Kamis, 16 April 2015


Sinar mentari mulai memancar dan menyinari embun yang tengah bergelayut di atas daun. Jendela kamar Darwin yang terbuka terlihat sedikit basah terkena sinar yang terlihat agak redup dari dalam kamar yang hanya berpenerangan sebuah lampu neon kecil temaram. Perlahan sinar mentari yang menghangatkan mulai membangunkan dan memaksa Darwin untuk bangkit dan membuka mata. Perlahan sinarnya mulai menerang dan terasa silau di matanya.
"Hhh ... sudah pagi," katanya pada diri sendiri.
"Ya, memang sudah pagi," balas seorang gadis sambil merayap turun dari tangga.
"Hay, Elizabeth! Sudah bangun?" tanya Darwin menyapanya, namun dia tidak menatap ke arah gadis tersebut. Hanya terdiam sambil menatap lantai.
"Ya, Edgar masih tidur?" tanya Elizabeth melongok ke arah Edgar yang masih terlelap di kasurnya.
"Kebiasaan liburan, bangun pukul berapa pun tak jadi masalah," kata Darwin.
"Ya, lagipula ini awal tahun, tak akan benar-benar belajar. Terkadang aku juga merasa bosan terus belajar. Dan baru kusadari, ternyata menjadi malas itu cukup menyenangkan," Elizabeth sedikit tertawa sambil menatap Darwin, tatapan yang sangat jelas menunjukkan bahwa gadis itu senang berada di dekatnya.
Darwin tersenyum menanggapi perkataan Elizabeth. Elizabeth tampak sangat bahagia dan tenang ada di dekat Darwin. Dia merasa Darwin adalah satu-satunya orang yang bisa mengetahui benar-benar isi hatinya. Darwin adalah orang terbaik yang dia tahu.
"Oh ya, bagaimana dengan kejadian sebulan lalu? Kau sudah bisa melupakannya, kan?" tanya Elizabeth. Darwin berpikir, kejadian mana yang dimaksud Elizabeth? Apa Kakeknya atau dia yang menyatakan cinta padanya?
"Err ... sepertinya, aku tidak ingin terlalu banyak mengingat sesuatu yang tidak penting. Jadi mungkin banyak hal yang sudah kulupakan," kata Darwin bermaksud menjawab pertanyaan mana pun yang dimaksud Elizabeth.
"Kuharap begitu," kata Elizabeth, sedikit ragu, "sayang sekali kau kini sudah pintar mantra penolak pikiran. Kau sudah memblokku untuk masuk ke dalam benakmu," kata Elizabeth sambil menghela napas berat.
"Maaf, aku kurang menyukai itu," kata Darwin jujur.
"Terimakasih, setidaknya kau mencoba mengakui hal yang tak kau sukai. Itu lebih membuatku suka daripada terus membaca pikiranmu dan membuatmu terganggu," balas Elizabeth.
"Hoah! Kalian sedang apa di sini?" tanya Edgar tiba-tiba sambil menguap dan melemparkan selimutnya.
"Elizabeth menunggumu bangun," sambar Darwin cepat sebelum Elizabeth akan berkata.
"Oh, begitu kah? Ternyata kalian berdua sudah bangun dan menungguku, hahah. Awal tahun ajaran ini sungguh membuatku malas beraktivitas. Bagaimana dengan kalian?" tanya Egar, menarik selimut dan berbaring di kasurnya lagi.
"Ya, aku juga," Darwin menjawabnya dengan nada datar. Memikirkan sesuatu, tapi dia tidak begitu mengerti..
"Bagaimana denganmu, Elizabeth?" tanya Edgar menatap ke arah Elizabeth yang terduduk di depannya, tepat di kasur Darwin.
"Oh, haha. Selalu ada waktu untuk belajar. Tiap harinya," kata Elizabeth sedikit canggung dengan tawa paksa di nada bicaranya.
"Ya, kau memang kekasihku yang rajin dan pintar," kata Edgar sambil merangkul bahu Elizabeth.
Elizabeth terlihat sedikit kikuk ketika tubuhnya dirangkul Edgar. Dia tahu bahwa ini bukanlah hal yang seharusnya dia lakukan dan dia inginkan. Pandangannya langsung menatap Darwin yang hanya terduduk sambil sedikit bersenandung dan menatap sinar mentari yang menjatuhi tubuhnya. Lalu dia alihkan pandangan pada Edgar yang masih merangkulnya sambil menutup mata. Elizabeth pun tersenyum semanis mungkin saat Edgar menatapnya. Sebenarnya dia merasa sangat kaku melakukan ini di depan Darwin. Darwin adalah orang yang disukai dan bahkan dicintai olehnya. Tapi Darwin mengatakan bahwa Elizabeth lebih baik bercinta dengan Edgar, orang yang telah menyelamatkannya dari Troll. Padahal orang pertama yang menyelamatkan dia adalah Darwin, ketika dia tenggelam di dasar kolam saat tertangkap Troll waktu kelas satu.
"Oh, ya. Aku pergi mandi terlebih dahulu, kalian di sini saja," kata Darwin tiba-tiba dan langsung berjalan ke arah lemari miliknya.
"Ya, silahkan."
Darwin tersenyum pada mereka dan segera mengambil beberapa alat mandinya. Dia segera bergegas menuju kamar mandi dan cepat-cepat masuk dan mengunci pintunya. Dia langsung membuka piama yang melekat di tubuhnya dan menyalakan air untuk segera mandi. Dia merasakan aliran air dari tembok-tembok itu yang membasahi tubuhnya dan mengalir lembut perlahan dari kepala ke kakinya. Sama persis seperti aliran darahnya yang kini mulai turun, dan terus turun untuk berputar. Juga aliran itu seirama dengan air mata di hatinya yang masih menangis meratapi nasib dan takdir yang kian menghinggapinya.
Seiring bergulirnya waktu, dia semakin merasa dewasa. Dan juga tahun ini dirinya akan menginjak umur enam belas tahun. Semakin banyak saja kepedihan, kenistaan dan kekejaman hidup yang menggelayuti jalan takdirnya. Semakin lama dia semakin merasakan musuh ada di mana-mana. Bahkan teman sekali pun dapat menjadi musuh. Juga siapa pun dapat menjadi musuh.
Sebenarnya banyak sekali pikiran-pikiran yang menghantui benaknya. Dia selalu merasa kuatir pada kedua orangtuanya yang kini entah berada di mana. Darwin sudah berjanji untuk tidak memberitahukan keadaan kedua orangtuanya pada siapa pun. Dia juga akan menepati janjinya itu untuk orang yang paling dia rindukan selama beberapa tahun terakhir. Pedih memang mengakui bahwa dia ternyata tak pernah bisa merasakan pelukan hangat kasih dan cinta kedua orangtuanya. Apalagi Ayahnya. Dia ingin sekali belajar banyak hal dari sang Ayah. Juga belajar dari Ibunya. Dia juga ingin sekali menatap lebih lama wajah tirus yang terukir jelas di setiap lekukan wajah Ayah dan Ibunya, namun dia tak bisa. Hal itu terlalu berbahaya untuk keselamatan orangtuanya. Andai dia hanya orang biasa yang tak akan seperti ini, dia mungkin tak akan lebih menderita. Dia merindukan masanya bersama Nelly dan Billy yang selalu melemparinya kertas saat ulangan agar dirinya di hukum di depan kelas. Juga merindukan saat dia berjalan sendirian menuju kelas dengan pandangan tertunduk karena selalu teraniaya. Tapi dia lebih suka itu daripada sekarang. Sekarang dia sudah punya banyak penggemar, dia terkenal, dia kuat, dia bisa melakukan apa pun pada orang yang dikehendakinya. Layaknya Cole Hilton, dia sekarang tak terlalu sering mengganggunya, bahkan Hilton menjadi terlihat lebih ramah.
Walau pun Darwin dianugerahi lebih banyak kemampuan dari anak biasanya, tapi dia tak pernah berniat untuk menganiaya siapa pun. Dia sudah tahu bagaimana rasanya teraniaya. Sakit memang, namun sakit itu tak seberapa dengan rasa sakit yang menghujamnya kini. Dirasa hidup penuh dengan penderitaan yang menyiksa tiap harinya.
Setelah Darwin selesai, dia segera keluar dengan jubah dan seragam coklat miliknya. Dia cukup terlihat tampan dan segar sekarang. Darwin langsung berjalan ke arah tangga dan menuju hotelnya. Setelah itu dia membereskan beberapa alat mandinya dan beranjak ke kasurnya. Terlihat di sana Edgar tengah membaca sebuah buku yang tak terlalu tebal. Tumben Edgar membaca, begitu pikirnya.
"Hey aku penasaran bagaimana kalian bisa pacaran. Apakah Elizabeth berbicara padamu terlebih dahulu?" tanya Darwin, menepuk punggung Edgar yang tengah serius.
"Tak tahu! Pokoknya saat aku mau bilang sama dia, dia juga bilang sama aku," kata Edgar antusias, menghentikan bacaannya sambil tersenyum bahagia.
"Oh. Edmund, bagaimana dengan dia?" tanya Darwin lagi menatap sampul buku Edgar.
"Oh, si Edmund. Ya gitu deh, dia masih suka ngomel. Apalagi sekarang, aku kan pacarnya Elizabeth. Sebenarnya dia suka sama Elizabeth, ternyata sekarang Elizabeth jadi pacarku, jadi sekarang aku menang," kata Edgar sedikit berbisik sambil tersenyum-senyum.
"Sshh!" desis Darwin sambil nyengir pada Edgar.
"Iya, seenggaknya aku juga menang. Jangan kalah mulu," kata Edgar.
Terik matahari mengawali pelajaran pertama mereka hari ini. Dan sangat disayangkan Drawsentclass dapat pelajaran Prof. Lopez yang artinya harus menjemur diri di lapangan. Berhubung musim panas memang belum sepenuhnya selesai, terik panas dan hembusan angin hampa masih terasa menusuk di tubuh mereka dengan tajam.
"Baiklah anak-anak, aku tak akan berhenti mengajari kalian tehnik bersapu terbang dengan baik. Walau pun selama empat tahun terakhir kalian sudah cukup bisa, terkecuali Polly, ya. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi padanya, dia benar-benar bodoh tak bisa mendapatkan nilai A pada pelajaran yang paling mudah yang pernah ada. Hanya cukup beberapa tehnik agar kita bisa menyesuiakan dan menyeimbangkan tubuh dengan kecepatan sapu. Maka dari itu kita perlu berkonsentrasi..bla,,blaa..." kata Prof. Lopez panjang lebar.
Inilah bosannya pelajaran awal tahun pada sapu terbang. Setiap pertemuan pasti Prof. Lopez selalu berpidato panjang lebar tanpa ada jeda dari setiap ucapannya. Hal ini selalu membuat para murid jengkel dan merasa jemu untuk melakukan pembelajaran. Padahal setiap tahun dan semesternya mereka sudah mendengar perkataan itu terlalu sering. Terkadang Darwin juga selalu ingat saat Edgar selalu mengomentari Prof. Lopez dengan banyak kata-kata menghina darinya. "Si Lopez bodoh, dasar wanita aneh, ada nggak sih orang yang mau dengerin wanita aneh kayak dia?" Dan untuk jawaban penghinaan Edgar yang terakhir adalah Elizabeth. Setiap kali mereka melihatnya, Elizabeth pasti sedang tersenyum menatapnya sambil mangut-mangut. Namun sekarang, Elizabeth terlihat sedang menerbang-nerbangkan poninya saking kegerahan.
"Profesor, bisa kah dipercepat pidatonya? Kami sudah kepanasan," komentar Edgar ketika Prof. Lopez menjeda nada bicaranya.
"Oh, kalian kepanasan? Maafkan aku, baiklah, pelajaran di mulai sekarang!" katanya.
Mereka semua langsung tersenyum bahagia mendengar pernyataan Prof. Lopez. Edgar menggerutu di hatinya, mengapa tak dari tadi saja dia berkata?
***
Pelajaran telah usai. Saatnya sekarang untuk duduk diam di dalam kamar. Murid-murid baru yang baru saja masuk tahun ajaran ini berkeliaran masih bingung akan tempat Grondey yang berlika-liku. Sementara Edgar, Darwin dan Elizabeth sedang mengobrol tentang kejadian sebulan lalu di asrama.
"Aku tak begitu yakin, mereka bilang ada orang dalam," kata Elizabeth.
"Sepertinya juga begitu. Mana mungkin penjahat-penjahat itu bisa masuk tanpa bantuan. Pasti salah satu dari mereka ada di sini sekarang," kata Edgar.
"Hati-hati, bisa saja mereka punya mata-mata. Mata dan telinga mereka pasti di mana-mana," kata Elizabeth.
"Kalian tahu darimana?" tanya Darwin merasa kebingungan dengan percakapan mereka.
"Tentu saja tahu, banyak orang berkata begitu. Tapi aku yakin, orang dalam itu tak mungkin aku, kau, Elizabeth dan Nathly," kata Edgar menunjuk tiap orang kecuali Nathly.
"Tentu saja, aku juga percaya kau tak akan pernah melakukannya. Memang merunut kalian siapa orang dalam tersebut?" tanya Darwin.
"Si Nick, setelah dia kerja di sini asrama jadi kacau. Dia kan yang jaga pintu utama. Jadi siapa lagi?" tanya Edgar antusias.
"Orang dalamnya sudah ada dari dulu, Edgar. Waktu aku akan memberi penawar pada Kakek Darwin, aku membagi terlebih dahulu dua ramuan. Satu yang asli, dan satu gagal. Kau tahu, kan saat ramuan yang terjatuh akan menimbulkan asap, jadi aku pura-pura terkejut dan menjatuhkan ramuannya, karena aku tahu, aku sudah melihat seseorang memberikan ramuan pada Prof. William sebelumnya karena aku dapat melihatnya terlebih dahulu dari lubang kunci. Dan aku sangat yakin, dia pasti yang meracuni Kakek Darwin," kata Elizabeth panjang lebar membuat Darwin dan Edgar bengong menatapnya.
"Lalu mengapa kau tak memberitahu kami sebelumnya?" tanya Darwin. Elizabeth tersenyum.
"Aku selalu lupa," katanya sedikit gugup.
"Ahh, kau ini, pelajaran saja yang kau pikirkan," balas Edgar sambil sedikit mengacak rambut Elizabeth yang sudah berantakan. Elizabeth tersipu dan langsung menatap Darwin yang tersenyum melihat tingkah Edgar. Dalam hatinya bertanya, apa kah Darwin menyembunyikan perasaannya atau memang tak mencintainya? Tapi rasanya tak mungkin jika Darwin tak memiliki sedikit pun perasaan padanya, mereka telah lama bersama dan sangat akrab. Hal yang sulit dipercaya.
Seperti biasa Darwin dan Hipo tengah melihat Eugene yang bertugas di depan pintu utama Grondey dan berjalan mondar-mandir tak menentu waspada kalau-kalau Darwin akan mencoba lagi kabur seperti yang kemarin dia lakukan. Sampai-sampai dia dikejar dan digebuki oleh sapu terbang butut miliknya. Sempat Eugene melihat bekas luka cakaran Ayahnya. Langsung saja Darwin menyembunyikan bahunya dan menutup jubah rapat-rapat. Awalnya dia sedikit curiga pada Darwin, dia juga melihat botol ramuan pencegahan agar dia tak menjadi Werwolves. Namun ternyata Eugene tak menaruh perasaan aneh pada botol itu karena Darwin mengatakan bahwa itu hanya botol air minum biasa.
"Bagaimana ini, Hipo? Aku ingin keluar, andai saja aku punya kekuatan secepat cahaya, saat aku berkonsentrasi dan tiba-tiba ..."
Darwin terkejut, dia dan Hipo kini ada di luar asrama. Entah mengapa, saat hatinya berkata bahwa dia ingin keluar, dia merasa seperti debu yang terbang ringan dan seperti cahaya yang menembus cepat. Entah apa ini, apa mungkin ini yang dilakukan Ayah dan Ibunya saat tiba-tiba menghilang di gua waktu itu?
"Tu-tuan a-a-anda," kata Hipo terbata tak percaya yang baru saja Darwin lakukan.
"Kumohon, jangan beritahukan ini pada siapa pun. Kau mengerti?" tanya Darwin, Hipo mengangguk. "Baiklah, ayo kita kembali!" kata Darwin.
Mereka mulai berjalan masuk lewat pintu utama. Dia tahu Eugene pasti ada di sana dan mengejarnya. Saat ini membuatnya ingin mengerjai si Eugene walau seharusnya dia tak melakukan itu. Dan benar saja, ketika Darwin masuk Eugene langsung kaget dan mengejar Darwin yang berlari terlebih dahulu.
"Hey! Anak bandel, kemba-"
Eugene terhenti. Di sana tak ada Darwin. Lalu di mana dia? Eugene langsung berbalik dan tepat di pintu utama Darwin menyeringai padanya. Eugene melotot dan mengucek matanya. Dan seketika, Darwin hilang dalam hitungan detik karena melakukan teleportasi.
"Aku keren, kan? Aku tak pernah melihat Eugene bingung seperti itu," ucap Darwin sambil menahan tawa.
"Ckckck, Hipo sangat ingin tertawa Tuan Willy," kata Hipo cekikikan.
"Aku baru saja mengerjai pekerja sekolah, sebelum awalnya aku dikerjai," kata Darwin sambil berjalan di atas tangga.
"Oh, yang baru saja itu tak sopan, tapi itu lucu, hahah," tawa Hipo sambi terus terbang.
"Ya, ternyata mengerjai itu menyenangkan bila berhasil. Seperti yang Bert dan Polly lakukan," kata Darwin sedikit berbisik.
"Ya, apalagi Kudru dan Noci, mereka sangat bandel sekali. Aku hampir saj-, oh itu Tuan Eylizab dan Kate!" kata Hipo menunjuk Elizabeth yang tengah berjalan ke hotel.
"Elizabeth!" teriak Darwin. Elizabeth mendongak dan langsung tersenyum.
"Apa yang kau tanyakan, Darwin?" tanya Elizabeth membalas sapaan Darwin.
"Kau sudah pandai mantra membuka pikiran?" tanya Darwin dan Elizabeth langsung terkekeh.
"Aku tak mau membaca pikiranmu lagi, Darwin. Aku sudah kenal bagaimana nada dan ekspresi wajahmu saat ingin bertanya padaku. Aku hafal, kita sudah lama kenal," kata Elizabeth.
"Hmm, aku melihat seorang di hutan menghilang dalam hitungan detik membawa seseorang-yang Darwin maksud orangtuanya-tanpa menyisakan jejak sedikit pun."
"Oh, jika seperti itu namanya teleportasi. Keadaan di mana seseorang bisa menembus ruang dalam hitungan detik secepat cahaya sejauh tiga ratus kilo meter per detik. Apa kau melihat wajahnya? Aku sangat penasaran, orang itu pasti sangat hebat, jarang orang bisa melakukan teleportasi, karena teleportasi itu bukan sihir," kata Elizabeth, "tak banyak penjelasannya di buku, kau mungkin bisa menanyakannya pada guru, aku yakin salah satu dari mereka tahu. Apalagi Prof. Robert, dia cukup hebat dan pandai di masa mudanya," lanjut Elizabeth lagi.
"Begitu, ya. Terimakasih, Elizabeth, aku aka pergi menemui Prof. Robert."
Darwin berpamitan pada Elizabeth dan segera pergi untuk menuju ke kantot Prof. Robert, entah mengapa dia sangat penasaran tentang teleportasi itu. Namun sebelum Darwin pergi ke kantor Prof. Robert, dia bertemu Prof. Colin dan menanyainya terlebih dahulu kalau-kalau dia tahu sesuatu tentang teleportasi.
"Profesor, boleh saya menanyai sesuatu?" tanya Darwin.
"Oh tentu, Darwin. Apa yang ingin kau tanyakan?" balas Prof. Colin.
"Teleportasi, saya melihat seorang lelaki membawa seorang perempuan menghilang dalam hitungan detik, apa itu teleportasi? Mereka tak meninggalkan jejak,"
"Di mana kau melihatnya? Dua orang, lelaki dan perempuan? Apa di hutan?" tanya Profesor Colin cepat dan sedikit panik. Sementara Darwin hanya memandangnya aneh sambil mengangguk.
"Coba tanyakan itu pada Vict-err ... maksudku Robert. Aku sedang sibuk," kata Prof. Colin dan langsung berlari dengan jubahnya yang berkibar.
Darwin hanya bingung melihat tingkah guru ramuannya yang tak seperti biasanya. Wajahnya sedikit pucat dan panik saat Darwin menanyainya. Ahh ... untuk apa juga dia memikirkan Colin. Dia hanya perlu bertemu Prof. Robert untuk mempertanyakan teleportasi yang tak tahu mengapa dia bisa melakukannya.
Darwin berjalan menuju kantor Prof. Robert. Walau kini dia kepala sekolah, kantornya masih tetap sama. Sementara kantor Kakeknya tak diisi dan barang-barang miliknya masih tersimpan rapi di tempatnya. Kata Prof. Robert, kantor Prof. William akan dikosongkan sampai dirinya menjadi kepala sekolah. Karena hanya keluarga William saja yang boleh menempatinya. Jadi, sekarang dia bisa pergi ke kantor biasa Prof. Robert dan berdiri di depan pintu kayu yang ada di sana.
"Profesor," seru Darwin dari luar.
"Masuklah, pintunya tak dikunci!" balas Prof. Robert.
Darwin segera membuka pintu dan masuk. Dilihatnya Prof. Robert tengah tersenyum padanya. Hal ini membuat pikirannya melayang ke beberapa bulan yang lalu saat Kakeknya memberitahukan tentang orangtuanya. Dia benar-benar menyesal telah marah pada saat itu, mungkin itu adalah hari terakhir dirinya menatap wajah Kakeknya. Dan sikap terakhir yang Darwin berikan pada Kakeknya adalah perkataan berang yang dia lontarkan juga sikap kasar. Andai saja Darwin tak melakukannya, mungkin dia tak akan terlalu merasa bersalah.
"Ada apa, Nak? Apa kau ingin menanyakan tentang teleportasi?" tanya dia.
"Da-darimana anda tahu?" tanya Darwin kaget.
"Hahaha, bahkan aku tahu kau menyukai Elizabeth," kata Prof. Robert. Wajah Darwin memerah. "Hahaha, maafkan aku Darwin. Tenang saja, aku tak akan memberitahukan ini pada siapa pun. Aku bisa membaca pikiranmu lewat matamu," kata Prof. Robert.
"Ya, bisa kah anda memberitahu saya?"
"Tentu saja, itu adalah kekuatan yang Ayahmu berikan pada anaknya. Dia belajar teleportasi bersamaku waktu kecil. Aku dan Ayahmu mempelajarinya selama dua tahun, ya kuakui dia lebih cepat bisa daripada aku. Dia memang hebat!" kata Prof. Robert.
"Waw! Apa kau juga akan menurunkannya pada anakmu?" tanya Darwin.
"Kau sudah kuanggap sebagai anak sendiri, Darwin. Kau satu-satunya anakku, Nak."
Darwin terbungkam. Prof. Robert memang sangat baik padanya, tapi apa kebaikannya benar-benar?
"Oh, ya Profesor, saya dengar Kakek saya terbunuh karena melindungi sesuatu. Benda apa itu?" tanya Darwin.
"Pulang lah dulu, aku sedikit sibuk," katanya, "tunggu sebentar sampai dia pergi," bisik Prof. Robert.
Darwin mengernyit tak mengerti, apa maksudnya? Tunggu sampai dia pergi itu pada siapa?
"M-maksud anda?" tanya Darwin bingung.
Prof. Robert mengisyaratkan Darwin untuk diam. Dalam beberapa detik suasana hening dan tak ada suara. Sampai Prof. Robert memulai pembicaraan, suasana kembali seperti semula.
"Baiklah, dia sudah pergi," kata Prof. Robert.
"Dia siapa?" tanya Darwin.
"Aku tak akan memberitahukannya padamu, dia wanita dan tahu segalanya tentangmu," katanya. Darwin mengernyit lagi. Wanita dan tahu segalanya? Apa dia Elizabeth?
"Baiklah, bagaimana tentang benda yang Kakek saya sembunyikan itu?" tanya Darwin.
"Bola Kristal harapan, di mana harapanmu bisa terkabul. Bola kristal yang sering disebut dengan Krital Bintang Jatuh atau Kristal Andromeda. Kristal ini dibuat oleh Andry Andromeda. Di mana benda ini bisa memasukan setiap bintang jatuh. Kau mungkin tahu bahwa orang-orang percaya jika membuat harapan saat bintang jatuh bisa terkabul. Begitu pun benda ini, tapi karena benda ini sudah terlalu lama mungkin, kristal ini tidak selamanya bekerja. Jika muncul cahaya kebiruan lalu berubah keemasan itu artinya terkabul, tapi jika hanya muncul cahaya perak itu artinya tidak. Aku tahu hal ini dari Kakekmu, tapi aku belum tahu di mana dia menyimpannya," kata Prof. Robert menjelaskan semuanya.
"Tapi darimana Kakek saya mendapatkannya?" tanya Darwin.
"Andromeda masih keturunanmu, tapi silsilahnya sangat panjang sekali, jadi aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Sepatutnya kau tahu hal ini, pasti Kakekmu ingin kau memilikinya, tapi sayang sekali aku tak bisa memberitahukanmu di mana letaknya. Kakekmu tak bisa menceritakannya padamu di mana letaknya, hanya bagaimana cara kerjanya. Setidaknya dia cukup mempercayaiku," katanya.
"Ya, bagaimana dengan pembunuh dan orang yang ingin mencuri kristal itu? Siapa dia?" tanya Darwin.
"Luxifan, dia yang memiliki tanda merah di dahinya. Lucidad Luxifan. Penyihir jahat yang sangat hebat. Di mana dia bisa merubah dirinya menjadi apa pun, bahkan orang lain pun bisa dia ubah, seperti Samantha yang menjadi cantik," katanya.
"Jadi orang yang telah membunuh kakek saya dan mencoba membunuh saya adalah Luxifan? Manusia ular itu?" kata Darwin kaget.
"Dia bukan manusia ular saja, tapi berupa segala hal, kau hanya perlu mengenali tanda merahnya itu dengan benar," kata Prof. Robert.
"Apa dia yang akan menjadi tandingan saya?" tanya Darwin.
"Ya, dia akan menjadi lawanmu. Jika kau tahu sejarah Grondey ini, maka kau akan mengerti mengapa dia ingin membunuhmu" kata Robert menyandarkan diri pada kursinya.
"Memangnya ada apa, Profesor?" tanya Darwin penasaran.
"Aku belum punya waktu luang untuk menceritakannya padamu. Butuh waktu yang lama. Tapi asal kau tahu, nama Grondey ini diambil dari Grand Away dan hutan Scarymus dulunya adalah hutan Harphioneria, di mana hutan itu berubah mengerikan setelah hilangnya Andry Andromeda."
"Andry Andromeda hilang di sana?" tanya Darwin panik.
"Ya, setelah banyak orang tahu Andry punya Kristal tersebut, Andry pergi ke hutan Harphioneria dan dia tak kembali jua. Sosoknya seolah hilang di dalam hutan itu itu bagai jiwa yang tertelan dan telah dikunyah keras. Namun bola Kristal itu diberikan pada anaknya, Percy Andromeda dan terus turun temurun sampai keturunan kita," jelas Prof. Robert. Darwin mengangguk mengerti, ingin sekali dia tahu bagaimana sejarah Grondey dan Andry Andromeda jika ini ada hubungan dengannya. Jika saja Prof. Robert punya banyak waktu untuk dia tahu sejarah itu. Pasti sangat mengasyikan.
"Oh, ya Profesor, saya dengar ada orang dalam yang termasuk bawahan Luxifan di sini."
"Oh, ya! Kudengar rumor begitu. Cari saja lewat nama mereka, kau bisa membuat petunjuk," kata Prof. Robert.
"Baiklah, terimakasih, Profesor atas waktunya. Saya harap kita bisa berbicara lagi, sampai jumpa," pamit Darwin.
"Ya, aku selalu suka berbicara denganmu."
Darwin melebarkan bibirnya. Dia lalu membuka pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Bayang-bayang Luxifan masih menghantui pikirannya. Akan kah dia bisa mengalahkan Luxifan yang sangat kuat menurutnya?
Darwin sedikit bergidik. Lebih baik dia segera sampai di asrama karena makan malam sepertinya akan dimulai. Dia juga harus bertemu Elizabeth yang tampaknya bisa memberinya sedikit informasi tentang Luxifan, Andry Andromeda, Kristal Andromeda dan tepatnya Grondey. Dia yakin Elizabeth mungkin akan cukup tahu tentang itu. Dia murid yang pandai.
Darwin segera masuk ke dalam hotel. Orang pertama yang dilihatnya adalah Edgar yang tengah membawa banyak makanan. Dan Elizabeth tengah duduk di meja biasa dia makan sambil sedikit termenung. Darwin menghampirinya dan sedikit menyapanya.
"Sedang apa?" tanya Darwin.
"Ah, kau Darwin," kata Elizabeth membuyarkan semua yang dipikirkannya.
"Apa kau tahu Andry Andromeda?" tanya Darwin dan Elizabeth mengangguk.
"Tentu, orang yang hilang di hutan Scarymus, kan?" kata Elizabeth.
"Ya, kau pernah baca sejarahnya?" tanya Darwin.
"Sedikit, yang aku tahu dia diincar. Tapi coba saja cari di perpustakaan mengenai sejarahnya. Rak nomor seratus lima paling bawah. Judulnya kalau tak salah Kemana Andry Andromeda? Juga aku pernah membaca namanya di buku sejarah Grondey. Coba saja cari, aku lupa di mana tempatnya. Mungkin Tuan Eugene tahu," kata Elizabeth panjang.
"Bagaimana dengan Lucidad Luxifan, kau tahu?" tanya Darwin.
"Hanya sedikit informasi yang jelas tentangnya, orang yang waktu mengejar kita di Board of Death. Permainan ini dibuat oleh bebuyutannya. Entahlah, katanya dia masih turunan Kakeknya Andry Andromeda."
"Teman-teman, cepat ambil makanan kalian. Bisa-bisa nanti kehabisan!" kata Edgar sedikit berteriak, "tapi jika kau mau, Elizabeth, kau bisa ambil punyaku."
"Oh, tak perlu Edgar, aku akan membawanya bersama Darwin," ucap Elizabeth.
"Baiklah."
Darwin dan Elizabeth segera ke luar dari hotel dan beranjak ke aula utama. Di sana berbagai makanan telah tersaji dan tinggal dibawa, banyak juga anak yang makan di sana, seperti kelas awal.
"Kau akan ambil apa?" tanya Elizabeth.
"Tak banyak, mungkin hanya makanan yang biasa kumakan saja," kata Darwin mengambil sebuah piring.
Setelah selesai mengambil makanan itu, mereka kembali berjalan menuju hotel. Namun Elizabeth menyuruh Darwin berhenti dan masuk ke ruangan kosong karena ada sesuatu yang harus dia bicarakan.
"Boleh aku jujur, Darwin?" tanya Elizabeth memulai perkataan.
"Ya." Darwin memasang wajah datar.
"Aku ingin menceritakan semuanya. Hal ini terus-menerus menganggu otakku. Aku selalu berpikir bahwa setelah aku mengatakan semuanya padamu pikiranku bisa bebas dan tak lagi terganggu, aku ingin bilang bahwa aku, mencintaimu!" kata Elizabeth.
"Maksudmu?" tanya Darwin kaget.
"Apa kau tidak mengerti? Aku tak bisa melakukan ini. Ini terlalu sulit bagiku, aku tak bisa mencintai Edgar dengan hatiku, meski pun aku telah mencobanya," kata Elizabeth dengan nada yang mirip bahwa di sana ada kegetiran.
"Aku, tak bisa!" kata Darwin.
"Tapi itu tak mustahil dilakukan, kau satu-satunya orang yang kucintai, Darwin. Tak ada lagi orang yang kucintai selain dirimu!" Mata Elizabeth berlinang. Bibirnya sedikit bergetar.
"Tapi Edgar mencintaimu," balas Darwin.
"Aku tahu, Darwin. Tapi itu bukan berarti aku harus terus membohonginya, yang aku cintai hanya kau, Darwin!" kata Elizabeth memelas.
"Aku tak bisa, aku tak seharusnya bersamamu!" Darwin berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu, namun tangan Elizabeth mencegahnya. Air matanya mulai turun.
"Mengapa? Bukan kah kita sudah lama saling mengenal, aku hampir mengenal bagaimana dirimu. Aku hampir tahu bahwa kau mencintaiku, semuanya tampak di matamu. Kau tak bisa menyangkal semua itu!" bantah Elizabeth.
"Apa yang begitu meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu? Aku tak mengerti," sangkal Darwin.
"Mengapa kau tak mengerti? Seharusnya kau sendiri yang tahu apa kau mencintaiku atau tidak, matamu begitu meyakinkanku bahwa dugaanku benar. Kumohon jangan anggap aku seperti orang bodoh, aku tahu semua itu!" kata Elizabeth sambil memeluknya, "berkasihlah denganku!"
Elizabeth mendekatkan bibirnya ke bibir Darwin. Dia menutupkan matanya dan berniat untuk mencium Darwin. Namun Darwin mendorong pelan bibir itu ke belakangnya dengan telunjuk di tangannya. Sebelum mata Elizabeth terbuka, air mata telah terlebih dahulu membasahi pipinya.
"Maafkan aku, aku tak bisa melakukan semua itu."
***
Lelaki itu berjalan berang dan wajahnya tampak garang. Dia melempar cangkir yang telah habis dia teguk airnya dengan perasaan amat kesal. Segera dia berjalan mecari seseorang yang harus ditemuinya.
Brakk! Pintu terbuka keras. Wajah tampan nan ganas itu muncul dari pintu. Dia menatap sepasang manusia yang tengah terduduk, satu di antaranya tengah membaca lembar buku dan yang lain tengah merenung. Pria itu langsung menarik jubah seorang yang tengah merenung di sana dengan keras. Spontan orang yang ditarik tersebut bangkit dan menatapnya.
"Ada apa Edgar?" tanya suara itu perlahan. Suara yang amat dikenalnya, Darwin.
Brakk! Seketika Darwin terlempar keras saat Edgar mengacungkan tongkatnya di depan dahinya. Darwin menabrak tembok batu yang keras sehingga dindingnya sedikit retak.
"Apa yang kau lakukan, Edgar!" kata Elizabeth melengking keras.
"Apa yang kulakukan? Apa yang telah kalian perbuat padaku!?" kata Edgar kasar. Matanya memerah, ini adalah kali pertamanya dia membentak gadis itu.
"Apa? Apa yang telah kulakukan padamu?!" Elizabeth hampir menangis, menatap Edgar dengan mata yang hampir memanas.
"Kau dan dia! Kau jangan menyangka bahwa aku tak mengetahuinya! Kalian berdua sama-sama pecundang!" jawab Edgar berang.
Elizabeth terpaku dan tak percaya atas apa yang dikatakan Edgar. Darimana Edgar tahu semua itu? Siapa yang memberitahunya? Selama Elizabeth berpikir, Darwin sedikit bangkit dan mencoba menahan darah yang mulai mengucur di hidungnya. Dia menatap Edgar sementara Edgar membalasnya sinis.
"Jika kau dekat-dekat dengan dia lagi, awas saja brengsek!" kata Edgar dan menarik Elizabeth.
Elizabeth menatap Darwin sendu dan segera berjalan dirangkulan Edgar. Sementara Darwin mencegah darahnya yang terus mengalir dari hidungnya agar tidak keluar. Bodoh! Mengapa dia tak melawan? Apa yang sulit untuknya, tinggal habisi saja Edgar. Tapi Edgar sahabatnya, mana mungkin dia menyakiti Edgar.
Darwin berjalan menuju toilet untuk membersihkan wajahnya. Dia membasuh muka dan bercermin di sana. Ada luka di hidungnya dan hidungnya terlihat memerah. Dia hanya menatapnya pasrah dan segera keluar dari ruangan tersebut. Sesaat dia keluar, telihat Nathly datang menghampirinya.
"Hy Darwin! Ada apa denganmu?" tanya Nathly sambil mendekat. Darwin tidak mengerti, kenapa Nathly ada di sana?
"Terbentur tembok," balas Darwin.
"Aku kira terkena tonjokan Edgar, baru saja aku dengar. Tadi kulihat Edgar meminum sesuatu dan melemparkan gelasnya ke sembarang tempat. Aku juga melihat wajah Edgar sedikit garang, bisa jadi dari minuman yang dia minum," ucap Nathly.
Darwin hanya tersenyum kecil dan meninggalkan Nathly. Dia kembali berjalan menuju hotel dan berniat membenamkan diri di kamarnya. Namun sebelum dia sampai, Colin sudah menyuruhnya untuk segera datang ke kantornya. Terpaksa Darwin harus membatalkan niatnya untuk ke hotel.
"Ada apa, Profesor?" tanya Darwin dan duduk di hadapan Colin.
"Aku ingin bertanya beberapa hal, apa kau akan menjawab semua pertanyaanku?" tanya Colin sedikit berbisik.
"Apa yang harus saja jawab, Profesor?"
"Benda. Benda apa yang Kakekmu lindungi saat sebelum kematiannya?" tanya Colin.
"Maafkan saya, Profesor. Saya tak bisa memberitahu anda perihal ini, saya tak tahu apa yang Kakek saya lindungi."
"Jangan berbohong!" ucap Colin kasar dengan nada menekan dan sedikit berdiri dari kursinya. Darwin sedikit terperanjat. "Maaf, aku tahu kau mengetahuinya. Tolong katakan padaku, aku janji tak akan memberitahukannya pada siapa pun," lanjut Colin sedikit lembut.
"Tidak, saya tak bisa. Maaf saya harus pergi," kata Darwin.
Darwin segera berjalan menuju pintu. Namun seketika, darahnya membeku dan mengeras. Darwin tak dapat begerak sedikit pun dan terasa dirantai. Perlahan Colin mendekatinya dan berbisik di telinganya.
"Katakan padaku, atau aku yang akan menyakiti dan mengendalikan darahmu!"
Darwin kaget dan berusaha sebisa mungkin untuk melepaskan diri. Dia berusaha bergerak namun nampak dikunci. Tiba-tiba sebuah ide melayang ke benaknya.
"Coba saja jika kau bisa!" kata Darwin sambil sedikit mengerang.
***
Darwin terjatuh begitu keras di atas tanah berbatu. Teleportasi yang dia gunakan cukup berhasil untuk melarikan diri dari Colin. Akhirnya terkuak juga orang dalam selama ini, kedok Colin ternyata telah terbuka setelah sekian lamanya. Dia tak pernah menyangka bahwa Colin adalah orang yang licik dan begitu pintar menyembunyikan diri.
Darwin bangun dan memeriksa bahunya yang sedikit tergores tanah, dia lalu segera berjalan dan duduk di atas batu. Di sini lah terakhir kalinya dia bertemu orangtuanya, di gua di mana dia masih melihat abu yang menggunduk di sana. Mungkin abu itu bekas teleportasi kedua orangtuanya, dan kini dia mengerti bahwa kemampuan yang dia miliki adalah turunan dari ayah dan ibunya.
Darwin berjalan dan melihat-lihat ke sekitar. Dia melihat lorong tersembunyi di balik batu yang dia duduki. Darwin merasa penasaran dan ingin mengecek dalamnya, lalu dia menggeser batu dan menemukan tangga di sana. Tanpa pikir panjang, dia segera turun dan masuk ke dalamnya. Begitu dia turun, pintu di atasnya otomatis tertutup dan keadaan begitu gelap.Saat dia berpikir bisa menemukan cahaya, tiba-tiba sesuatu bersinar keluar dari tubuhnya, layaknya dia bola lampu yang menyala.
"Bagaimana ini bisa?" katanya takjub menatap tangan dan kakinya yang mulai menyala. Darwin masih heran dan berniat untuk melangkah masuk kembali ke dalam. Setelah berjalan cukup jauh, dia menemukan sebuah pintu dengan gambar telapak tangan di sana. Darwin mencoba menyamakan telapak tangannya dengan gambar tersebut. Lalu dia mendorongnya dan pintu tiba-tiba terbuka.
Darwin kaget dan langsung masuk. Seperti awal, saat dia masuk pintu kembali tertutup. Saat masuk, tulisan pertama kali yang tampak di sana adalah, "Andry Andromeda". Dia kaget setengah mati, apa kah kristal itu ada di sini? Kristal Andromeda?
Darwin segera berlari dan memasuki lorong lebih dalam. Secara mendadak dia terhenti dan menatap sebuah bola mengkilap berwarna biru muda berputar di atas sebuah batu di sana. Bola itu bersinar sangat terang dan memantulkan cahaya keperakan. Darwin segera mendekat dan membisikan sesuatu, secara mendadak bola itu berputar semakin kencang dan tiba-tiba cahayanya redup begitu saja. Itu artinya, dia gagal.
Sementara di tempat lain, terlihat seorang gadis tergantung di atas menara tinggi. Tiga orang yang ada di depan pintu utama tersenyum sinis dan satu di antaranya sedikit ragu. Sementara yang lainnya tengah mengurus semua yang ada di dalam asrama dan Tuan mereka tengah berdiri di depan tiga orang tadi. Ya, dia adalah Lucidad Luxifan. Sementara tiga orang di sana adalah Colin, Nathly dan Edgar. Orang dalam dari semua ini. Memang tadinya Edgar bukanlah salah satu dari mereka, namun ramuan Nathly membuatnya membenci Darwin dan ingin membunuhnya bersama Elizabeth.
"Di mana Elizabeth?" seru seseorang yang tiba-tiba muncul saat keadaan sedang hening. Luxifan tersenyum sinis sambil bertepuk tangan lambat melihat pemuda yang baru datang tersebut.
"Darwin, kita bertemu lagi." Darwin menatapnya, tanda merah di dahinya sangat dikenal olehnya.
"Katakan di mana Elizabeth!" seru Darwin menekan. Luxifan menarik bibir sebelah kirinya ke atas, dia mengacungkan telunjuk ke atas, Darwin menatap ujung telunjuk Luxifan, dan di sana tergantunglah gadis yang dia cari. Darwin langsung melotot dan terpaku, tidak gadis itu..
"Arrgghh!" Darwin menggeram saat sebuah pukulan keras menghantamnya. Dia terjatuh dan Luxifan langsung mengangkat kerah bajunya.
"Di mana bola kristal itu berada?" kata Luxifan dengan wajah garangnya.
"Aku tak akan memberitahukannya padamu!" teriak Darwin kasar.
"Tidak ya? Kalau begitu aku akan membunuhmu!"
"Tak masalah, aku tak takut ancamanmu!" Darwin mengabaikan segala ancaman itu, membuat mata Luxifan melotot kasar.
"Kurang ajar! Argghh!" Luxifan menjetikkan tongkat di atas dahi Darwin. Dengan cepat, Darwin melakukan teleportasi dan langsung berada di atas menara. Dia melepaskan tali Elizabeth dengan cepat dan memasukan Elizabeth ke dalam menara.
"Terima kasih, Darwin."
"Ya, aku harus pergi, aku tak punya banyak waktu," kata Darwin.
Elizabeth mengangguk dan menatap Darwin nanar. Darwin langsung berteleportasi dan pergi ke bawah dengan langsung mengarahkan pukulan ke arah dahi Luxifan dengan keras. Namun, saat dia melemparkan pukulan itu, Edgar melepaskan mantra padanya sehingga dia terpental.
"Edgar, apa yang kau lakukan?" teriak Darwin.
"Bunuh dia Edgar!" kata Luxifan sambil menyentuh dahinya yang kesakitan.
Edgar berjalan menghampiri Darwin yang terjatuh tak berdaya akibat terbentur keras. Edgar mendekatinya dan akan melemparkan kutukan pada Darwin. Darwin beberapa kali memelas pada Edgar, namun Edgar tak menggubrisnya.
"Maaf, aku harus melakukan ini!" Edgar menjentikkan tongkatnya tinggi-tinggi. Darwin tidak bisa melakukan apapun, dia hanya berkata sambil menatapnya nanar.
“Aku bukanlah musuhmu Edgar.”
"ARGGHH!" Darwin menjerit keras saat Edgar melepaskan kutukan itu. Rasanya jantung Darwin diremas sehingga dia amat kesakitan. Darwin tergeletak lemas di atas tanah dan tak bergerak. Dia seperti telah meninggal. Elizabeth langsung terperanjat dan menjatuhkan air mata saat melihat itu. Sementara Edgar tak percaya dengan apa yang dilakukannya.
***
Note : Tulisan ini sudah setahun lebih terbengkalai, dan aku lupa idenya untuk menulis seri selanjutnyaaa >,<

;;

By :
Free Blog Templates