Rabu, 28 Oktober 2015
“Dunia. Satu kata yang
membuatku kebingungan. Aku tak pernah mengerti, mengapa Tuhan menciptakan
dunia? Apa hikmah yang ada jika Tuhan menciptakan dunia? Apakah Tuhan merasa
kesepian sehingga Dia menciptakan Dunia? Atau apa? Entahlah. Sekian lama aku mencari
jawabannya, namun tak pernah ku temukan. Mungkin hanya Tuhanlah yang bisa
menjawabnya. Bagaimana pun juga, pasti akan ada suatu hikmah di balik
penciptaan dunia.”
“Bukk!”
Ku tutup buku diaryku
perlahan. Kutatap ekosistem langit yang begitu indah. Cahaya gemerlap bintang
malam ini tak seperti biasanya. Angin malam mengalun lembut seirama detak
nadiku. Sinar rembulan memancar terang seolah menghangatkan tubuhku. Sejenak,
kututup mata ini dan mencoba meresapi keadaan. Mencoba hanyut dengan segala pemandangan
saat ini. Mencoba ikut larut dengan angan-anganku.
Sambil merangkul buku
diaryku, masih kuresapi takdir ini. Takdir yang tak pernah aku mengerti
sama sekali. Hmm, mengapa banyak yang tak pernah ku mengerti? Andai aku lebih
tahu, mungkin aku bisa sedikit mengerti takdirku. Takdir tentang mengapa aku
dilahirkan sendirian? Takdir tentang mengapa aku selalu kesepian? Tapi, ada
seseorang yang seolah memberi sinyal padaku bahwa aku hidup tak sendirian.
Entah di mana dan siapa orang itu? Setiap kali aku ingin berterima kasih dan
bertanya padanya, dia selalu tak ada. Entah dia ke mana. Tapi yang jelas dia
sangat baik terhadapku.
—
“Zahra!” Teriak seorang
gadis padaku. Suaranya sangat tak asing di telingaku. Akupun hanya memalingkan
pandangan dan menyunggingkan seulas senyum padanya.
“Hai Arin” Ucapku sambil
melambaikan tangan kiriku padanya dan merangkul buku dengan tangan kananku.
“Bagaimana, apakah kau
sudah menemukan orang itu?”
“Entahlah. Dia sulit untuk
kucari.” Jawabku sambil berjalan menuju kelas dengannya. Mulutnya pun hanya
membuat huruf o. Aku sekedar mengangguk saja.
“Eh, omong-omong dia
menghilang berapa lama?”
“Seingatku enam bulan yang
lalu dia datang. Dia memberikanku sebuah tas dan sepasang sepatu untukku. Entah
apa maksudnya? Waktu kemarin, dia memberikanku sebuah diary.” Ucapku. Arinpun
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kau tahu tak? Aku sangat
iri padamu. Kau punya seorang penggemar.” Ucapnya sedikit menyenggol pundakku.
Aku tersenyum simpul padanya.
“Aku sangat penasaran
dengan orang itu. Aku rasa, dia adalah seorang lelaki.”
“Kau yakin? Bagaimana kau
bisa tahu?” Tanya dia. Akupun sekedar mengangkat pundakku.
—
“Kembali pada dia.
Seseorang yang entah siapa dan di mana dia? Seseorang yang selalu membuatku
heran. Aku tak tahu, mengapa dia melakukan ini padaku? Seingatku, tak pernah
ada orang sebaik dia padaku. Dia sangat perhatian padaku. Entah ada niat apa di
balik semuanya? Entah ada hal apa yang membuatnya selalu memberikan hadiah
padaku? Entahlah?”
Ku sandarkan kepalaku di
sandaran kursi. Ku pikirkan bagaimana sosok pengirim hadiah itu? Apakah dia
benar-benar baik seperti apa yang aku pikirkan? Apakah dia benar-benar tulus
memberi hadiah-hadiah itu untukku? Tak adakah niat lain selain itu? Hmm, satu
kata untuk semua pertanyaan itu. Entahlah!
“Tok, tok, tok!” Tiba-tiba
terdengar suara orang mengetuk pintuku.
“Siapa malam-malam begini
datang ke rumahku?” Batinku.
Segera, ku lajukan kakiku
menuju pintu masuk. Perlahan, dernyit pintu yang dibuka terdengar pelan.
Sampai pintu terbuka sempurna, tak ku lihat seorangpun berdiri di depan pintu.
Yang ada, hanya sebuah kotak yang entah berisikan apa.
Segera, ku panggul kotak
itu masuk ke dalam rumahku. Sedikit berat. Ku tutup pintu menahan angin malam
yang sudah berdesakan masuk ke dalam rumahku. Ku buka isi kotak tersebut.
Betapa terkejutnya aku melihat apa yang ada di sana.
“Laptop?” Ucapku tak
percaya. Ya, isi kotak itu adalah sebuah laptop. Hal yang selalu aku inginkan.
“Tapi, mengapa dia bisa
tahu aku menginginkan ini?” Batinku. Biarlah.
—
“Wah! Dia pasti orang
kaya, Zahra!” Gumam Arin. Aku masih tetap berfokus pada buku fisikaku dan
mengabaikan Arin. Hari ini memang ada ulangan.
“Eh, kau tahu sesuatu
tak?”
“Apa?” Tanyaku sambil
masih berkutat pada buku fisikaku.
“Kau tahu Reza kelas
sebelah?” Tanya dia. Aku hanya menggeleng pelan. Reza? Kelas sebelah? Entahlah?
“Dia sering
memperhatikanmu. Bisa saja dia yang selalu memberikanmu hadiah-hadiah itu. Dia
orang kaya” Ucapnya. Akupun sedikit berfikir. Masuk akalkah apa yang dikatakan
Arin?
“Aku tak yakin. Bagaimana
kau bisa tahu dia ada di sini?”
“Bila bukan di sini di
mana? Pasti pengirim hadiah-hadiah itu ada di dekatmu. Bagaimana mungkin dia
jauh?”
“Berfikirlah benar, Arin.
Itu tak masuk akal. Dia bukan pengirim itu.” Ucapku sambil menutup buku fisikaku.
Arinpun hanya menarik
nafas saja. Ku niatkan untuk pergi ke perpustakaan. Aku memang tak terlalu suka
untuk membuang-buang waktu seperti ini. Apalagi untuk membicarakan hal-hal yang
tak penting.
“Zahra! Zahra! Kau mau ke
mana?”
“Aku akan pergi ke perpus!”
Aku pun berjalan menuju ke
perpustakaan. Hanya beberapa langkah lagi aku sampai di sana. Memang tak
terlalu jauh dari tempat ku berdiri tadi.
Segera ku masuk ke sana.
Suasana perpustakaan hari ini sepi sekali. Mungkin hanya beberapa gelintir
orang yang ada di sini. Ya, beberapa gelintir.
“Hay!”
Seseorang tiba-tiba
menyapaku. Aku pun menoleh ke arahnya.
“Hay, ” Balasku.
Diapun berdiri di
sampingku sambil menatapku.
“Kau baru di sini?”
Tanyanya.
“Tidak juga. Kau mungkin
baru melihatku.” Ucapku tak menatapnya.
“Namaku Radit.” Dia
berucap sambil memilah buku yang akan dia baca.
Aku tersenyum simpul
melihatnya.
“Zahra. Namaku Zahra.”
Dia menatapku. Dia
tersenyum. Waw, dia manis sekali. Satu sunggingan senyum darinya sungguh
menawan.
“Dari kelas mana kau?”
“Aku 2 Ipa 2.” Ucapnya.
“Eh, ditinggal dulu, ya.
Aku mau ketemu temen. Ketemu lagi, ya.” Lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk dan
tersenyum. Dia memang lucu. Baru kali ini aku melihatnya. Rasanya sangat nyaman
melihat dan memandangnya. Entah hal apa ini. Apakah aku jatuh cinta pada
pandangan pertama? Ahh… Zahra, ada-ada saja kau. Harus ku tepis jauh-jauh
pemikiran itu. Sungguh aneh sekali.
“Plukk..”
Sebuah buku tiba-tiba saja
terjatuh dari tempatnya.
Segera ku punguti buku itu
dan melihatnya. Ku periksa setiap sudut buku ini. Sederhana.
“Plukk…”
Lagi-lagi kertas dalam
buku itu terjatuh lagi. Ahhh, mengapa buku ini begitu rapuh?
Kuambil selembar kertas
usang itu. Kulihat dan kuraba. Kertas ini benar-benar sudah usang. Kubaca
perlahan untaian huruf yang ada di sana.
“Aku tak tahu mengapa ini
bisa terjadi padaku. Sesuatu yang sangat tak aku mengerti sama sekali. Di saat
aku bertemu dengannya, aku sangat merasa…”
Ku hentikan bacaanku
sampai di sana. Lembaran ini seperti dalam buku harian. Iya. Apakah buku ini
buku harian juga, ya? Ku pinjam saja buku ini.
—
“Apakah buku ini adalah
sebuah buku harian, ya? Siapa pemiliknya? Mengapa bisa ada di perpustakaan?”
Aku terus berfikir tentang
buku yang kini sedang ku genggam. Rasanya aneh jika ada seseorang yang menyimpan
buku hariannya di perpustakaan. Apalagi buku harian ini sudah usang. Ada-ada
saja orang yang seperti ini.
Aku pun mulai membuka
halaman pertama dari buku tersebut. Terlalu banyak debu.
“Saat dia turun dari bus,
saat pertama kali aku melihatnya. Dia sungguh mempesona. Aku baru melihat
seseorang seperti dia. Apakah yang menawan dari sosoknya, ya? Entahlah. Dia
sungguh membuatku terlena.”
Ternyata buku ini
menceritakan seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Hahah, lucu.
Sepertinya seru sekali.
“Sudah dua bulan aku
menyimpan perasaan ini. Namun tak ada sedikit pun keberanian dari hatiku untuk
menghampiri dan menanyainya. Entah mengapa setiap aku melihatnya, aku selalu
merasa tak pantas di dekatnya. Dia sungguh terlalu sempurna untukku. Aku selalu
bisa melihatnya dari jauh. Memperhatikan setiap gerik gemulainya. Memperhatikan
setiap canda dan tingkah anehnya. Dia sungguh lucu. Dia sungguh bisa membuatku
tertawa. Ya. Tertawa sendirian. Andai saja kau bisa melihat kehadiranku. Pasti semuanya
tak akan ku rasakan sendirian. Biarlah, bersamaan tawa dan senyummu, aku bisa
merasa tenang dan merasa senang.”
“Satu tahun aku
mencintaimu. Ya. Cinta abadi di dalam hatiku. Entah kapan aku sampai di ujung
jalan cinta ini. Aku ingin segera sampai dan menjalin cinta denganmu. Hahah,
aku sungguh naif. Bagaimana bisa kita menjalin cinta, sementara kita tak sama
sekali mengenal satu sama lain. Hahah, aku sungguh gila. Hey kau yang ada di
hatiku, mengertikah kau? Tahukah bahwa ada seseorang yang telah mencintaimu selama
setahun ini? Mengapa kau tak menyadarinya? Hahah, tentu saja. Bagaimana bisa
kau mengetahuinya, tahu tentangku saja tidak. Aku tak pernah tahu bagaimana
caranya memulai pertemuan kita. Padahal, kita sering berpapasan. Ya, hanya aku
saja yang tahu kita berpapasan. Tanpa dirimu.”
“Dua tahun aku
mencintaimu. Masih cinta dalam hati. Di saat aku tahu kau sungguh istimewa, aku
semakin kuat mencintaimu. Saat kau sedang berjalan bersama temanmu, aku melihat
sesuatu terjatuh dari tasmu. Itu adalah sebuah benda. Ya, sebuah jam pasir.
Tapi ada sebuah keunikan dari jam pasir itu. Pasir dalam jam itu tak dapat
turun. Unik sekali. Seperti dirimu. Kau sangat unik.”
“Tiga tahun aku
mencintaimu. Tapi, apakah cinta yang tak di ekspresikan itu tak ada salahnya?
Mungkin cintaku ini seperti kupu-kupu yang lupa bagaimana caranya terbang.
Seperti aku, aku lupa bagaimana caranya aku mencintaimu. Aku lupa bagaimana
caranya kau membuat sebuah jerat yang membuatku tertarik. Aku lupa. Aku lupa,
sebenarnya kau adalah sesuatu yang sangat berharaga di hatiku. Dan aku lupa,
kau tak pernah sadar akan hal itu.”
“Hay tulisanku? Ya, kamu
yang selalu aku tulis. Mengapa tadi kau malah pulang bersama temanmu? Tak
sadarkah jika aku sedang berdiri di belakangmu dan membawa payung untuk kita naungi bersama? Mengapa setelah aku membuat
permulaan indah kita berkenalan malah gagal total? Tak mengertikah kau tentang
hatiku saat itu? Hatiku sakit! Hatiku hancur! Mengapa aku tak mampu sedikit
saja untuk mendekatimu? Tak bisakah kau yang mendekatiku terlebih dahulu?
Mengapa setelah aku benar-benar yakin untuk mengajakmu malah gagal? Mengapa?
Aku tak pernah seperti ini. Aku mencintaimu tulisanku. Tak mengertikah sedikit
tentangku?”
“Saat aku menatapmu,
hatiku beku. Saat kau lewat di hadapanku, tubuhku kaku. Saat kau melirik ke
arahku, lidahku kelu. Aku tak mampu. Entah sudah berapa lama aku memendam sebuah
rasa yang sungguh membuat nafasku tersendat. Cinta ini terus bertambah banyak
di dalam hatiku. Sampai ke dalam jantungku pun, cinta ini merasuk. Hingga aku
mengerti betapa berharganya memandangmu dari jauh, saat aku sudah tak bisa
melakukannya lagi. Saat aku divonis menderita Alzheimer. Aku tak tahu, mengapa
umurku yang masih muda ini harus menderita penyakit yang biasanya menyerang
lansia? Aku tak tahu, apakah setelah aku kehilangan seluruh ingatanku tentang
cinta, aku bisa mengingatmu kembali atau tidak. Mungkin aku akan lupa akan
dirimu. Tapi rasanya, betapa sakit aku melupakanmu. Melupakan cinta yang sudah
empat tahun aku pendam. Aku tak mau ujung dari cinta ini adalah tetap sama
seperti sebelumnya. Aku ingin kau tahu bahwa ada seseorang yang sangat tulus
mencintaimu selama empat tahun ini. Aku ingin kau mengetahuinya. Jika aku
memang benar-benar akan kehilangan semua ingatanku, aku ingin kembali lagi.
Kembali mencintaimu seperti awalnya.”
Tak terasa, aku menangis
membaca catatan dari cinta seseorang yang tak pernah bisa dia ekspresikan. Aku sangat merasa kasihan pada orang yang
menulis diary ini. Cinta dia sungguh terlihat sangat besar pada orang yang ditujunya.
Hey tunggu, ada catatan
terakhir disini. Catatannya cukup panjang. Sepertinya aku harus membacanya.
“Catatan terakhirku.
20 November 2012
Hay sesuatu yang tak
pernah kau baca? Ya, diriku. Aku harap dengan melihat catatan ini aku bisa
percaya bahwa aku pernah menulisnya. Entah akan seberapa banyak ingatanku yang
hilang. Entah separuh, entah semua. Tapi aku tak peduli. Yang aku pedulikan
adalah kau. Aku tak ingin nmelupakanmu. Aku sangat ingin menuliskan namamu di
sini. Tapi sayang, aku tak pernah tahu walau satu hurufpun. Aku tahu aku sangat
payah, tapi melupakanmu adalah lebih dari sekedar pergi.
Mungkin jika aku membaca
catatan ini, aku akan menggeleng dan tak percaya akan semuanya. Aku juga tak
akan ingat bagaimana sakit bahagianya mencintaimu. Dan aku tak ingin kehilangan
hal itu. Aku tak tahu, apakah operasiku akan berhasil atau tidak. Jika
berhasil, dan aku dapat kembali hidup dengan ingatanku yang baru, aku akan
mencarimu. Aku akan berusaha untuk mencintaimu kembali seperti sedia kala. Aku akan
lebih percaya diri untuk menyatakan semuanya padamu. Akan. Tunggulah aku untuk
menjemputmu. Walau aku nanti akan merasa aneh, tapi aku percaya, aku pernah
mencintaimu selama empat tahun lamanya.”
—
“Arin!” Aku memanggil dan
menyuruhnya duduk di sebelahku.
Arin hanya menatapku aneh. Mungkin dia berfikiran bahwa tak biasanya aku memanggil dia.
Arin hanya menatapku aneh. Mungkin dia berfikiran bahwa tak biasanya aku memanggil dia.
“Ada apa, Zahra?”
“Kemarin aku menemukan
buku aneh di perpustakaan. Bukunya mirip buku harian. Bukan mirip, tapi
benar-benar buku harian. Buku ini mengisahkan seseorang yang mencintai
seseorang selama empat tahun. Tapi sayang sekali, si pemilik buku mengalami
Alzheimer dan menuliskan banyak kisahnya di buku ini. Dia berharap bisa membaca
kembali buku ini. Terakhir catatannya tanggal 20 November 2012. Apakah benar ada
murid di SMA ini yang mengalami Alzheimer?”
Arin mengernyitkan dahi
ketika mendengar cerita-ceritaku. Diapun mengambil tasku tiba-tiba dan merogoh
sebuah buku yang tak lain buku yang aku ceritakan.
“Wah, kau benar. Bagaimana
jika kita menyiarkannya di siaran acara makan siang. Kau sepertinya pantas
sebagai penyiar baru.” Ucapnya sambil terus membuka lembar-lembar buku.
“Idemu tak terlalu buruk.”
—
“Cinta. Mungkin kalian
semua sudah mengerti apa tema siaran makan siang kali ini. Dengan seorang
penyiar baru yang mungkin sebagian dari kalian tak mengetahuinya. Namaku Zahra.
Kemarin aku menemukan sebuah buku harian di perpustakaan sekolah. Memang aneh.
Mungkin di antara dari kalian tak percaya akan yang ku katakan ini. Tapi aku
tak bohong.
Niatku mencoba menjadi
penyiar di sini adalah untuk memberitahukan sesuatu yang istimewa menurutku.
Kisah yang kubaca sendiri dari buku harian yang kutemukan. Mungkin kalian
bertanya-tanya kisah apa yang akan kusiarkan? Apakah menarik? Kalian bisa
mendengarkan kisahnya setelah kita mendengar lagu ini. Lagu yang aku
persembahkan untuk siapapun yang mengaku sebagai secret admirer. Ungu – Cinta
Dalam Hati.”
Akupun menyadarkan
kepalaku mencoba meresapi lagu ini. Tiap untaian liriknya persis seperti kisah
gadis pemilik buku. Gadis, kata siapa? Tapi kelihatannya dia memang gadis.
“Hey!”
Terdengar suara seseorang
menyahut. Akupun mendongak. Ada Radit ternyata. Dialah yang menyahutku.
“Sedang siaran makan
siang, ya?”
—
“… aku tak tahu apakah dia
masih ada atau tidak. Aku hanya sekedar menyampaikan dan berniat untuk
mencarinya jika kalian tahu. Mungkin kalian pernah mendengar seseorang
menderita Alzheimer. Tapi dia anak SMA. Mungkin dia orangnya. Aku memang kurang
mengetahuinya. Mungin kisah yang aku sampaikan cukup sampai di sana saja.
Dan sebelum siaran ini berakhir, aku ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian yang merasa kesepian dan tak ada orang yang mencintai kalian.
Sebenarnya terlalu banyak cinta yang datang tanpa kalian sadari. Jadi raihlah cinta itu sebelum pergi. Dan bagi para penggemar rahasia, kejarlah cintamu sebelum kau benar-benar telah terlambat. Akan kuputar sebuah lagu untuk dinyanyikan seorang penggemar pada penggemar kalian. Mari kita nyanyikan bersama, para penggemar. Dan sebelum lagu diputar, izinku pamit dari siaran makan siang ini. Semoga kita bertemu lagi. Dan inilah Geisha, Cobalah Mengerti.”
Dan sebelum siaran ini berakhir, aku ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian yang merasa kesepian dan tak ada orang yang mencintai kalian.
Sebenarnya terlalu banyak cinta yang datang tanpa kalian sadari. Jadi raihlah cinta itu sebelum pergi. Dan bagi para penggemar rahasia, kejarlah cintamu sebelum kau benar-benar telah terlambat. Akan kuputar sebuah lagu untuk dinyanyikan seorang penggemar pada penggemar kalian. Mari kita nyanyikan bersama, para penggemar. Dan sebelum lagu diputar, izinku pamit dari siaran makan siang ini. Semoga kita bertemu lagi. Dan inilah Geisha, Cobalah Mengerti.”
Akupun bangun dari
dudukku. Siaran sudah berakhir. Radit masih menungguku selesai siaran. Dia
memang lucu. Dia tak peduli satu jam aku berada di sini. Dia terus menungguku.
Sebaiknya kuhampiri saja dia.
“Hay, lama nunggu?”
“Oh, nggak tuh. Siaranmu
bagus sekali.”
“Hahah, berkat buku harian
yang kutemuin di perpus. Kisahnya emang haru, ya. Aku suka banget.”
“Sekarang kita ke mana?”
Tanya dia.
“Tenggorokanku udah kering
nih. Ke kantin bentar, yuk.”
Diapun mengangguk. Aku
berjalan menuju kantin bersamanya. Waktu istirahat memang hampir habis. Tapi
kurasa masih bisa untuk sekedar minum di sana.
“Kau mau minum apa?”
Tanyaku.
“Aku tak akan minum.
Mengantarmu saja.”
“Beneran?”
Dia mengangguk. Akupun
tersenyum. Dia ikut tersenyum.
“Bi, teh manis satu, ya.
Esnya yang banyak.” Pesanku setengah berteriak.
Bibi pemilik warung itupun mengangguk. Tak sampai dua menit, tehnya sudah datang.
Bibi pemilik warung itupun mengangguk. Tak sampai dua menit, tehnya sudah datang.
Akupun menyondorkan dua
lembar dua ribuan dan mulai menyedot air di dalam gelas ini. Kuputar sedotan
yang sedang kupegang. Radit tersenyum kecil melihatku.
“Kau suka teh?”
“Ya seperti itulah.”
Aku dan Raditpun
berbincang-bincang banyak. Ketika kami sedang asyik berbincang, aku melihat
seorang pria tengah mengawasi aku dan Radit. Dia terlihat menyelidiki.
“Ada apa, Zahra?”
“Eh, nggak. Ke kelas yuk.
Bentar lagi juga masuk.”
—
Apakah yang kau bilang
Radit itu yang kau bawa kemarin?” Tanya Arin penuh selidik. Aku mengangguk.
“Apakah kau menyukainya?”
Dia semakin menyelidik. Aku mengangguk lagi sambil terus menggigit rotiku.
“Ahh, dia tak sama sekali
tampan. Karena kau sibuk jatuh cinta, kau jadi lupa pada pengirim hadiah
rahasiamu.”
“Ya. Aku jadi lupa.
Omong-omong, bagaimana keadaannya, ya? Aku sangat mengakhawatirkannya.”
“Ahh aku punya ide. Sekalian siarkan saja
kisahmu di siaran makan siang.”
“Aku tak mau.” Ucapku
dengan mulut penuh.
“Kau mau menunggunya lewat
di sini? Sudah setengah jam kita menunggu.” Keluh Arin.
Akupun menelan bulat-bulat
roti yang tadi kumakan. Kulemparkan roti itu pada Arin ketika aku melihat Radit
sedang berjalan menuju ke arahku. Mataku langsung melotot dan menghampirinya.
“Kita ke taman, yuk.”
Ajakku langsung.
Diapun mengangguk. Aku
tersenyum lalu mengalihkan pandanganku pada Arin yang tengah terduduk
sendirian.
“Arin! Aku ke taman. Jaga
dirimu baik-baik!” Teriakku.
Arinpun mengangguk malas.
Aku langsung menggandeng tangan Radit menuju taman.
“Pertama kali kita bertemu
di mana, ya?” Tanyanya memulai percakapan.
Akupun sedikit melayangkan pikiranku ke
sekitar beberapa minggu ke belakang.
“Di perpustakaan.”
“Sekarang aku akan
mengubah awal pertemuan kita di sini.” Ucapnya. Akupun mengeryitkan
dahi. Apa maksudnya? Dia segera berjalan menuju tangkai mawar. Dia memetik
satu mawar di sana. Diapun menyondorkannya padaku.
“Mari kita buat awal
pertemuan kita indah. Di sebuah taman dengan mawar. Di perpustakaan bukanlah
pertemuan kita. Di sinilah.” Ucapnya.
Aku hanya tersipu melihat
tingkahnya. Dia sungguh romantis.
Dari jauh, seorang pria
tengah mengawasiku sama seperti waktu di kantin itu. Aku dapat menangkap
bayangannya di ujung taman.
“Ada apa, Zahra?” Tanya
dia sambil menengok ke ujung taman.
Akupun sedikit mencibir
sambil berjalan cepat menuju ujung taman. Siapa sebenarnya orang yang sedang memperhatikan
kami tadi? Apakah dia pengirim hadiah itu?
“Hey! Kau
siapa!?” Ucapku. Pria itupun membelakangiku ketika aku
menghampirinya.
“Aku harus pergi.”
Ucapnya.
Akupun mengikuti langkah
kakinya dari belakang. Dia terus melangkah.
“Berhenti mengikutiku!”
“Kau siapa?”
“Aku.. Reza.”
—
Aku berlari secepat
mungkin. Aku takut SPPku telat bayar lagi. Sudah tiga bulan aku belum
membayarnya. Semoga saja belum terlambat. Ketika aku menaiki tangga, ada
seorang murid lelaki berjalan turun. Dia terus menundukan kepalanya. Aneh
sekali.
Dengan cepat, kubuka pintu
ruangan itu.
“Bu, ini aku Zahra. Aku
belum telatkan bayar SPP?” Tanyaku.
Ibu tersebut pun sedikit mengernyitkan dahinya.
Ibu tersebut pun sedikit mengernyitkan dahinya.
“Baru saja seorang murid
pria melunasinya. Dia bahkan melunasi uang bangunan dan sumbangannya.”
“Siapa dia?” Tanyaku
cepat.
“Saya juga tak tahu.”
Ucapnya.
Akupun langsung berlari ke
bawah. Aku yakin sekali pasti lelaki tadi. Tak ada satupun orang di sekitarku
selain dia tadi. Bahkan sekarang pun hanya aku.
Aku masih terus berlari sambil berlinang air mata. Ayolah, siapa pengirim hadiah itu? Ayolah, aku sudah ingin mengetahuinya. Aku mencintaimu pengirim hadiahku.
Aku masih terus berlari sambil berlinang air mata. Ayolah, siapa pengirim hadiah itu? Ayolah, aku sudah ingin mengetahuinya. Aku mencintaimu pengirim hadiahku.
Ketika aku sudah mencari
ke seluruh ruangan, akupun tertunduk. Air mataku terus berlinang dan turun di
pipiku. Aku sedikit terisak. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku tak dapat
menemukan orang itu. Orang yang selama ini telah memberikan sinyal-sinyal
padaku, bahwa aku tak tinggal sendirian. Dia selalu menemaniku dengan segala
hadiah yang dia berikan.
Dia memang
baik hati. Aku sangat ingin berterima kasih
padanya. Tapi mengapa dia selalu menyembunyikan identitasnya? Padahal aku
sangat-sangat menyayanginya. Aku ingin langsung memeluk dan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya padanya.
Lekas mengapa aku tak pernah menemukannya?
"Zahra,kau kenapa? Adakah
yang salah?"
Radit tiba-tiba datang dan
merangkul pundakku. Akupun menyeka bulir bening di pipiku.
"Apakah kau tahu? Ada
seseorang di antara kita. Ada seseorang yang selalu mengirimiku hadiah. Dia
sudah banyak berbuat baik terhadapku. Hingga tadi,dia telah melunasi uang SPP
dan bangunan. Dia sungguh baik. Dan aku sangat menyesal tak dapat mengejar
orang itu tadi. Dia pengirim hadiah misteriusku." Ucapku.
Raditpun terhenti. Diapun
mengeluarkan sebuah jam pasir dari tasnya.
"Setiap aku gelisah,aku
selalu melihat ini. Aku selalu merasa tenang." Ucapnya sambil memberikan
jam pasir itu padaku.
Akupun menerimanya. Ketika
kubalikan jam pasir itu,pasir di dalamnya tak turun. Sama persis seperti yang
ditulis pemilik buku diary itu.
"Mengapa ini tak dapat
turun?"
"Sudah seperti itu."
Ucapnya.
Akupun menggigit bibirku.
Ternyata orang yang dicari pemilik buku adalah Radit. Ternyata aku telah
mencintai seseorang yang telah dicintai orang lain selama empat tahun terakhir.
Akupun berdiri. Air mataku turun
lagi. Radit menatapku bingung. Akupun segera berlari dari pandangannya. Bulir
bening masih membekas lekat di pipiku.
"Radit adalah orang yang
pemilik buku cintai. Aku telah salah mencintainya."
"Brukk..."
Aku menabrak seseorang. Akupun
langsung berdiri dan meminta maaf pada orang itu. Ketika kulihat dia,ternyata
dia adalah Reza. Dan tak lain adalah orang yang tadi melunasi SPPku.
"Reza?" Ucapku kaget.
Rezapun ikut kaget.
"Za..Zahra?"
"Apakah benar kau yang
mengirimi hadiah itu padaku? Apakah benar kau yang melunasi SPPku?"
Tanyaku. Dia menunduk.
***
“Kau siapa?” Tanya dia. Oh,hatiku
berdesir, lupakah dia padaku?
“A-Aku Zahra. Kau tak ingat?”
"Oh ya. Maaf aku lupa. Apakah kau sudah
menemukan pengirim hadiah rahasiamu?" Tanya Radit.
Aku masih diam tak memandangnya
yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya yang pucat membuatku
sangat sedih menatapnya.
"Sudah." Ucapku singkat
menahan air mata.
"Hahah,siapa dia?"
Dia bilang
hahah? Masih bisakah dia tertawa dalam keadaannya yang lemah itu?
"Aku
tinggal menoleh kepada seseorang yang sedang terbaring di ranjang. Dan di sana
aku menemukannya." Ucapku tak memandangnya lagi.
Raditpun terdiam. Aku terisak
ketika mengetahui bahwa dialah pengirim hadiah misterius itu.
"Mengapa kau tak pernah
memberitahukanku bahwa kaulah pengirim rahasia itu?"
"Itu karena keadaanku."
"Karena kau sakit?
Sebenarnya kau sakit apa?"
"Aku...a..aku menderita
Alzheimer."
"Apa?"
***
Bintang malam masih menerangi
rongga-rongga hatiku yang sekian lama tertutup. Mataku masih memandang lurus ke
atas langit. Ditemani bintang dan angin malam,aku bisa merasa tenang atas
kejadian tadi.
"Hmmm,"
Sebuah jaket tiba-tiba mendarat
nyaman di tubuhku. Seorang pria berwajah pucat duduk di sebelahku.
"Malam tak baik untuk
kesehatanmu. Kau harusnya tidur."
"Aku tak apa-apa." Ucap
dia sekenanya.
Aku terdiam. Dia duduk merangkul
lutut sama sepertiku.
"Bintang di langit memang
banyak. Bintang-bintang itu adalah cinta."
"Maksudmu?"
"Ya. Ketika seseorang jatuh
cinta,hatinya akan di angkat ke langit dan menjadi bintang. Karena itu,begitu
banyak cinta yang datang tanpa kita sadari. Sama dengan banyak bintang."
Ucapnya.
"Hey lihat! Bintang jatuh.
Buat permintaan." Lanjutnya lagi.
"Mengapa seperti itu?"
"Ayo buatlah. Aku pernah
buat dan terkabul."
Akupun memejamkan mataku dan
membuat sebuah permohonan.
"Selesai."
"Apa permohonanmu?"
"Rahasia." Ucapku.
"Oh iya. Maafkan aku."
Gumamku lagi.
"Apa yang harus
kumaafkan?"
"Aku banyak menyusahkanmu.
Aku bahkan tak pernah sadar ada seseorang yang mencintaiku selama empat tahun.
Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku tak pernah menyadari bahwa itu kau."
"Sudahlah."
"Aku tak pernah ingat bahwa
aku pernah memiliki jam pasir itu. Aku tak ingat. Kini aku sudah terlambat
untuk menjadi kekasihmu." Ucapku.
Dia membisu. Aku membungkam
mulut. Air mataku berlelehan lagi. Sungguh kata-kata Reza tadi masih terngiang
jelas di benakku.
"Bukan aku. Dia Radit. Dia
yang mengirimu hadiah itu."
"Tapi mengapa kau selalu
memperhatikan kami?"
"Karena Radit adalah
saudaraku. Dia sakit."
"Zahra! Zahra! Radit
pingsan! Reza! Radit pingsan!"
Saat itu Arin memberitahu padaku
dan Reza bahwa Radit tiba-tiba pingsan. Dan tadi aku mendengar bahwa umur Radit
sudah tak lama lagi.
"Pertama kali aku bertemu
dengamu,aku sangat menyukaimu. Saat itu kita sedang berada di perpustakaan. Aku
sangat menyukainya."
Radit menatapku. Aku balas dengan
tatapan hangat. Diapun mengalihkan pandangan lurus ke atas menatap bintang.
Akupun mendaratkan mulutku ke pipi kanannya. Kucium pipinya dan bersandar di
pundaknya.
"Aku harap satu kecupan itu
bisa membuatmu lebih tenang."
Dia tersenyum.
***
Aku masih terduduk dan
menyandarkan kepala di atas telapak tangannya. Kupejamkan mata dan mencoba tidur.
Menunggunya sadar sungguh lama.
Tiba-tiba sebuah tangan dingin
mengelus-elus kepala dan tanganku lembut. Apakah Radit sudah bangun?
"Pertama kali aku
melihatmu,kau sedang turun dari bus. Saat itu aku merasa sangat aneh. Aku
merasa menyukai dirimu. Bukankah aneh menyukai orang asing? Hahah. Akupun
merasakan hal serupa ketika aku bertemu denganmu di perpustakaan. Aku sempat
membaca ceritaku yang kutulis sendiri itu. Dan aku percaya. Ternyata hal itu
benar. Aku pernah mencintaimu. Dan ternyata harapanku tak sia-sia. Setelah aku
berhasil dioperasi,aku dapat mencintaimu lagi. Sekarang aku sangat
bahagia,cintaku telah sampai di ujungnya. Tapi aku merasa sangat semakin lama
kita semakin jauh. Tak tahu mengapa,padahal kita tinggal di langit yang sama.
Juga berpijak di bumi yang sama. Itu mungkin karena aku tahu,hidupku tak
mungkin bertahan lama." Ucapnya.
Satu tetes air mata membasahi
pipiku ini. Akupun membuka mata dan menatap Radit dalam-dalam. Kupikirkan apa
yang dia lakukan dulu terhadapku. Kupikirkan saat dia mengambil jam pasirku.
Kupikirkan saat dia akan memberikan payung padaku. Kupikirkan saat dia
memperhatikanku dari jauh. Kupikirkan.
***
“Kini aku sudah menemukan si pemilik buku harian itu. Aku
juga telah menemukan si pengirim hadiah misterius itu padaku. Dia adalah Radit.
Mungkin dari kalian ada yang
mengenal sosoknya. Dia adalah pria yang hebat. Walau aku tahu siaran makan
siang ini tanpa dia,tapi aku yakin dia bisa melihat hal ini. Untukmu
Raditku,aku mencintaimu. Semua kenangan kita akan kuingat lekat dalam memoriku.
Terima kasih banyak untuk hadiah yang kau berikan padaku. Aku akan selalu
mengenal tiap jengkal hal itu.”
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa di cintai
Tak mengapa bagiku asal kau pun bahagia
Dengan hidupmu, dengan hidupmu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku cintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku
Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Mengagumi tanpa di cintai
Tak mengapa bagiku asal kau pun bahagia
Dengan hidupmu, dengan hidupmu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku cintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku
Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja
“Radit. Ayolah kirimi aku hadiah
lagi. Aku rindu akan hal itu. Kau tahu,bintang jatuh itu tak mengabulkan
permohonanku. Jika kau sudah tahu apa permohonanku,mungkin aku tak akan
mengatakannya. Tapi jujur saja,aku memohon agar aku bisa duduk di taman sekolah
bersamamu lagi. Dan kita akan memetik mawar. Namun hal itu sudah jadi
kenangan.”
-SEKIAN-
Label: Cerpen, Cerpen Cinta
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)