Kamis, 15 Agustus 2013



  • Bab I Grondey Express
    Kereta itu melaju terus ke satu arah di mana ada sebuah sekolah yang memiliki dua ruang yang berbeda. Terpisah oleh sebuah elemen yang tak bisa digambarkan bagaimana bentuk dan rupanya. Walau banyak orang yang tak bisa menyadarinya, tapi kadang ada seseorang yang sadar dengan adanya hal tersebut. Terkadang merasa takut, atau merasa yakin untuk memasuki ruang waktu yang berbeda dimensi. Di sebuah dimensi yang penuh dengan keajaiban. Seperti sebuah kuda terbang yang bisa membawa kita terbang ke mana pun kita ingin. Atau mungkin burung berekor panjang yang paruhnya mirip dengan mulut kuda. Dan mungkin hal-hal aneh lainnya.
    Seperti yang anak itu rasakan, dia sudah bisa tinggal di sana semester lalu. Rasanya sangat senang dan betah bersekolah di sana. Apalagi dikelilingi dengan orang-orang yang dia cintai. Itu semakin membuatnya merasa tenang dan tentram. Walau banyak hal-hal aneh dan jahat yang dia temukan, tapi senyum dari orang-orang tersayangnya tak akan bisa menyaingi ketidaksukaannya terhadap sesuatu. Seperti sesuatu yang terpendam dalam dirinya. Entah mengapa dia sangat membenci hal itu, sesuatu yang sangat mengganggunya.
    "Hy, Darwin. Liburanmu menyenangkan?" tanya Elizabeth sambil duduk di samping Darwin.
    "Yeah, seperti biasa. Ayah dan Ibuku tak pernah mau memanjakanku." ucap Darwin datar.
    "Hahha, mereka memang kejam, ya. Sepertinya aku harus sedikit bersyukur menjadi anak satu-satunya orangtuaku. Walau mereka sedikit cerewet." kata Elizabeth sambil membuka-buka lembar buku yang dia baca. Tak lama datang Dustin dengan setoples coklat berwarna-warni yang sepertinya dia bawa dari rumahnya ketika liburan.
    "Hy, Darwin, Elizabeth." sapa hangat Dustin pada mereka. Darwin melambaikan tangan dan Elizabeth tersenyum.
    "Kau mau coklat. Lihat! Aku bawa banyak, yang kuning rasa mint, yang biru rasa permen karet, yang merah muda rasa stawberi. Kalian mau?" tawarnya pada Darwin dan Elizabeth sambil menunjuk coklat berwarna itu.
    "Aku boleh menambahkan coklatmu, kan, Dustin?" ucap Bert dan Polly sambil mendekati Dustin.
    "Kau pasti akan memasukan permen coklat meledak lagi, kan? Aku merasa geli dengan itu!" ucap Dustin sambil menyembunyikan toples coklatnya. Sementara Polly Marco dan Bert Wilson tertawa-tawa.
    "Hahah, maafkan kami, Dustin. Kami tak bermaksud. Ya, kan?" ucap Polly sambil mengerling ke arah Bert. Bert mengangguk.
    "Awas saja kau! Pelajaran Prof. Lopez aku laporkan!" ancam Dustin sambil pergi ke tempat duduknya.
    Bert tertawa-tawa, sementara Polly hanya berdiri kaku menatap sebal Bert. Dia memang tak bisa naik sapu terbang, tapi setidaknya sahabatnya itu tak menertawakannya.
    "YEAH, ITU LUCU!" ucap Polly sambil berlalu.
    Darwin sedikit tertawa-tawa melihat dua anak paling jail itu. Elizabeth terus memperhatikannya sampai Darwin meliriknya.
    "Ada apa, Elizabeth?"
    "Begini, aku sedang melakukan sebuah uji coba." ucap Elizabeth riang.
    "Wah! Lalu?"
    "Dan aku..."
    "Darwin!" Edgar tiba-tiba datang dan menyela. Elizabeth terlihat kesal.
    "Hay, Edgar." sapanya.
    "Darwin, ini hebat! Kau tahu? Di semester ini akan ada Minimolly." ucap Edgar. Darwin mengernyit.
    "Apa itu Mini...?" tanya Darwin sedikit berfikir. Elizabeth langsung menyerocos.
    "Minimolly adalah makhluk kecil berwarna coklat. Dia kira-kira sebesar bayi usia lima bulan. Mereka memiliki sayap dan mata yang indah. Tubuhnya berbentuk seperti oval. Dia termasuk pembantu para penyihir. Dia adalah makhluk yang baik." ucap Elizabeth panjang lebar menahan nafas Edgar.
    "Mengapa kau menyela? Aku juga tahu apa itu Minimolly." ucap Edgar sinis. "Memang hanya kau saja yang tahu?!" lanjutnya lagi. Elizabeth mendelik, dua-duanya memang egois.
    "Tapi aku harus lebih cepat daripada kau, tahu!" kata Elizabeth tak mau kalah.
    "TERSERAH PADAMU!" Edgar marah dan mendelik berlalu. Dia langsung menuju meja Samantha. Elizabeth menggeram dan duduk keras di atas bangkunya. Wajahnya merah padam. Edgar benar-benar selalu membuatnya kesal.
    "Sudahlah, Elizabeth. Edgar mungkin menyukaimu." tenang Darwin pada Elizabeth. Elizabeth meletakan dua tangannya di wajahnya. Dia seperti menangis.
    "Edgar selalu membuatku sakit hati. Aku amat membencinya." ucap Elizabeth.
    2.Rahasia Elizabeth
    Darwin sedikit gugup ketika Elizabeth menyandarkan kepalanya di pundak Darwin. Dia sungguh tak pandai menilai wanita. Edgar tiba-tiba datang dengan Samantha. Dia kaget melihat Darwin yang canggung dengan Elizabeth di sampingnya.
    "Elizabeth kau kenapa?" tanya Edgar sambil memegang tangannya. Elizabeth menepis tangan Edgar keras lalu pergi berlari sambil menangis.
    "Ada apa dengan dia?" tanya Edgar. Darwin menggeleng pelan.
    Tak lama, Grondey Express tersebut mulai berdecit pelan dan berhenti. Semua anak berlarian keluar menuju sekolah. Sebagian anak-anak Grondey Sihir mulai berhamburan ke tempat-tempat pergantian sekolah mereka. Sebagian juga masih berkeliaran di sekolah tersebut.
    "Kau mau ke Grondey sihir lewat hidung Monalisa lagi?" tanya Edgar.
    "Rasanya aku seperti diputar dan dikocok." keluh Darwin.
    "Kalau begitu, kau ikut bersamaku saja. Ada tempat yang tak akan membuatmu pusing." tawar Edgar sambil merangkul pundak Darwin.
    "Yeah, kita coba dulu." Darwin mengiyakan.
    Mereka mulai berjalan menuju tempat yang dimaksud Edgar. Edgar mulai melirik ke sana-sini. Dia sedikit mengangguk pada Darwin. Darwin mengernyit.
    "Maksudmu?"
    "Kita masuk ke lorong bawah tanah ini. Nanti kita akan bermain selujuran. Asyik deh pokoknya!" ucap Edgar.
    Edgar segera membuka salah satu batu yang ada di sana. Mereka segera masuk ke dalamnya. Batu itu tiba-tiba tertutup dengan sendirinya.
    "Lalu kita bagaimana?" tanya Darwin.
    "Menyelunjurkan diri, oke aku hitung sampai tiga. Satu, dua ti...Arrghhhh!" Edgar sudah berteriak duluan.
    "Ba-gaimana i-ni!" Darwin sedikit tergagap menahan besarnya angin yang mendorong tubuhnya ke bawah lubang batu tersebut.
    "Ka-u bi-bilang tak me-musingkan! I-ni lebih da-ri pu-sing!" teriak Darwin. Sementara Edgar masih berteriak menahan rambutnya yang berkibar-kibar.
    "Ini le-bih lama da-ri hidung Monalisa!" teriak Darwin lagi.
    Edgar masih tetap berteriak. Sementara sebuah lubang yang cukup besar terbuka dan membuat mereka jatuh ke lantai dengan suara 'Brakkk!' keras.
    "Arggh!" geram Darwin.
    "Hahaha, lihat cucu dari Kepala Sekolah kita! Dia datang ke sini dengan menggunakan cara lama yang tidak menakjubkan. Lebih baik kita pakai sihir. Langsung berpindah ke sini, hahahha!" Cole tiba-tiba datang dan langsung mengejek Darwin.
    "Yeah!" ucap Darwin singkat. Darwin lalu bangun dan menarik Edgar.
    "Ayo, Darwin! Kita pergi saja, di sini ada Thom and Jerry dan Tuannya. Aku sangat muak terhadap mereka!" ucap Edgar sinis sambil mendelik.
    *** Dua anak itu tengah bercakap-cakap. Namun hanya satu yang kelihatannya begitu serius dan berbicara panjang lebar. Anak laki-laki dan perempuan. Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Tapi kelihatannya, anak perempuan itu menangis.
    "Sudahlah, Elizabeth!" tenangnya. Elizabeth masih menangis.
    "Aku tak suka, Darwin!" balasnya dengan mata berlinang.
    Tak lama, seorang anak laki-laki yang seumuran dengan mereka datang dan langsung menyapa.
    "Hay, Darwin. Hay, Elizabeth!" sapanya. Darwin tersenyum dan Elizabeth hanya menunduk.
    "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya.
    "Ini rahasia." jawab Elizabeth masih tak menatap Edgar.
    "Jika kau sudah memberitahunya, itu bukan rahasia lagi!" oceh Edgar dengan mata abu-abunya.
    "Ya, ini bukan rahasia lagi di antara aku dan Darwin. Tapi bagimu ini rahasia!" bentak Elizabeth dan langsung pergi.
    "Ada apa lagi dengannya? Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanya Edgar sambil duduk di samping Darwin. Darwin menggeleng pelan. *** "Kepala sekolah sakit keras. Sekarang sekolah dipimpin Prof. Robert. Aku harap dia bisa seperti Prof. William. Dia kepala sekolah yang hebat." ucap Bert serius pada Polly. Darwin hanya menatap mereka dan mencoba menguping. Kakeknya sakit?
    "Darwin, bagaimana keadaan Kakekmu? Aku sangat khawatir. Katanya sih, Kakekmu sakit Roinius. Penyakit itu cuma bisa disembuhkan oleh jamur liar di tengah hutan Scarymus. Hanya ada di sana saja." ucap Elizabeth sedikit murung.
    "Yeah, tapi rasanya jika kita ke sana akan mendapatkan pemotongan poin yang besar." tambah Edgar dengan kilatan matanya.
    "Tapi cara apalagi yang harus kita lakukan agar Kakek Darwin bisa sembuh?" tanya Elizabeth dengan pandangan tajam. Sementara Darwin menenggelamkan tubuhnya di atas kasur dengan wajah resah.
    "Edgar!" seru Elizabeth sambil sedikit berbisik.
    "Apa?" *** Hari ini Darwin nampak tak bersemangat sama sekali. Dia berjalan gontai menuju ruangan ramalan Prof. Robert di ujung koridor. Edgar dan Elizabeth tampak resah juga melihat Darwin.
    "Darwin, Kakekmu pasti dapat disembuhkan." tenang Elizabeth.
    "Prof. Colin bilang ini tak akan berhasil." Darwin berucap murung.
    "Aku pernah membaca di buku tentang penyakit-penyakit. Dan itu ada obatnya, ramuan dari jamur di hutan Scarymus. Hanya saja..." Elizabeth terhenti, dia tak mau meneruskannya.
    "Hanya saja apa?" tanya Darwin masih murung.
    "Ramuan itu harus diselesaikan paling sebentar dua minggu. Jamur itu harus dikeringkan terlebih dahulu sampai berwarna coklat. Karena jamur itu basah dan hidup di air." ucap Elizabeth sedikit murung.
    "Dan Prof. Colin bilang, Kakekku itu hanya punya sisa waktu seminggu." tambah Darwin.
    "Itukan kata Prof. Colin! Itu hanya memprediksi." ucap Edgar dengan kilatan matanya. Darwin masih terdiam. Setelah dia harus kehilangan kedua orangtuanya, apakah dia harus kehilangan Kakeknya juga?
    "Hay Darwin!" seru Prof. Colin ketika mereka sedang berjalan.
    "Profesor, bagaimana keadaan Kakekku?" tanyanya langsung. Prof. Colin tersenyum padanya.
    "Aku akan membuat ramuan terbaik yang bisa menyembuhkannya." ucap Prof. Colin.
    "Aku harap." balas Darwin singkat. *** "Bagaimana PR ramalanmu?" tanya Edgar sambil sedikit melongo ke arah Darwin.
    "Akan kutragis-tragiskan!" ucapnya sambil masih berkutat pada PRnya.
    "Kakekku akan mati lebih cepat, aku akan mendapatkan Minimolly yang cacat, semua nilai ulanganku kurang dari lima, aku akan menabrak pilar dari sapu terbang dan langsung terbang menuju hutan Scarymus dan tak kembali, aku akan terjatuh sebanyak tujuh kali setiap lewat tangga ke tiga belas, percobaan ramuanku nanti, wajahku akan terbakar dan menjadi hitam karena ledakan dari kegagalanku membuat ramuan...,waw! Itu bahkan lebih tragis dari yang pernah aku pikirkan." cerocos Edgar sambil membaca tulisan Darwin dari perkamen panjang itu.
    "Dulu kau bilang, kau mengagumi Prof. Robert. Kenapa jadi begini?" tanya Elizabeth pada Darwin.
    "Aku rasa Prof. Robert adalah penyebab semua ini. Apakah kau pernah berfikir bahwa dia pelakunya? Aku sempat merasakannya, ketika seseorang berkata begini, 'untuk memastikan ramalan itu tidak benar'. Dan aku yakin, siapa lagi peramal di sekolah ini? Dia, kan? Juga, mereka bilang jika mereka membunuhku dan Kakekku, mereka akan menguasai sekolah, siapa lagi? Prof. Robert adalah wakil kepala sekolah, jika Kakekku dan aku meninggal, maka sekolah akan jatuh padanya!" bentak Darwin.
    Elizabeth dan Edgar terpaku. Baru kali ini mereka melihat Darwin marah. Tak biasanya Darwin membentak seperti itu. Darwin menunduk.
    "Maafkan aku," ucapnya.
    "Sudahlah, Darwin! Aku tahu ini sulit untukmu. Kami mengerti, kok," tenang Elizabeth. Seberapa cerewetnya pun dia, Elizabeth adalah orang yang baik dan perhatian.
    "Ya, Darwin. Kita yakin, pasti kita bisa menemukan penawar itu. Jamur liar danau Scarymus." *** Pencarian Penawar Roinius
    Dua anak itu berjalan perlahan ke sebuah ruangan di ujung menara. Pagi-pagi buta begini entah apa yang mereka lakukan. Mereka menemui seorang pria tua berjubah. Mereka sedikit bercakap-cakap. Seperti sesuatu yang amat penting.
    "Jadi jika kita pakai ini akan selamat?" *** "Kalian akan pergi ke mana?" tanya Samantha dengan bola mata indahnya.
    "Kau mau ikut?" tanya Edgar.
    "Aku banyak tugas di sini, aku pergi dulu." ucap Samantha, di balik mereka, dia tersenyum sinis.
    "A-aa!" Darwin tiba-tiba menyentuh rambut hitamnya. Dia sedikit mengerutkan kening menahan sakit.
    "Ada apa, Darwin?" tanya Elizabeth cemas. Darwin menggeleng.
    "Aku hanya merasakan sihir hitam di sini. Anehnya, sekarang kepalaku jadi sakit." ucapnya sambil menggosok mata biru miliknya.
    "Darwin, gawat! Itu menandakan bahwa sihir hitam telah mengancam hidupmu. Mereka akan membunuhmu!" ucap Elizabeth dengan berbisik tajam ke telinga Darwin.
    "Kau menakut-nakutiku lagi?" tanya Darwin menelan ludah. "a-aaa!" geramnya lagi. Elizabeth melotot. Dia langsung menarik Edgar dan Darwin sambil mengacungkan tongkat dan membaca mantra "Move to Forest!"
    Mereka terguncang. Tubuh mereka tiba-tiba tertarik ke sesuatu yang entah bagaimana gambarannya. Tak dapat mereka gambarkan. Tubuhnya seakan terbawa ke sebuah tempat. Seakan pandangan mereka kabur dan hanya putaran yang mereka lihat. Tak lama, tubuh mereka terdorong ke sebuah tempat gelap dan tanah. Tubuh mereka terlempar dengan suara 'brukkk' bersamaan.
    "Arggh!" geram Edgar kesakitan. Darwin menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba melihat dengan jelas. Sementara Elizabeth mencoba bangun dan menepuk-nepuk rok dan jubahnya. Suasana di sana cukup gelap dan senyap.
    "Kita di hutan?" tanya Edgar sedikit gemetaran. Suasananya-hutan Scarymus-memang benar-benar mencekam. Angin berhembus keras ke kulit-kulit mereka. Pohon-pohon menjulang rapat dan begitu tinggi. Suara-suara hewan liar terdengar memecah keheningan. Elizabeth mulai berdiri dan merogoh saku.
    "Makan biji menghilang ini! Ini akan membuat kita tak terlihat oleh semua yang ada di sini, kecuali mereka yang sama-sama makan biji ini. Kira-kira biji ini bertahan selama tiga jam, jadi diusahakan kitak harus sudah menemukan jamur itu satu jam setelah ini." ucap Elizabeth sambil menggigit biji menghilang.
    "Pakai 'Move to School' saja!" ucap Edgar cetek.
    "Kau kira itu gampang? Aku hanya bisa melakukannya sekali dalam seminggu. Itu karena aku belum mahir!" ucapnya.
    Mereka cepat-cepat menelan biji menghilang itu. Lalu segera mereka berlari mencari danau yang letaknya di tengah hutan Scarymus.
    "Kita ada di mana ini?" tanya Darwin dengan jubahnya yang berkibar.
    "Kita ada di satu kilo meter dari ujung hutan. Kita belum jauh dari sekolah. Sementara hutan ini begitu luas. Makanya, kita harus cepat-cepat!" ucap Elizabeth sambil berlari.
    Mereka terus berlari bersama angin hampa yang mengibarkan rambut dan jubah mereka. Terutama Elizabeth, dalam sekejap rambutnya sudah mengembang.
    "Elizabeth, apakah masih jauh?" tanya Edgar buru-buru dengan nafas terengah.
    "Kita harus sampai di tengah hutan dulu, baru itu dekat." balas Elizabeth sambil membenamkan rambutnya.
    "Apakah ada orang lain yang bisa melihat kita selain yang tadi di sebutkan?" tanya Darwin mengerling ke arah Elizabeth.
    "Entahlah! Setahuku mereka yang punya penglihatan gaib yang bisa." jawabnya sedikit berpikir.
    "Penglihatan gaib? Apa maksudnya?" Edgar terlihat sangat penasaran dan bingung.
    "Sudahlah, nanti saja pertanyaannya! Sekarang kita fokuskan ke pekerjaan kita sekarang. Mencari jamur liar danau Scarymus!" teriak Elizabeth. Edgar dan Darwin diam. Mereka mengunci mulutnya rapat-rapat dan kembali berfokus pada jalan di sekitarnya. Walau hutan ini terkesan begitu angker dan mengerikan, tapi tak ada cara lain yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan Kepala Sekolah tambah Kakeknya Darwin.
    "Elizabeth, apakah kau merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Edgar sedikit bergidik. Hati Elizabeth mencelos. Mata Darwin langsung melotot ke arah Edgar.
    "Ya, aku merasa semakin lama semakin gelap." ucap Edgar enteng dan merasa tak enak diperhatikan seperti itu.
    "Lighten!" ucap Elizabeth sambil mengangkat tongkat sihirnya.
    "Lighten!" Darwin meniru ucapan Elizabeth. Dan kini kedua tongkat mereka bercahaya di ujung atasnya.
    "Baiklah, aku juga akan meniru kalian. Lighten! Oh!" Edgar terhuyung. Bukan karena terpeleset atau jatuh, melainkan karena silau tongkatnya bercahaya di bagian bawah.
    "Ya ampun! Sini, biar aku yang buat! Lighten!" ucap Elizabeth. Tongkat mereka bertiga kini sudah bercahaya. Mengingat hutan Scarymus yang begitu gelap dan amat mencekam, mereka memerlukan penerangan. Dan untung saja Elizabeth tahu caranya.
    "Apakah hari sudah gelap?" tanya Edgar bergidik lagi. Dia memang kelihatan sangat takut dan berdebar-debar.
    "Tenanglah, Edgar! Kita baru berlari sekitar tiga puluh menit. Dan kurasa, sudah sebentar lagi." tenang Elizabeth masih sambil berlari.
    "Kita tak akan ketinggalan pelajaran, kan?" tanya Edgar dengan pandangan liar.
    "Ini akhir pekan, libur, bodoh!" geram Elizabeth pada kata akhir. Dia sudah sedikit muak pada Edgar yang amat ketakutan.
    "Aku sudah capai!" ujar Edgar sambil terhenti. Nafasnya pendek-pendek dan keringatnya bercucuran.
    "Kita harus cepat!" ucap Elizabeth.
    "Elizabeth, sebaiknya kita istirahat dulu selama beberapa menit. Aku sendiri sudah lelah, kita bisa duduk dulu selama tiga menit, atau lima." ujar Darwin yang ikut terengah-engah dan duduk di samping Edgar. Elizabeth menurut, dia ikut duduk di samping mereka.
    "Andai ada air..." keluh Edgar sambil mengusap kepalanya. Elizabeth memandang ke lain arah. Lalu dia menyondorkan sapu tangan dan sebotol air minum pada Edgar.
    "Thanks." ucapnya singkat. Edgar lalu menerima pemberian Elizabeth dan langsung meneguk air.
    "Ya, tak masalah." balas Elizabeth lambat.
    "Darwin, kau mau minum?" tanya Elizabeth pada Darwin.
    "Aku belum haus." ucap Darwin. Elizabeth pun mengeluarkan sebotol penuh air lagi. Dia minum sampai separuh airnya habis. Dia memang sudah membawa beberapa botol air untuk diminum.
    Mereka bertiga kembali berdiri. Edgar kelihatannya sudah sedikit lega dan tak terlalu capai. Begitu pun Darwin dan Elizabeth. Mereka sudah siap untuk berangkat lagi.
    "Baiklah, karena sekarang kita dikejar-kejar waktu, aku tak bisa menunggu lama lagi. Perjalanan kita menuju danau hanya tinggal setengah jam lagi. Kita mungkin sedikit kesulitan mendapatkan jamurnya nanti, apalagi di dalam air. Jadi aku harap, kita bisa cepat!" ucap Elizabeth pada Darwin dan Edgar. Mereka berdua mengangguk dan kembali berlari mengikuti Elizabeth dari belakang.
    Selama perjalanan ini, mereka tak sama sekali mendapat gangguan dari para makhluk berbahaya di hutan Scarymus. Mereka tak sama sekali melihat ada tanda-tanda makhluk hidup di sana. Mereka juga tak sama sekali melihat tanda bahaya. Atau mungkin, memang mereka tak tahu adanya meberadaan mereka.
    Lima belas menit berlalu, mereka masih berlari mengintari belantara hutan yang banyak orang menganggapnya sebagai hutan yang paling menakutkan. Seperti yang orang-orang bicarakan, hutan itu sangat misterius. Tak ada orang yang tahu persis bagaimana hutan tersebut. Namun, karena telah adanya tiga orang korban yang memasuki hutan tersebut dan tak pernah kembali, hutan itu menjadi sangat buruk. Hutan tersebut juga mendapatkan nama 'Scary', yang berarti mengerikan. Walau sebagian juga tak percaya akan sesuatu yang ajaib bisa terjadi di sana-hutan Scarymus-, tapi mereka tak pernah berani masuk seperti anak-anak ini-Darwin, Edgar dan Elizabeth-.
    "Darwin!" Elizabeth tiba-tiba terhenti dan membentangkan kedua tangannya mencegah Edgar dan Darwin berlari.
    "Aku rasa, kita sudah beberapa kali lewat ke sini. Sepertinya ada yang tidak beres dengan hutan ini. Dan aku juga merasa, ini adalah tempat kita tadi berhenti." gumam Elizabeth sedikit berbisik. Dalam nada bicaranya, tersimpan berjuta-juta misteri.
    "Aku-aku juga merasa seperti itu," ucap Edgar sedikit gelagapan. Hati mereka bertiga mencelos, pandangan mereka liar dan sangat waspada.
    "Aku rasa, ada seseorang yang tengah mempermainkan kita!" Darwin terlihat sedikit histeris. Mereka bertiga berputar memandang sekeliling. Masih tetap waspada dan sangat berhati-hati.
    'Krsk! Krsk!' sebuah suara dari balik semak-semak muncul. Edgar langsung memelototkan matanya dan lebih berwaspada.
    "Suara apa itu?" bisik Edgar.
    Pertaruhan Nyawa di Dalam Hutan
    Darwin dan Elizabeth memandang setiap semak belukar yang ada di sekitar mereka dengan pandangan waspada. Sementara Edgar terlihat gemetaran dan takut. Giginya sedikit bergertakan dan bertabrakan. Beberapa detik, hening.
    "Lihat, tidak ada apa-apa, kan?" Elizabeth berkata dan berbalik ke arah lain.
    "Aku sudah bilang, tidak adArgggghhhhh!"
    "Elizabeth!" Edgar menjerit dan hendak berlari menuju monster yang mengangkat Elizabeth. Namun Darwin mencegahnya.
    "Tidak, Edgar! Jika kita melawan makhluk itu, kita akan kalah! Kita tak punya cukup tenaga dan cukup ilmu!" ucap Darwin.
    "Lalu kita harus bagaimana?" tanya Edgar cepat. Darwin menatap sekeliling. Dia menatap Elizabeth yang tengah menjerit dan meronta-ronta minta dilepaskan. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah danau yang berada sekitar dua puluh meter di sekitar mereka. Dan Darwin tahu, itu pasti danau yang mereka tuju.
    "Edgar, kita akan menjebaknya! Kau lihat danau di sana? Dan aku yakin, itu pasti danau yang kita maksud. Sekarang kita alihkan dia untuk mengejar kita. Kita berlari ke danau, aku yakin, makhluk besar buas dan jelek itu pasti akan mengikuti kita ke mana pun. Kita meluncur ke sana, kau menyelamatkan Elizabeth, sementara aku mencari jamur. Kau mengerti, kan?" ucap Darwin terperinci.
    "Yeah,"
    "Mari kita kecoh dia sekarang!" ucap Darwin lagi.
    "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Edgar kebingungan.
    "Ambil saja batu dan lempari dia. Aku tak yakin mantera Ordinggo makhluk itu bisa menghancurkannya." ucap Darwin.
    Mereka berdua sudah menggenggam beberapa gelintir batu di tangannya. Dan batu tersebut sudah siap untuk dilemparkan pada makhluk jahat yang tengah mengangkat-angkat Elizabeth.
    "Turunkan aku! Turun! Teman-teman! Edgar! Darwin! Bantu aku!" jerit Elizabeth.
    "Ayo, tembak!" teriak Darwin sambil meluncurkan sebuah batu yang cukup besar ke arah makhluk hijau raksasa itu. Begitu juga Edgar, dia ikut melempari makhluk besar itu dengan batu.
    "Argghh!" geram makhluk itu. Terlihat makhluk itu mendelik dan menatap Darwin dengan Edgar. Darwin dan Edgar saling bertatapan.
    "Kita harus LARIIIIII!" teriak Edgar.
    Dengan cepat, mereka berdua-Edgar dan Darwin-bergerak menjauh berlari dan berteriak-teriak.
    "Argghh! Argghhh!" teriak Darwin dan Edgar sambil berlari menuju danau.
    "Aaaaa! Aaaa!" jerit Elizabeth keras. Dia merasa diguncangkan keras sampai jantungnya copot. Dia takut jatuh, dia takut ketinggian.
    "Menyelam!" teriak Darwin sambil meluncur ke dalam danau. Edgar ikut meluncur, begitupun makhluk raksasa itu.
    'Blukkk!' suara raksasa itu masuk ke dalam danau dan membuat air meluap. Darwin segera berenang dan mencari jamur yang dimaksud mereka. Jamur liar yang berwarna coklat. Jamur liar, pasti jamur itu banyak.
    Darwin terus mencari-cari jamur yang dia maksud. Sementara Edgar mencoba untuk menyelamatkan Elizabeth. Kedua-duanya merasa sedikit sesak. Tentu saja, mereka tak bernafas dengan insang.
    "Mana-mana?" ucap Darwin. Dia berucap sendiri, tak ada suara dari tenggorokannya. Yang ada hanya air danau yang tertelannya.
    Selama beberapa detik mencari, akhirnya dia menemukan beberapa helai jamur yang tengah berada di sana. Warnanya putih, bukan coklat. Coklat jika mereka sudah mengering.
    Darwin segera mencabuti beberapa jamur liar itu. Untuk berjaga-jaga, dia mengambil sebanyak-banyak dan semampunya yang dia bisa. Setelah itu, dia langsung pergi ke atas untuk menyimpan jamur dan sedikit bernafas.
    "Ahh!" desahnya. Dia merasa sangat lega ketika sampai di atas.
    Dengan segera, dia langsung ke bawah lagi untuk menyelamatkan Edgar dan Elizabeth yang kelihatannya kesulitan dalam melawan makhluk buas itu.
    Dia menyelam semakin dalam. Namun tak dilihatnya Edgar dan Elizabeth. Dia semakin dalam berenang, namun kakinya malah terasa ditarik ke bawah.
    "Edgar!" ucapnya dalam senyap.
    Darwin langsung membawa Edgar dan berenang ke atas. Sesampainya di atas, dia langsung bertanya pada Edgar.
    "Di mana Elizabeth?"
    "Dia dibawa makhluk itu. Namanya Troll. Makhluk pemakan dan penculik manusia. Dia dibawa ke bawah. Tapi aku yakin, Troll itu tidak membawa dia, melainkan tenggelam. Coba kau pikirkan, betapa dalamnya danau itu!" ucap Edgar terengah-engah.
    "Baiklah! Kau tetap di sini, aku akan coba menyelamatkan Elizabeth, ya?" ucap Darwin. Edgar mengangguk lelah. Dia langsung berbaring ketika Darwin lenyap dari matanya.
    Di dalam danau, Darwin terus mencari-cari Elizabeth yang kelihatannya telah tenggelam bersama Troll itu.
    Sekitar lima meter dia menyelam, dia melihat Elizabeth yang tersangkut di bebatuan. Darwin langsung saja tak banyak berpikir. Dia dengan sekaligus mengangkat Elizabeth untuk segera ke atas. Elizabeth dalam keadaan pingsan. Pastinya terlalu lama di dalam air. Darwin berharap dia baik-baik saja.
    Tak butuh waktu lama, dia sudah hampir ada di atas. Dia mendorong tubuh Elizabeth ke daratan dibantu dengan Edgar. Ketika diangkat, Elizabeth langsung sadar dan menggosok matanya.
    "Oh, Darwin! Terimakasih!" ucap Elizabeth.
    "Makasih," Edgar menambahkan. Darwin tersenyum, begitu pun Elizabeth dan Edgar. Mereka segera berdiri untuk siap-siap berlari. Namun tiba-tiba saja Darwin memegang dadanya sambil menggeram.
    "Arghhh!" gerangnya sambil mengernyitkan dahi dan menyipitkan matanya menahan sakit.
    "Darwin!" teriak Elizabeth ketika melihat Darwin menahan nyeri sambil mengerang.
    "Darwin! Ada apa?!" Edgar tampak kaget dan langsung berlari menuju Darwin.
    "Hhhh! Aku melihat seseorang!" ucap Darwin dengan nafas tersendat.
    "Dia, dia sedang membicarakan kita!" ucapnya. Darwin memejamkan matanya. Dia merasa tuli dalam waktu yang dekat.
    "Sashamasa, kita tahu anak itu sedang menyelamatkan Kepala Sekolah, kau tahu? Dia cucunya!" ucap seorang gadis dengan suara mengancam.
    "Aku tahu, Liera. Aku akan berusaha mencegahnya! Kita tahu, di sekolah ini kita tak akan bisa membunuhnya, aku sudah mengirimkan Troll! Dia bisa melawannya!" ucap sebuah suara parau dan dingin dari sana.
    "Sashamasa! Bagaimana pun juga, kita tak akan membiarkan ramalan itu benar! Kau tahu apa yang akan terjadi bila benar? Kita akan hancur! Dan aku harus menepati janjiku pada Tuanmu! Aku tak mau berubah lagi!" ucap suara wanita berkerudung hitam. Darwin dapat melihat mata wanita itu. Mata hijau yang berkilau.
    "Aku juga sama, Liera! Mari kita cari cara bersama-sama untuk menghancurkan anak itu! Keluarga itu! Dan seluruh sekolah!"
    "Hhah!" Darwin mendesah.
    Dia tiba-tiba sadar dan sedang berdiri. Dia sadar, Edgar dan Elizabeth sedang mencoba menyangganya. Dia pingsan.
    "Aku bisa sendiri teman-teman!" ucap Darwin melepaskan tangan Edgar dan Elizabeth.
    "Darwin! Kau sudah sadar?" tanya Elizabeth cepat.
    "Yeah, kelihatannya." ucapnya sambil sedikit menggeleng.
    "Apa ada yang kau lihat?" tanya Edgar masih sambil berlari.
    "Ada, seseorang bermata hijau berkilau dan pria bersuara dingin."
    "Samantha!" teriak Elizabeth. Edgar dan Darwin mengernyit.
    "Samantha bermata hijau!"
    "Hitam!" teriak Edgar.
    "Tunggu, rasanya ada yang aneh. Waktu pertama kali kau dan Elizabeth bertengkar, Elizabeth bilang bahwa Samantha bermata hijau, dan ketika kau bilang padaku, bahwa Samantha adalah gadis tercantik dengan mata hitam yang pernah kautemui." ucap Darwin. Edgar dan Elizabeth bertatapan.
    "Aku yakin, ada yang tidak beres dengan Samantha!" Darwin berucap penuh kata misterius. *** Mereka terus berlari menuju sekolah. Perjalanan hari ini dirasa terlalu panjang bagi mereka. Padahal, perjalanan mereka kira-kira baru seratus lima puluh menitan. Walau begitu, serasa mereka telah berlari selama sehari penuh.
    "Oke, sekarang kita sudah ada di tepi hutan. Kita hampir sampai di sekolah. Kalian berdua, pergi ke gedung sekolah. Sementara aku di sini akan ke rumah sakit dan membuat ramuan untuk Kakekmu. Aku yakin, aku bisa menangkal racun dala tubuh Kakekmu."
    "Terimakasih, Elizabeth. Aku tak tahu harus berkata apa." ucap Darwin sedikit lega.
    "Aku tahu, aku tak bisa memprediksikan ini akan berhasil, tapi aku yakin. Aku pasti bisa melakukannya. Oke, aku akan di sini menyelesaikan ramuan."
    "Kau tahu resepnya?" tanya Edgar melotot.
    "Tenang, ada di buku!" ucap Elizabeth sambil mengerling.
    Darwin dan Edgar pun langsung berlari menuju gedung sekolah. Elizabeth masih di tepi hutan menyelesaikan ramuan. Darwin dan Edgar perlahan membuka pintu utama menuju asrama. Dan terlihat, Samantha tengah berdiri di depan pintu. Matanya hijau berkilau. Dia memakai jubah hitam panjang.
    "Tidak!" ucap Darwin sedikit mundur. Samantha mengernyit.
    "Ada apa, Darwin?" tanya Samantha berpura-pura tak tahu.
    "Aku tahu dia pasti akan berpura-pura bodoh!" geram Darwin garang.
    "Apa maksudnya, Edgar?" tanya Samantha tak berdosa.
    "Gromstandict!"
    Darwin menujukan tongkatnya ke arah Samantha. Dan Samantha terlempar kebelakang. Edgar sedikit mundur melihat Darwin yang kelihatannya sangat berang.
    "Ow, ow! Rupanya pangeran baru kita sudah tahu siapa aku! Ya! Aku adalah penyihir hitam! Dan aku yang meracuni Albert! Aku! Hahhaha!" teriaknya bersamaan dengan tawa yang menggelegar. Edgar tampak mundur dan bergetaran serta menelan ludah. Dia tampak gemetaran dan takut melihat semua ini.
    "Edgar! Kau harus cepat membantunya! Aku harus pergi ke Rumah Sakit, kau harus tenang! Beritahu Darwin, dia harus menggunakan mantra Farobuckshent!" ucap Elizabeth tiba-tiba dan langsung berlari.
    "Ehh tunggu! Elizabeth! Faro apa? Farobaktet, Farobindent? Argghhh! Faro apa?"
    Sementara Elizabeth, dia mengendap-endap masuk menuju ujung menara RS. Karena di sanalah Prof. William dirawat. Perlahan, dia melihat sesuatu dari celah pintu. Matanya sedikit melotot. Dia mulai mencampurkan sesuatu pada tabung reaksinya. Lalu menuangkannya pada tabung reaksi yang lain. Dia membuka pintu perlahan. Terdengar decitan pintu yang hendak terbuka. Elizabeth mulai melongo sedikit ke sana.
    "Tidak ada siapa-siapa disinAaaaaaaa!"
    Dia berteriak. Tabung reaksinya jatuh dengan suara 'brakk' di lantai dan mengeluarkan banyak asap. Elizabeth langsung berlari ke dekat kasur tempat Prof. William terbaring. Dia benar-benar terlonjak kaget ketika melihat seorang pria berjubah hitam. Dia tak tahu siapa, wajah orang itu tak terlihat.
    "Kau mau apa, anak kecil?"
    "Aaaaaaa!"
    4. Lahirnya Pangeran Baru
    Diraihnya Elizabeth dan disimpannya di atas pundaknya. Dia-pria berjubah-itu membawa Elizabeth keluar ruangan. Dia memiliki suara dingin dan serak persis seperti orang yang Darwin katakan.
    "Liera, aku sudah bawa pecundang ini!" ucap suara dingin dan serak itu.
    "Hahaha, bagus Sashamasa! Bawa dia beserta anak tak berguna itu! Dan kunci mereka berdua seperti anak-anak lain!" ucap Samantha sambil menunjuk ke arah Edgar. Edgar melotot kaget sambil mundur dan berteriak-teriak.
    "Argghh! Arrgghh!"
    "Darwin! Pakai mantra Farobuckshent!" teriak Elizabeth ketika mereka akan dibawa ke dalam asrama.
    "Farobuckshent!" teriak Darwin dengan mengacungkan tongkatnya ke arah Samantha. Terlihat sebuah cahaya merah berkilau akan menerpa Samantha. Samantha mengacungkan tongkatnya juga untuk mencegah mantra Darwin. Dan kini cahaya hitam muncul dari tongkat Samantha. Mereka berdua terlihat sedang menahan mantra masing-masing agar tidak gagal dan mantra lain menerpanya.
    "Argggh! Farobuckshent!" Darwin berteriak sambil mengangkatkan lagi tongkatnya dengan seluruh sisa tenaganya.
    "Tidak!" Samantha menjerit dan cahaya merah itu semakin menuju ke arahnya. Darwin terpental. Begitu juga Samantha. Namun sinar merah berkilau milik Darwin melaju cepat ke arah Samantha. Dan tiba-tiba meledak bagaikan kembang api. Cahayanya berkilauan di langit membuat mata Darwin menjadi silau. Dia menyipitkan mata dan meletakan tangan kirinya di depannya. Tak lama, semua murid dan seluruh warga Grondey keluar dari dalam asrama. Begitu juga Prof. William. Dia tampak sehat seperti biasanya. Semuanya memandang Darwin. Dia juga melihat Samantha berubah drastis. Kulitnya yang kencang menjadi keriput. Warna kulitnya yang putih menjadi sawo matang. Dan rambut hitamnya yang indah menjadi kering dan kusam. Wajahnya yang cantik kini jadi buruk rupa dan penuh luka-luka. Dia menjerit-jerit melihat tubuhnya yang kembali seperti awal.
    "Tidak! Tidak! Wajahku! Tubuhku yang mulus! Wajah cantikku! Tidakkk!" jeritnya dan langsung menghilang seketika.
    Saat itu juga, semua mata terpandang ke arah Darwin. Dan Edgar juga Elizabeth segera menyambarnya dari balik kepala yang berdesak-desakan di sana.
    "Darwin kau luar biasa!" teriak Elizabeth sambil memeluk dan menjabat tangannya.
    "Waw, Darwin! Aku tak pernah melihat sesuatu seperti itu. Amazing!" ucap Edgar sambil menepuk punggungnya.
    "Itu keren banget, Win! Dari mana belajarnya?" tanya Bert langsung dengan Polly.
    "Waw! Paling keren itu pas kembang apinya!" timpal Polly sambil menjabat-jabat tangan Darwin.
    Darwin hanya bisa tersenyum melihat mereka yang datang dan memuji-muji Darwin. Dia memang telah melakukannya. Tapi tak sendirian, dengan Elizabeth juga Edgar.
    "Edgar, Elizabeth. Mereka yang udah selametin kita." kata Darwin sambil mengerling ke arah Edgar dan Elizabeth. *** Desas-desus dan kabar kemenangan Darwin bersama dua rekannya kian menyebar luas. Bukan hanya di Grondey Day saja kabar itu muncul. Melainkan di seluruh koran di dunia itu. Julukan Pangeran Baru yang didapat Darwin saat itu membuatnya lebih tenar lagi. Begitu juga Edgar dan Elizabeth. Semua murid meminta menceritakan kisah yang terperincinya ketika mereka selamat dari hutan Scarymus.
    "Aku pergi ke sana bersama Darwin dan Elizabeth. Memakan biji menghilang! Kalian tahu, tak? Hutan Scarymus itu sangat menakutkan! Gelap dan senyap. Kita juga melawan Troll. Dia menangkap Elizabeth, dan kami mengecohnya. Itu sangat seru!" ucap Edgar ketika seluruh kelasnya mempertanyakan bagaimana petualangan seru mendapatkan jamur liar di hutan Scarymus itu.
    "Darwin, aku dengar kelas dan hotel kita kini jadi yang terbaik. Bukan Agreniaclass lagi. Tapi Drawsenclass." ucap Elizabeth senang ketika Darwin sedang sibuk memakan coklatnya.
    "Benarkah? Waw! Kita telah mengalahkan Cole dan Thom Jerrynya." gumam Darwin bahagia juga.
    "Edgar!" panggil Darwin.
    "Ya?"
    "Aku ingin berbagi rahasia padamu!" ucapnya setengah berbisik.
    "Apa?"
    "Rahasia Elizabeth!" katanya. Edgar langsung penasaran dan berjalan ke pojok bersama Darwin.
    "Waktu dia menangis, dia bilang dia tak suka terus dipaksa oleh guru Mantra kita. Prof. Greture. Dia bilang, Prof. Greture terus memaksanya belajar dua kali lebih lama. Dia sendirian, kata Prof. Greture, dia pintar. Namun dia tak suka, makanya dia menangis. Kau tahu, kan? Wajah Prof. Greture itu sangat bengis." kata Darwin menahan tawa.
    "Dan satu lagi rahasia Elizabeth yang ada padaku, dia memberitahu nama asli Samantha. Liera Samantha Fransisco. Oh! Aku menyesal menyukai wanita tua!" kelakar Edgar.
    "Hahah! Mereka wanita, aku tak mengerti wanita." kata Darwin dengan membagi sepotong coklatnya pada Edgar.
    "Ya, seperti Ibuku yang cerewet. Aku tak mengerti dia!"
    -SEKIAN-

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates