Selasa, 30 Juli 2013

Rindu Senja (Sebelum Senja Part2)


“Terkadang hidupku, hidupmu dan hidupnya saling berhubungan. Terkadang hidup ini tak menentu dan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang juga hidup ini tak kita mengerti. Namun bagaimanapun itu hidup ini akan menyimpan arti tertentu bagiku, bagimu dan baginya.” Selmi Fiqhi Khoiriah
“Brukk”
“Ehh maaf mbak, gak sengaja.” Aku membantunya merapikan buku dan membantunya bangun. Karena kesibukan hari ini, sampai-sampai aku tak melihat orang-orang yang berjalan disekelilingku.
“Iya mas, gak papa”
Gadis yang kira-kira seumuranku itu menepuk-nepuk roknya dan tertunduk. Dia tergugup lalu berlari meninggalkanku. Aneh sekali dia, apakah ada yang salah dengan parasku?
***
Kulirik tak ada, ku lirik lagi tak ada. Sepertinya ada yang memperhatikanku dari belakang. Siapa dia? Tapi selalu tak ada. Biarlah.
***
Senja ini aku berniat untuk berjalan-jalan menyusuri sekitar daerahku, biasa melepas penat seharian sehabis kuliah. Angin perlahan berkeliaran dan berputar-putar menembus kemejaku. Sepertinya senja ini
cukup dingin. Ini pas untukku, mengetahui daerah perkotaan Jakarta yang panas dan pengap ini, sangat kena posisinya disini. Puncak. Udaranya segar dan bersih, tak seperti Jakarta yang bercampur debu dan zat-zat lainnya yang membahayakan tubuh. Hal ini bagus untuk menenangkan sejenak pikiranku. Kebetulan besok Sabtu, aku tak kuliah. Alangkah baiknya jika aku berdiam diri disini.
“Huhh” Seketika ku hirup oksigen dan ku buang karbon dioksida dari tubuhku. Sekejap ku mendengar sesuatu, nyanyian …
“Well hey! S0 much i need to say been lonely since day the day you went away … Hmmm yeahh …” Yang masuk pada telingaku kurang lebih itu. Suaranya sangat merdu. Lagu ini mungkin tak terlalu populer, lagu yang dipopulerkan oleh M2M ini adalah lagu diera tahun 2000an. Tapi siapa yang mendengarnya bisa-bisa terhipnotis tertidur karena iramanya yang menenangkan itu.
Perlahan aku mulai mencari asal suara itu. Siapa orang yang menyanyikan lagu ini? Aku mulai berjalan melirik kesana-kemari mencari asal suara itu. Semakin lama suara itu semakin jelas dan keras. Ku lihat seorang gadis memakai gaun putih menutupi lutut terduduk sambil menyanyikan lagu yang ku maksud. Rambutnya sebahu.
“Did i lose my love to someone better and … ”
“Ehm” Aku berdehem memotong nyanyian gadis itu. Seketika dia berhenti lalu menengok kebelakang sekejap. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauhiku.
“Hey!” Aku memanggilnya namu dia tak berkutik sedikitpun.
“Hey!” Ku ulangi panggilanku namun hal serupa ku terima. Ku coba membuntutinya namun lama-kelamaan langkahnya semakin cepat. Aku coba berlari mengejarnya namun dia malah berlari lebih cepat. Di depan ada pertigaan ku lihat dia belok kanan. Seketika ku berbelok, hening tak ada siapa-siapa disana.
“Ssss” Kudengar sesuatu berdesis ditelingaku. Ku merasakan hembusan nafas hebat dibelakang leherku. Bulu kudukku mulai bangun.
“Su.. Su.. suara apa itu?” Aku tergagap.
***
“Aaaa” Aku berteriak.
“Huhhh” Nafasku terengah-engah, keringat dingin mulai menghujani wajah dan leherku. Aku bermimpi buruk. Mimpi yang aneh, aku berjalan dengan gadis yang tak tahu siapa dia, namun ada gadis yang hampir serupa memandang kami suram. Kami ketakutan lalu berlari, tanpa menengok sebuah mobil datang menghantam kami dan … Selesai aku terbangun. Kepalaku pusing sekali.
01:12, itulah yang tertera di jam digital yang terletak dimeja kamarku.
“Haus” Sepertinya ternggorokanku kering gara-gara hal tadi. Ku nyalakan saklar dan pergi ke dapur mengambil segelas air. Aku terduduk sejenak, tiba-tiba sekelebat melintas bayangan putih di depanku.
“Astaghfirullahal’adzim” Ku ambil lagi segelas air dan kuteguk dan kembali tidur. Lupakan hal tadi, hanya halusinasi saja pikirku.
***
“Sssffs” Ku teguk secangkir kopi hangat ditanganku. Pandanganku tertuju pada wanita bergaun putih, berambut sebahu. Dia mirip dengan gadis yang kemarin aku temui ditaman yang ku kejar menghilang begitu saja.
“Hey!” Aku menghampirinya dan tersenyum padanya. Dia membalas senyumanku semanis mungkin.
“Kau mau duduk?” Dia sedikit bergeser memberiku sedikit tempat untuk duduk disampingnya.
“Makasih ya” Aku duduk disana. Aku sedikit menatapnya namun dia diam.
“Kenapa? Ada yang salah ya sama aku?” Sepertinya dia menyadari tatapanku itu. Malu, malu sekali.
“Oh tidak, sepertinya aku pernah melihat batang hidungmu. Kamu yang kemarin menyanyi ditaman dekat puncak bukan?” Mendengar perkataanku gadis itu tertawa-tawa. Apa yang lucu dariku?
“Kenapa kamu tertawa?” Aku menanyainya.
“Hhahha baru lagi aku tertawa seperti ini. Pertanyaanmu itu lucu sekali.” Dia tetawa kembali. Tawanya lucu sekali. Aku hanya ikut tertawa bersama dengannya. Dia sepertinya asyik juga baru saja bertemu aku sudah merasa nyaman. Tapi rasanya aku pernah dengar tawa ini.
“Eh, BTW siapa namanya?” Aku mulai percakapan lagi.
“Senja. Senja Sivia Putri” Dia mengulurkan tangannya padaku seraya tersenyum. Ku jabat tangannya dan mengembangkan senyumku.
“Rasyid.”
***
Malam ini aku berjalan-jalan di sekitar apartemenku. Seperti biasa saturday nightku sendirian. Mengingat aku masih sendiri, malam ini aku hanya ditemani angin malam dan bintang yang menghampiri malamku.
“Astaghfirullahal ‘adzim” Bayangan putih itu datang lagi. Aku mengedip-ngedipkan mataku beberapa kali sambil menenangkan hatiku. Itu halusinasi hanya halusinasi. Tidak ada hantu.
***
“Rasyid” Seseorang memanggil namaku, aku berbalik. Ku lihat gadis bergaun putih melambaikan tangan padaku. Dia tersenyum manis padaku namun wajahnya tampak sedikit pucat.
“Senja, sedang apa kamu disini?” Aku menghampirinya.
“Mencari udara segar, kau sendiri?” Dia tersenyum padaku, kami berjalan berdua disekitar apartemen.
“Bosan saja melihat orang lain menyambut satnitenya bersama kekasihnya. Lebih baik aku menenangkan diri disini.” Aku terduduk dikursi dekat taman. Senja menatapku hangat, pandangannya begitu indah sepertinya aku pernah merasakan pandangan ini. Pandangan yang tenang.
“Kemana kekasihmu?”
“Tidak punya.” Aku menjawabnya singkat. Dia hanya terdiam.
“Kau kedinginan? Ini pakai saja jacketku.” Ku tambah lagi ucapanku sambil menyematkan jacket hitamku ditubuhnya. Sepertinya dia benar-benar kedinginan. Terlihat dari wajah pucat dan tangan dinginnya.
“Makasih ya” Dia tersenyum padaku. Aku merangkulnya, ada sedikit mimik sedih diwajahnya. Aku semakin mendekapnya dia malah menyenggolku. Aku tertawa diapun ikut tertawa.
***
“Huhh, huhh” Nafasku terengah-engah lagi, selalu sama. Sudah 3 malam aku bermimpi yang sama, waktu yang sama, tempat yang sama dan sama tak pernah selesai. Selalu aku terbangun saat aku hampir tertabrak mobil bersama gadis itu. Sebenarnya apa arti mimpi ini? Ada apa?
Sungguh mimpi aneh. Dan setiap kali aku terbangun 01:12 yang tertera dijamku. Bosan mimpi ini.
Mungkin tahajud bisa sedikit menenangkanku dan melupakan mimpi tadi. Ku bangun pergi ke toilet lalu menyalakan keran air dan mulai ku usap dengan air satu per satu anggota tubuhku. Rasanya dingin sekali. Mulai ku amparkan sajadah lalu shalat dan berdo’a pada-Nya agar dijauhkan dari hal-hal yang tak ku inginkan. Setelah selesai ku lipat lagi sajadahku dan ku tengok jendela.
“Astaghfirullahal’adzim” Gadis bergaun putih menatapku sambil menangis.
***
“Panas” Aku berucap sendiri mengomentari cuaca siang ini yang tidak bersahabat sekali denganku. Keringat bercampur debu mulai merasuk tubuhku, ingin sekali aku terjun ke sungai menikmati hawa segar. Namun bagaimana lagi? Setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu selalu begini keaadanku. Sibuk kuliah di kota metropolitan. Sialnya ayah melarangku membawa kendaraan kesini. Jadinya setiap saat ku harus menunggu bus.
***
Ku keluar dari bus ini. Tampaknya setiap orang merasakan hal yang sama disini, mereka merasakan hawa panas. Tepat didepan halte itu aku melihat gadis yang tak asing dimataku. Senja.
“Senja sedang apa kau disini?” Aku mendekatinya, dia sedang melamun. Sepertinya aku sedikit mengagetkannya.
“Rasyid, tidak sedang apa-apa” Dia menunjukan wajah tanpa ekspresi padaku. Wajahnya sedikit pucat. Aku meraih tangannya dan terasa dingin menjalar. Tangannyapun sedikit lembek.
“Kau sakit Senja? Wajahmu pucat sekali, tanganmupun dingin. Kau terlihat lemas.” Entah kenapa aku menjadi khawatir padanya, tanganku di lepaskannya dan dia terdiam lalu berjalan. Aku mengikutinya, dia melirikku tersenyum. Gadis cantik.
“Well i wonder, could it be, when i was … ” Dia bersenandung namun aku menghentikannya.
“Senja, kau menyanyikan lagu yang sama seperti gadis yang kuceritakan waktu di taman puncak itu. Rambutnya sama gaunpun sama, namun ada sedikit perbedaan pada matamu dengannya.” Senja terhenti mendengar itu. Dia menatapku sekejap lalu menyondorkan sebuah foto 2 orang gadis berusia sekitar 13 tahun dan seorang pemuda yang berusia sama kira-kira.
“Siapa dia?” Aku bertanya padanya.
“Gadis yang sebelah kanan adalah Suara. Dia kakakku. Aku sangat menyayanginya. Dan sebelahnya lagi adalah aku.” Jelasnya. Aku menatap foto itu jeli. Foto Suara dan Senja hampir mirip, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan pemuda itu merangkul Senja hangat.
“Apakah Suara yang bernyanyi waktu itu?” Aku menanyainya.
“Mungkin” Jawabnya, aku kembali melihat foto itu.
“Siapa pemuda ini?” Aku bertanya lagi
“Aku belum bisa memberi tahu dan seorang pemuda yang berusia sama kira-kira.
“Siapa dia?” Aku bertanya padanya.
“Gadis yang sebelah kanan adalah Suara. Dia kakakku. Aku sangat menyayanginya. Dan sebelahnya lagi adalah aku. ” Jelasnya. Aku menatap foto itu jeli. Foto Suara dan Senja hampir mirip, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan pemuda itu merangkul Sejan hangat.
“Apakah Suara yang bernyanyi waktu itu?” Aku menanyainya.
“Mungkin” Jawabnya, aku kembali melihat foto itu.
“Siapa pemuda ini?” Aku bertanya lagi
“Aku belum bisa memberi tahu padamu. Nanti juga kau akan tahu sendiri siapa dia.”
***
Malam ini aku lapar sekali. Kulkasku kosong. Mungkin aku harus belanja kembali. Untung saja apartemenku tidak terlalu jauh dari supermarket. Sambil jalan-jalan malam.
***
Aku menjinjing dua bungkusan putih ditanganku. Perjalanan pulang sekitar 10 menit. Tidak jauh. Setiap malam aku selalu melewati taman ini. Bila malam keadaannya sedikit sepi.
“Call me crazy call me blind, to still be suffering is stupid..”
Terdengar lagi seseorang menyanyikan lagu itu. Hatiku semakin terdorong untuk mengetahui orang yang menyanyikan lagu itu. Kulihat gadis bergaun putih itu.
“Suara” Aku memanggilnya dia melirikku lalu berlari. Ku kejar dia dan HILANG.
***
“Rasyid ingatkah kamu? Rasyid ini aku! Aku selalu menunggumu Rasyid! Dulu kau sangat mencintaiku! Aku tahu kamu sudah lupa Rasyid! Tapi ingat! Ingat aku Rasyid ingat! Sadar.”
“Hhahh” Mimpi buruk lagi. Kepalaku terasa berat sekali. Kali ini mimpi yang berbeda. Seorang gadis memanggil-manggilku, namun dia tak ada. Dia memaksaku mengingatnya. Tapi aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu siapa dia.
***
Entah mengapa siang ini aku sangat tidak bersemangat sekali. Aku selalu teringat Senja. Aneh aku ingin sekali dia datang padaku sekarang.
“Rasyid, kamu rindu aku ya?” Tiba-tiba Senja datang. Dia seperti dapat membaca pikiranku. Aku hanya tersenyum kecil padanya. Aneh sekali rasanya aku ingin sekali terus berduaan bersamanya. Gadis itu telah membuatku nyaman. Aku tak ingin kehilangannya. Aku ingin hari ini aku tak bisa lepas untuk melihatnya. Hari ini seakan-akan aku aka kehilangannya selama-lamanya.
“Kamu gak kangen aku ya? Ya udah pulang ah.” Dia menceloteh sendiri, hampir saja dia aka pergi, namun aku langsung menggenggam erat tangannya. Dia duduk disampingku mengerti apa yang ku inginkan.
“Apakah Suara masih hidup?” Dia kaget mendengar perkataanku.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Kau jatuh cinta padanya?” Jawaban yang tak ku sangka keluar darinya. Aku menggeleng.
“Aku hanya tak pernah melihatmu bersamanya. Kenapa?” Aku bertanya padanya dia diam sejenak. Memikirkan apa yang akan dia jawab. Dia mengalihkan pandangannya padaku. Dia memandangku hangat. Tatapannya tak mampu membuatku menahan sebuah rasa yang sangat janggal dihatiku.
“Berhentilah menatapku seperti itu! Kau tinggal menjawab saja. Aku tak kuat menahannya” Dia berhenti memandangku.
“Ada hal yang tak akan bisa aku dan Suara paksakan. Itulah jawabannya. Aku tak bisa memaksakannya. Memang mengapa kau bertanya seperti itu?” Dia balik bertanya padaku seketika aku diam tak bergeming, dia mulai meraih tanganku. Dia menggenggamnya erat. Aku dapat merasakan sesuatu lewat getaran tangannya. Hal yang sama sepertiku. Dia menatapku kembali dengan tatapan hangatnya. Ku balas dia, ku tatap dia dalam-dalam. Ada raut gelisah dimatanya. Aku tak tahu hal apa yang tersangkut dihatinya.
“Aku hanya bertanya saja. Aku heran, mengapa Suara selalu menjauh saat aku mendekatinya. Dia selalu menghilang seketika aku mengejarnya. Akupun sering merasakan hal aneh bila menemuinya. Jujur saja, dia telah meninggal? Sehingga yang kutemui hanya ruhnya saja?” Senja hanya diam. Mungkin perkataanku sangat lancang. Benar mungkin Suara telah meninggal, dia hanya terlalu sayang pada Suara dan tak merelakannya pergi mungkin. Sehingga diam adalah jawaban terbaik menurutnya.
“Ya sudah. Lagipula itu tak penting. Lebih baik kita berbagi cerita yang menyenangkan.” Aku tersenyum semanis mungkin padanya, dia mengembangkan bibir kecil tipisnya. Kami berbagi cerita saat itu. Banyak hal yang aku ceritakan padanya yang tak mungkin bisa ku tulis disini tentangku. Namun tak banyak Senja bercerita. Kami saling tertawa layaknya sepasang kekasih.
“Sudah lama aku merindukan saat-saat ini, ini membuatku lebih tenang.” Dia berucap seraya tersenyum padaku. Aku melempar senyum paling manis yang ku buat padanya.
“Aku pasti akan merindukan saat ini. Pasti. Hmm aku rindu Suara.” Aku terkejut mendengar dia berucap seperti itu. Dia hanya memandangku dengan tatapan heran. Aku meliriknya dan menatap mata bulat kecilnya dengan penuh kasih sayang. Apakah ini cinta? Hal yang selama ini tak pernah kubuka lagi untuk siapapun.
Dia hanya tertunduk. Aku mendekatkan bibirku dikeningnya dan ku kecup keningnya lalu ku dekap dia dalam pelukan hangat. Aku dapat merasakan tubuhnya yang dingin dan ringan. Akupun dapat merasakan perasaan hatinya.
“Jangan tinggalkan aku Senja. Aku merasa nyaman bersamamu” Aku semakin mendekapnya, namun kurasakan buliran hangat jatuh ditanganku.
“Hari ini akan jadi hari terbaik untukku. Aku tak akan pernah bisa melupakan hari ini. Walaupun hal paling kecil aku tak bisa melupakannya, termasuk kau, akan ingat. Sangat ingat.” Dia mulai sedikit mendekapku. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Aneh sekali.
“Senja, apakah kau tahu apa yang ku rasakan saat ini? Ku harap kau mengerti. Aku merasa bahwa aku pernah melakukan ini sebelumnya. Namun aku tak ingat. Aku juga pernah merasakan rasa ini. Sesuatu yang janggal dihatiku. Entah apa itu? Anehnya aku selalu ingin bersamamu. Apakah ini cinta? Jika ya aku ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu Senja. Sangat mencintaimu!” Tiba-tiba Senja melepaskan pelukannya. Dia berdiri dan menatapku berlinang air mata. Aku kaget, apakah yang aku ucapkan salah? Dia berlari menjauhiku. Ingin rasanya ku kejar dia namun kakiku terasa sangat kaku. Aku dapat merasakan apa yang hati kecilnya katakan. Angin membisikkannya.
“Aku tahu Rasyid. Tapi maafkan aku”
***
“Suara! Kembali! Kau kakaknya Senja bukan?” Dia terhenti, baru kali ini dia berbalik menatapku. Wajahnya sangat mirip dengan Senja namun tatapan Senja lebih hangat darinya.
“Darimana kau tahu?” Itulah pertama kalinya aku mendengar Suara berucap. Berbeda dengan Senja, ia memiliki suara serak-serak basah dibanding suara cempreng kecil Senja.
“Senja yang memberitahuku. Benar kau kakaknya?”
“Aku kembarannya” Aku terkejut, pantas saja wajah mereka hampir mirip
“Dia sangat merindukanmu, dia sangat sayang padamu. Mengapa kalian tak mencoba bersama. Kau juga kenapa selalu berlari ketika aku mengejarmu? Aku tak akan menyakitimu.” Seketika Suara terdiam kaget dan diam seribu bahasa.
“Kau kenapa? Apakah ucapanku salah ya?” Aku heran.
“Tidak, kapan kau bertemu dengannya?” Tiba-tiba dia bersikap baik padaku.
“Kemarin” Ku lihat dia terkejut mendengarku.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Oh iya dia juga kemarin memberikan foto ini. Foto kau, dia dan pemuda. Sebenarnya siapa pemuda ini. Senja tak memberi tahuku.” Aku berbicara panjang lebar.
“Namanya Rasyid. Rasyid Purnama, dia sangat mencintai pemuda ini. Tapi Tuhan tak mengabulkannya” Aku kaget mendengarnya. Semakin tak ku mengerti. Rasyid Purnama adalah nama lengkapku. Apa yang sebenarnya terjadi. Semakin berbelit-belit.
“I.. tu, itu.. namaku” Dia melotot kaget, lalu berlari menuju rumah tua disana dan kembali dengan sebuah amplop merah muda ditangannya.
“Kemana saja kau Rasyid? Aku mencari-carimu. Ini baca. Senja menitipkannya padaku.” Aku semakin heran namun ku terima dan ku buka amplop itu ku baca isinya
“Hallo Rasyid, lama tak bertemu. 4 tahun sepertinya sangat lama. Aku sangat merindukanmu. Kamu masih ingat akukan? Aku Senja. Teman karibmu saat kecil. Kamu tak ingat akukan? Pasti.
Sebenarnya aku sering menampakan diriku, namun kau saja yang tak sadar. Aku pernah menabrakmu saat itu, kau tak sadar. Aku mengikutimu tak sadar juga. Sampai ditaman itu kau baru sadar.
Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padamu. Kau adalah laki-laki terbaik yang pernah ada. Akupun mengaku mencintaimu, namun takdir tak mengizinkannya. Semoga kau mengerti. Walau begitu aku bahagia mengenalmu, bahagia. Kecupan itu, dekapan itu berharga bagiku.
Mungkin kata terakhir yang bisa aku ucapkan terimakasih Rasyid, aku sangat mencintaimu. Jangan kau lupakan aku Rasyid. Mungkin kita akan bertemu lagi di tempat terindah yang telah Tuhan janjikan. Dan satu yang ku pinta tetaplah mencintaiku seperti dulu. Karena aku tahu kau tak akan pernah berubah.
Senja”
Tak terasa kali pertamanya aku menangis. Aku benar-benar tak mengerti ini. Sungguh.
“Kapan Senja menulisnya? Mungkin kau salah orang!”
“1 April 2009 tepat sebelum dia meninggal. Tidak aku benar pasti.” Dia meyakinkanku.
“Tapi aku tak ingat. Baru saja seminggu lalu aku mengenalnya dan dia membuat aku tertarik tidak lebih” Aku lebih meyakininya
“Buka pikiranmu Rasyid, dulu kita sahabat baik tak ingatkah kau itu? Dulu kau selalu bermain bersamaku dan Senja, ingat Rasyid! Tak ingatkah saat sebuah mobil menghantamu dan Senja saat kau sedang mengejarnya?. Senja meninggal saat kecelakaan itu dan kau dapat hidup. Setelah itu aku tak pernah melihat ujung hidungmu lagi. Kau pindah ke Bandung dan baru aku lihat lagi. Ingat Rasyid!” Dia memaksaku kepalaku terasa pusing sekali, aku terduduk disana
“Aku tak bisa mengingatnya. Tak bisa. Terakhir ku ingat aku berada diruangan serba putih disana”
dia terdiam, lalu dia sedikit menenangkanku.
“Aku tahu ini sulit. Mulailah sedikit-sedikit ingat masa itu.” Aku jadi teringat mimpi itu, mimpi aku bersama seorang gadis yang hampir tertabrak, sejenak aku sedikit mengingat. Aku mulai mencoba-mencoba dan..
“Aku.. Aku ingat.” Aku terduduk lemas. Suara berbisik padaku. Aku langsung berdiri dari dudukku.
“Temui dia Rasyid. ” Aku langsung berlari menuju pemakaman umum. Ku baca nama-nama yang tertera dibatu nisan itu dan
“Senja Sivia Putri Binti Amran
Lahir:6 April 1994
Wafat:01 April 2009″
Aku menatap sendu batu nisan itu sambil berlinangan air mata. Aku tak kuasa melihat ini. Kemarin tepat dia berulang tahun. Aku tak pernah menyangka ini. Aku tak tahu ini. Kenapa aku begitu tak ingat.
“Terimakasih kau adalah kado terakhir dan terindah untukku” Kulihat Senja didepanku perlahan bayangannya hilang diterpa angin aku tak kuasa aku berteriak memanggil dan mencarinya.
“Senjaaaaaaaa”
-SELESAI-

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates