akan tetap bersama, kau dan aku adalah satu. Walau kita berbeda, kau adalah bagian hidupku. Aku tahu itu, semuanya nampak jelas di mimpiku."
Dia memelukku erat dan langsung melepaskannya saat ucapannya selesai. Dia tersenyum padaku dan berjalan ke luar dari rumahku. Dipakainya lagi helm yang menutupi wajahnya, aku hanya menatapnya bingung dan tak mengerti. Ada apa dengan Raffles? Apa yang membuatnya begitu berubah?

Raffles berlalu dari pandanganku. Aku berjalan menuju kasurku. Saat ini aku masih mencoba mencerna kata-kata Raffles, kata-kata yang begitu tak aku mengerti.

Segera kududuk di atas tempat tidurku, namuh sekilas aku melihat lipatan kecil di bawah bantalku. Kutarik kertas itu dan kuambil, di sana terdapat tulisan dan kata yang dirangkai menjadi berbagai kalimat.

"Dari: Raffles.

Untuk Glisa, Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku. Sebelumnya aku tak pernah menyangka ini, aku tak pernah berpikir bahwa aku akan tertarik padamu. Aku menyesal melakukan ini. Sebenarnya, aku tak akan bisa datang ke tempat ini tanpa alat canggih yang Ayahku ciptakan. Juga mesin waktu yang diciptakan oleh teman Ayahku. Awalnya, Ayahku sedang mencari planet yang nantinya akan dijadikan pengganti bumi. Diperkirakan beberapa ratus tahun yang akan datang peradaban di bumi musnah, ini semua karena akibat pemanasan global dan efek rumah kaca yang terjadi di bumi dan kerusakan lainnya. Pada saat itu, teman Ayahku menemukan sebuah planet yang dibilang cukup mirip dengan keadaan bumi, planet itu adalah planet yang sekarang kau tempati, Gliese 581g. Gliese 581g cukup menunjukan bahwa adanya tanda-tanda kehidupan, juga gravitasi yang cukup. Walau keadaannya dingin, namun hal ini cukup mendukung untuk kehidupan manusia. Saat itu, tepat dua puluh tahun yang lalu, Ayahku mencari seorang anak yang kira-kira bisa dikirimkan dan dijadikan informasi saat dia besar nanti. Dan akhirnya, Ayahku menemukan seorang gadia kecil dari panti asuhan, saat itu usianya baru tiga bulan. Lalu dengan mesin yang Ayahku ciptakan, Ayahku memasukan gadis itu ke dalam pesawat. Dengan alat yang Ayahku ciptakan, pengubah benda ke dalam partikel cahaya, Ayahku mengubah pesawat dan anak itu menjadi partikel cahaya dan meluncur cepat ke angkasa menuju Gliese 581g. Namun, bayi itu diluncurkan pada dua puluh tahun sebelumnya, artinya mereka menggunakan mesin waktu ke dua puluh tahun lalu saat mengirimnya, karena perjalanan menuju Gliese 581g kira-kira 20,5 tahun dengan kecepatan cahaya, jadi pada saat Ayahku kembali ke masanya, bayi itu telah meluncur selama 20 tahun.

Saat ini, Ayahku yang akan pergi menuju Gliese 581g, namun bersamaku. Kami berangkat dua puluh tahun kemudian karena menunggu besarna bayi yang dikirim. Kami berangkat berbanyak, dengan sepuluh pesawat yang akan meluncur. Namun keberangkatan itu diundur ke duapuluh tahun lalu, karena perjalanan yang akan lama. Ayahku menunggu bayi besar sambil menunggu informasi yang lebih lanjut tentang Gliese 581g. Juga semuanya akan mudah dengan adanya mesin waktu. Dan saat itu, berangkat lah kami dalam partikel cahaya menuju Gliese 581g. Kami tak mengalami penuaan karena kami dalam bentuk cahaya. Jadi kami datang di planet ini dengan umur yang sama seperti sebelumnya, tanpa menua 20 tahun.

Tepat beberapa hari lalu kami mendarat dengan selamat. Di sini, aku ditugaskan untuk mencari informasi tentang bayi yang pernah dikirim ke sini bertahun-tahun lalu. Aku langsung mengenal bayi itu karena dia berbeda dengan yang lainnya, dan aku yakin bahwa bayi itu adalah kau!..."

Aku terhenti saat membaca kalimat itu. Ini sungguh sulit dicerna, apakah Raffles sekarang sedang memberikan semua cerita yang telah aku beritahukan padanya tentang planet ini? Mungkin kah dia telah memberitahukan semuanya? Yang artinya, Gliese 581g kini akan berada di bawah kuasa manusia dan peradaban kami musnah?

Tanpa menyelesaikan surat Raffles, aku segera berlari keluar. Kulihat makhluk Gliese 581g tengah dikurung dan dipaksa masuk ke dalam sebuah jeruji besar di sana. Tanganku yang masih menggenggam surat Raffles gemetaran hebat, kulihat kata terakhir yang ada di sana. ".... tenanglah, aku menyembunyikan beberapa temanmu di bawah tangga rumahmu. Maafkan aku, sekali lagi maaf aku tak bisa membantumu. Aku harap kau bisa bersembunyi dan aman daripara manusia yang mencari informasi darimu.

Aku mencintaimu, Raffles"

Aku melipat surat itu dan memasukannya ke dalam kantung bajuku. Aku berlari ke dalam rumah dan mencari ruang bawah tanah di rumahku. Apa benar ada ruang bawah tanah di rumahku ini?

Aku mencari kesetiap penjuru rumah, sampai akhirnya aku merasa ada yang aneh dengan perapian di rumahku, aku merasa ada sebuah lorong di sana, mungkin kah jalan menuju ruang bawah tanah di sana?

Aku memasuki perapian, bajuku sedikit bercampur abu dan aku mencoba mengoreknya. Di sana ada sebuah tombol merah yang tertutupi tumpukan abu. Aku menekannya dan tiba-tiba saja aku beranjak turun ke bawah di atas abu itu dengan keras. Saat aku sudah mencapai di bawah, aku melihat beberapa kumpulan orang yang ada di sana. Saat aku datang, orang-orang itu langsung menatapku dan salah satu mereka mendekatiku.
"Apa kau Glisa?" tanya dia. Aku beringsut bangkit. Aku menepuk rok dan keluar dari abu tadi. Sesaat papan meluncur ke atas dan kembali ke tempat semula.
"Ya, aku Glisa," ucapku pada mereka. Mereka semua langsung bersorak, mereka memang mirip denganku, namun tubuh mereka sedikit membungkuk seperti orangtua dan masyarakat di tempatku dulu.
"Kau lah satu-satunya harapan kami, kau lah satu-satunya yang bisa menyelamatkan kami," kata seorang dari sana. Aku tersenyum kecil.
"Kalian jangan khawatir, kita pasti bisa mempertahankan Gliese 581g," kataku menyemangati mereka. Aku mengambil liontinku dari saku celanaku. Walau pun kristalnya pecah, namun kalung ini masih bisa aku pakai.
"Ini adalah lambang Gliese 581g. Ini adalah kristal Zogo, walau pecah, namun aku yakin kita bisa bersatu lagi," kataku melanjutkan.
"Glisa, apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang dari mereka.
"Kita harus melawan, persiapkan persenjataan kita sekarang, kita harus bisa mempertahankan Gliese 581g, kita pasti bisa!"
 -
Aku menatap nanar langit yang mulai berubah gelap. Kini permukaan tanah mulai memunculkan bias warna merah. Angin dingin mulai berhembus keras. Aku menatap peradaban Gliese 581g yang tersisa dan belum ditangkap, mereka memang sedikit namun aku yakin peradaban Gliese 581g tak akan punah. Dengan persenjataan seadanya, aku memimpin pasukan kecilku keluar dari persembunyianku. Saat aku keluar, Raffles memandangku kaget dan cemas. Aku menatap pasukanku dan mengangguk mengisyaratkan untuk penyiapan penyerangan. Mereka balas mengangguk dan terlihat siap.

Aku berjalan maju ke depan dan berteriak,
"Hey, manusia! Apa yang sedang kalian lakukan pada bangsaku?! Kalian tak berhak untuk mengurung dan membunuh mereka!" teriakku lantang.
"Kau siapa gadis kecil? Apa kau gadis yang dikirimkan dari bumi? Kulihat kau sedikit berbeda dari mereka," balas seorang pria beruban yang berdiri di samping Raffles, Raffles melengos pergi dan tak menatapku. Pria beruban itu berjalan menghampiriku.
"Ternyata benar, kau gadis itu!" katanya.
"Enyahlah dari tanahku! Jangan kau kotori planetku dengan langkah busukmu!" ucapku kasar padanya.
"Oh, oh! Siapa dirimu? Apa kau Tuhan yang memiliki semua ini?" katanya dengan senyum hambar.
"Siapa diriku? Aku pemimpin Gliese 581g. Aku hidup dan dibesarkan di sini bukan untuk memberitahukan rahasia Gliese 581g padamu! Aku di sini datang untuk melindungi rakyatku! Maka dari itu, lepaskan mereka, bebaskan rakyatku dari kekanganmu!" teriakku tepat di depan wajahnya. Dia tersenyum hambar.
"Kau berani melawan padaku? Apa yang kau punya?" katanya. Aku menarik liontinku dan menunjukannya pada dia.
"Gliese 581g akan tetap menjadi milikku dan seluruh rakyatku, bukan manusia!" ucapku menekan sambil membuang muka dari hadapannya. Aku berbalik dan berjalan menjauhi dirinya. Selama beberapa menit aku tak melihatnya, aku juga tak mendengarnya. Namun tiba-tiba...

Duaarr! Aku kaget dan langsung berbalik, mataku terbelalak dan aku terpaku. Mataku mendadak panas dan berair ditebak angin. Kulihat kobaran merah di selatan dan itu begitu besar. Tidak, ini tak boleh terjadi. Pria beruban itu tersenyum sinis dan memasukan sebuah benda dengan beberapa tombol di sana ke dalam saku bajunya. Keadaan mendadak begitu panas dan menggerahkan. Kutatap penuh kebencian siluet wajah yang dimakan usia itu, dia telah berhasil memusnahkannya. Orangtuaku, tetua Vad, ledakan itu muncul dari arah tempat tinggalku dulu.

Aku berteriak sekencang-kencangnya. Air mataku tumpah dan kebencianku semakin membuncah. Dadaku terasa terbakar dan liontinku kembali bergetar. Mata merahku menatap pria itu penuh kebencian yang sebelumnya tak sebesar sekarang, kebencian yang tiada akhirnya. Kutarik sebuah belati dari kantongku, dan kuberlari sekuat tenaga menuju pesawat pria itu, pasukan yang ada di belakangku berlari mengikutiku dan menyerbu kawasan baja kokoh itu, dan akhirnya, peperangan pun tak bisa diragukan lagi, semuanya telah dimulai. Peperangan, perjuangan dan darah yang akan tertumpah.
-
 Aku berjalan sempoyongan. Darah merah yang keluar dari lenganku begitu sakit dan perih. Ternyata benar, aku adalah manusia, salah satu dari mereka. Darah-darah yang mengucur dari pasukanku berwarna kehitaman.

Kugenggam lengan atas kiriku dengan tangan kananku. Kuberjalan dengan seluruh sisa tenagaku. Belatiku masih kusimpan dan kubawa. Aku sepertinya akan kalah, Gliese 581g akan musnah.
"Glisa, apa lagi yang harus kita lakukan?" kata seorang dari mereka. Kutatap pasukanku, mereka semua sudah begitu terluka dan lemah.
"Apa perlu kita melanjutkannya? Kurasa kita sudah kalah," ucapku mengeluh.
"Aku mendukungmu, Glisa. Kita pasti menang!" ucap yang lain, aku menatap mereka nanar.
"Tapi aku tak mau melihat kalian terluka, apalagi lebih terluka dari keadaanku sekarang. Sudah banyak rakyat Gliese 581g yang musnah, aku tak ingin kalian menjadi hal yang sama," kataku. Mereka terdiam, rakyat Gliese 581g yang tersisa kini hanya sedikit dan aku tak yakin jika aku akan menang nanti.
"Tidak, kita pasti menang!" ucap sebuah suara yang begitu tak asing bagiku. Aku langsung bangkit, kulihat senyum itu menyinari wajahnya. Seulas senyum yang begitu tenang.
"Raffles," kataku sambil menatapnya.
"Aku adalah sekutumu, kita di sini untuk berjuang, bukan untuk menyerah." Dia tersenyum, aku balas tersenyum padanya. Aku tahu, Raffles pasti akan memihakku dan yang lain, aku tahu Raffles memilih setia padaku. Namun, berarti dia sekarang telah mengkhianati Ayahnya?
"Aku senang kau memihakku, namun bagaimana Ayahmu? Bukan kah Ayahmu memiliki impian untuk menetap di planet ini?" tanyaku. Raffles terdiam dan menunduk. Entah apa yang ingin dia utarakan, namun sepertinya ada sesuatu yang menjejali perasaannya.
"Aku tahu Ayah sudah berusaha keras untuk bisa sampai di planet ini, namun aku tidak bisa menyangkal bahwa hal yang telah dia lakukan pada penghuni makhluk ini begitu kejam. Tak seharusnya Ayah melakukannya," kata dia.
"Lalu apa pilihanmu? Apa kau akan berdosa?" Dia hanya menggeleng.
"Entah, aku menyayanginya. Tapi aku tak terima sikapnya jika itu mengancam keselamatanmu, aku tak ingin kau pergi. Lagipula bumi masih bisa kita lakukan perubahan, aku tahu. Gara-gara mesin waktu, kami menjelajah masa depan dan menemukan bumi musnah akibat bencana dan ulah manusia sendiri. Bukankah tak ada kata terlambat untuk memulai segalanya?" kata dia. Aku hanya mengangguk.
"Kita lakukan saja secara baik-baik. Aku tak ingin kekerasan dan darah yang harus jadi taruhannya, aku wanita. Aku tak sekuat pria," kataku.

Raffles langsung mengajakku dan pasukanku untuk menemui Ayahnya. Dia akan bilang bahwa semunya harus diakhiri. Juga dia tak mau ada orang yang harus terluka karena keegoisan manusia.
"Ayah!" teriak Raffles.
"Apa yang kau lakukan bersama mereka, Raffles?" tanya Ayahnya kaget saat melihat aku dan sisa pasukanku berada di belakang Raffles.
"Ayah, kumohon hentikan peperangan ini! Aku tak ingin ada orang yang terluka karena keegoisan kita! Mereka menderita setelah kita mendarat di sini, Ayah," ucap Raffles saat Ayahnya menghampirinya. Mata biru tua milik Ayahnya menatapku tajam.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?" kata dia dengan suara menekan padaku.
"Aku tak melakukan apa pun!"
"Ramuan mujarab apa yang kau berikan sehingga anakku menjadi berbalik pemikiran?!" katanya lebih menekan lagi.
"Tidak, Ayah. Glisa tak melakukan apa pun, kumohon Ayah, kita jangan menganggu lagi peradaban Gliese 581g!" ucap Raffles.
"Rupanya kau telah dicuci otak, nak! Apa hal yang membuatmu seperti ini?" "Ayah, kumohon!" kata Raffles memelas.
"Tidak, Ayah tak akan keluar dari sini! Kau memang anak yang tak berguna!" caci Ayah Raffles padanya.

Raffles hanya diam tak berkutik. Aku menepuk pundaknya dan dia malah menyingkirkan tanganku. Raffles mengeluarkan sebuah remot yang berisi banyak tombol. Saat Raffles akan menekan tombol itu, tiba-tiba...

Duaar! Ledakan itu menyeret aku dan Raffles terbang dan terbanting. Begitu juga pasukanku yang tersisa. Bau anyir mulai tercium di mana-mana. Aku terbaring tepat di samping Raffles.
"Kau akan membunuh Ayahmu dengan bommu, Nak? Tidak-tidak, aku lebih cepat darimu! Jangan pernah berpikir bahwa kau lebih pandai dariku!" suara sinis itu dibarengi dengan sebuah senyum sinis. Terlihat Raffles begitu lemas dan darah berlumuran dari tubuhnya.
"Ta-k akan kubiarkan!" katanya sedikit terjeda.

Mendadak suasana menjadi berwarna merah kejinggaan. Lidah api keluar dari matahari yang baru saja terbit dari ufuk timur. Semasa hidupku tak pernah kulihat hal seperti ini. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Pertama kali!

Aku menggenggam tangan Raffles yang ada di sampingku. Keadaan semakit panas dengan lidah api yang menjulur ke luar dari cahaya matahari. Aku menggenggam erat tangan Raffles yang berlumuran darah, tak jauh dengan keadaan tanganku sekarang.
"Kita akan selamanya bersama, kita akan mati bersama," desahku sambil menggenggam tangannya lebih erat lagi.

Raffles sedikit menahan rasa sakit yang dideritanya. Begitu pun denganku, aku sudah tak bisa lagi bangun dengan keadaan burukku ini. Hampir tak bisa. Manusia di sana tampak kaget sekaligus terpukau melihat lidah api matahari yang begitu besar dan menimbulkan radiasi. Raffles mengeluarkan sebuah remot dari bajunya dengan seluruh sisa tenaganya.
"Aku tahu kemenangan-yang mutlak itu tak ada, walau kita- bertempur dalam- satu peperangan, tak akan ada satu detik pun- keabadian, aku harus melakukannya. Bom yang sudah kutempatkan, jika aku mati, maka kita semua harus mati," katanya sedikit tersendat-sendat. Aku menatap ke atas, kurasakan pahit yang begitu dalam dan serentetan nostalgia manis yang bersatu dalam sebuah kehidupan. Aku membayangkan betapa senangnya hidupku di masa lalu, di masaku kecil dan tak tahu apa-apa. Kehidupanku sangat harmonis, tak ada kekacauan dan tak ada kesakitan. Tapi sekarang, kenangan manis itu baru kurasakan begitu manis saat aku harus kehilangan segalanya. Dan aku merasa di atas sana ada sebuah keabadian setelah aku menutup mata dan melayang.
"Kau benar, tak ada kemenangan mutlak, semuanya tak ada artinya. Walau sekarang kita tak akan jadi abu, mungkin kita akan terpanggang jadi arang."

Raffles menatapku dengan pandangan sayu. Usai kuberucap, air mataku tumpah bersama darah yang terus bercucuran. Raffles menekan tombol peledak bomb yang telah dia siapkan dan membuat ledakan yang begitu besar. Rasanya seluruh Gliese 581g punah setelah ledakan itu menggema. Kapal baja itu rusak, tubuh itu terpelanting jauh dan darah bercecer di mana-mana. Walau Raffles menyimpan bom itu di dalam kapal baja, aku ikut terpelanting jauh dan merasa seribu kesakitan. Adil, ini yang paling adil yang harus Raffles lakukan. Jika mereka merasakan kematian, maka dia dan aku pun sama. Walau Gliese 581g punah, bukan berarti aku tak akan mendapat lagi kehidupan. Yang aku rasakan sekarang, aku begitu hampa dan bahagia bersama tanganku yang masih bergandengan dengan Raffles. Mungkin aku akan hidup bahagia bersama dengan Raffles di keabadian. Atau mungkin juga aku akan dipanggang di neraka bersama Raffles yang telah membunuh mereka semua. Entahlah, yang kurasa kehidupan baruku telah dimulai. Kehidupan di mana kesakitanku akan berakhir dan aku akan bebas.

-Selesai-

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates