Selasa, 30 Juli 2013
BACA 2 MENIT SAJA KISAH YANG MEMBUAT KITA TERSADAR Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .. Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Disampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan. " Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta ?" tanya si pemuda. " Oh… saya mau ke Jakarta terus - connecting flight ke Singapore nengokin anak saya yang ke dua",jawab ibu itu. " Wouw… hebat sekali putra ibu "pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak. Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya. " Kalau saya tidak salah ,anak yang di Singapore tadi , putra yangkedua ya bu..?, Bagaimana dengan kakak adik-adik nya..?" " Oh ya tentu " si Ibu bercerita :"Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat kerja di perkebunan di Lampung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto,yang ke tujuh menjadi Dosen di Semarang..." Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh. " Terus bagaimana dengan anak pertama ibu ..?" Sambil menghela napas panjang, ibuitu menjawab, " anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja nak..". " Diamenggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.” Pemuda itu segera menyahut, " Maaf ya Bu….. kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia menjadi petani ..? “ Apakah kamu mau tahu jawabannya??????… Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ” Ooo …tidak tidak begitu nak….Justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karenadialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani..” Note : Pelajaran Hari Ini : Semua orang didunia ini penting. Buka mata kita, pikiran kita, hati kita. Intinya adalah kita tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita membaca buku itu sampai selesai. Orang bijak berbicara “Hal yang paling penting adalah bukanlah SIAPAKAH KITA tetapi APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN.." ... Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan ....
Label: Kisah Renungan
Catrine.
“Jangan harap kau bisa mendapatkannya! Aku tak akan membiarkanmu mencintainya.” Pria yang di tatap pria tadi menjawab dengan lantangnya.
“Dia tak akan mencintaimu, dan kau yang jangan berharap mencintainya!” Pria pertama berucap lagi. Mereka saling beradu pandang. Pandangan yang penuh kebencian.
“Dari awal, aku sudah membencimu Fred. Aku tak ingin mengenalmu. Catrine saja yang terlalu baik padamu.” Pria itu berucap lantang lagi. Ya, pria itu Arthur. Dia sedang berdebat bersama Fred.
“Lihatlah dia, gadis lugu itu benar-benar bodoh sekali. Dia tak bisa membedakan mana yang baik sepertiku, dan mana yang buruk sepertimu!” Fred mengejek Arthur. Semakin bencilah Arthur pada Fred.
“Dasar busuk!” Seketika Arthur akan menerbangkan sebuah pukulan pada Fred, bayangan putih tiba-tiba terbang menghampiri mereka. Bayangan itu melesat menuju tempat terbaringnya Catrine. Langsung diraihnya Catrine dan dibawanya terbang.
“Apa?! Bukankah kalian sudah memastikan bahwa pintu terkunci dan tak akan bisa keluar?” Raja Philip terlihat kaget. Dia semakin kecewa dengan tindakan putrinya.
“Sudah Tuan. Tapi, dia tak ada di kamarnya.”
“Bagaimana ini? Kemana kita harus mencarinya lagi?” Seketika Raja Philip kebingungan juga khawatir. Tiba-tiba, seorang berjubah hitam, tanpa terlihat sedikitpun anggota tubuhnya masuk menuju istana. Dia berjalan perlahan menghampiri Raja Philip.
“Kehilangan anakmu Tuan?” Pria misterius itu berucap seraya membungkuk di hadapan Raja Philip.
“Ya, ada perlu apa kau kemari?”
“Aku mengetahui di mana putrimu sekarang.” Pria misterius itu tiba-tiba sedikit menyeringai. Raja Philip terkaget.
“Di mana dia?”
“Aku bisa mencarikannya. Asal, kau harus memenuhi satu permintaanku.” Ujar pria itu penuh kemisteriusan.
“Apa itu? Demi putriku, sebisa mungkin akan ku penuhi.”
“Arthur, apa yang terjadi?” Gadis itu sedikit meraba kepalanya yang sedikit pusing juga sedikit luka di kening.
“Tak terjadi apa-apa. Kau hanya tersungkur.”
“Jangan berpura-pura. Waktu itu aku melihatmu bertengkar dengan Fred.” Sahut Catrine. Seketika Arthur sedikit bingung. Dia berfikir, apa yang harus di jawabnya?
“Jujur saja. Aku samar-samar mendengar kata-kata Fred dan kau. Aku sedikit melihat dan mendengarnya.” Lanjut Catrine lagi. Arthurpun menunduk.
“Baiklah. Jujur saja, aku benci dia! Dialah yang menyakitimu. Sesaat dia mendorongmu ke tembok, aku memukulnya. Aku khawatir padamu. Sudah ku duga. Dia bukan pria baik-baik.” Arthur menasehati Catrine. Catrinepun mengerti, Fred akan menyakitinya.
“Aku kecewa padanya.”
“Clekk.” Pintu tiba-tiba terbuka, Brenda datang dari balik pintu. Dia terduduk di samping Arthur.
“Hay, maaf aku tak mengetuk pintu dulu. Aku cemas sekali dengan keadaan Catrine.” Brenda langsung berucap seketika datang.
“Aku baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi padamu Catrine?” Brenda bertanya padanya. Terlihat kecemasannya terhadap teman karibnya itu.
“Aku hanya terjatuh. Kebetulan, Arthur menolongku.” Catrine sedikit berdusta. Dia tak mau Fred terlihat buruk di mata Brenda.
“Lain kali hati-hati.” Brendapun berucap sambil mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Diapun mengeluarkan sebuah bungkusan. Dia mulai merogoh sesuatu di dalamnya.
“Aku pernah mendengarmu menyukai hal-hal yang berbau mistis. Aku membelikan sebuah buku tentang makhluk-makhluk yang tak tahu benar adanya. Setidaknya kau mau membacanya, Arthur. Dan untukmu Catrine, aku membelikan buku yang hampir sama. Namun, ini hanya membahas satu makhluk. Aku harap kau juga mau membacanya.” Brendapun memberikan buku itu pada Arthur dan Catrine. Seketika, Brenda berlalu. Dia pulang tanpa pamit. Tindakkannya sedikit aneh. Tak ada angin tak ada hujan, dia tiba-tiba bersikap seperti itu. Entah ada maksud apa di baliknya. Yang jelas, tak biasa dia bersikap baik pada seorang pria. Sifatnya memang sangat ramah, tapi hanya kepada kaum Hawa saja. Dia cenderung bersikap cuek dan tak peduli pada kaum Adam. Padahal, bila melihat parasnya, dia pantas jika digemari banyak pria. Sayangnya, dia tak suka itu.
“Ada apa Catrine?” Arthur ikut bingung melihat Catrine yang aneh. Diapun sedikit tersenyum paksa.
“Eh, anu.. Umm.. Ini, buku ini sangat seram, ya.” Catrine sedikit gelagapan. Arthur tersenyum-senyum.
Catrine hanya terdiam sambil mengerucutkan bibirnya. Dia terdiam seperti seorang yang bosan.
“Kau ingin pulang ya? Terlihat dari wajahmu yang kusam itu, haha.” Arthur tertawa renyah sambil sedikit mengejek Catrine. Catrine semakin murung.
“Sudahlah, jelek sekali kau Catrine. Ayo aku antar pulang.”
“Sudah berpuluh-puluh kali kau menolak ajakkanku. Sekarang kau baru mau.” Fred membuka percakapan antara mereka berdua.
“Itu karena aku melakukannya pertama kali.”
“Benarkah itu? Berarti hal ini akan selalu kau ingat bukan?” Fred sedikit mendekatkan tangannya ke telapak tangan Brenda. Brenda sedikit gugup akan hal itu.
“Aku menyukaimu Brenda.”
Seketika, Brenda kaget dan sedikit menjauh dari Fred.
“Tenang, aku tahu mengapa kau tak mendekati manusia. Karena kau Vampire bukan? Kau takut akan mencintai mereka kan? Tapi, aku adalah Vampire. Percayalah.” Seketika Fred berucap seperti itu, Brenda semakin kaget. Apakah benar semua perkataan Fred itu benar? Pikirnya.
“Ya, itu semua benar. Lihatlah telapak tanganku ini.” Fred menyondorkan kedua telapak tangannya. Benar saja, terdapat garis zig-zag di jari-jarinya. Walau tipis, tapi cukup terlihat.
“Aku percaya.” Brendapun mulai mendekat pada Fred. Fred menyondorkan tangannya pada Brenda. Dengan ragu, Brenda membalas dengan menggandengnya.
“Aku juga menyukaimu dari dulu Fred. Hanya saja, aku takut cinta kita tak bisa.”
“Itu tak mirip kupu-kupu. Lebih mirip denganmu, Haha.” Arthur mencolek bahu Catrine. Dia hanya tersipu.
“Kapan lagi ya, kita bisa seperti ini?” Catrine berucap seraya menarik nafas panjang.
“Setiap haripun bisa.” Jawab Arthur datar. Catrine hanya sedikit meliriknya yang sedari tadi memandang lurus ke atas.
“Tentu tak setiap hari bisa sesempurna ini. Jarang-jarang bagiku menikmati langit senja yang indah ini. Rasanya tenang sekali. Aku nyaman berbaring seperti ini di sini. Seperti ingin selamanya menikmati keindahan dunia. Walau bisa dikatakan ‘penganguran’ tapi, aku bahagia bisa berbaring di sini. Bersamamu lagi.” Catrine sedikit mendesah lebar. Seketika dia menatap Arthur. Dia palingkan pandangannya ke langit. Arthurpun menatapnya.
“Aku lebih bahagia jika di sini, bukan sekedar menikmati saja. Tapi, menjadikan hal yang tak pernah kita lupakan. Seperti yang aku bilang, hiduplah dengan indah.” Ucap Arthur membalas ucapan lebar Catrine.
“Hiduplah dengan indah, walau terkadang bagi kita tak indah. Seperti hidupku. Berusaha ku indahkan.” Catrine berucap lirih.
Arthur menatapnya sendu. Catrine terlihat sedikit murung. Dari wajahnya sudah terlihat.
“Aku akan menyempurnakan kebahagiaanmu.”
“Tak akan bisa Arthur.” Jawab Catrine dengan suara parau.
“Akan ku usahakan.”
“Tetap tak akan bisa.” Catrine bersikeukeuh.
“Apakah kau melarangku untuk membahagiankanmu, Catrine?”
“Bukan aku.”
“Lalu?” Tanya Arthur singkat.
“Takdir yang melarangnya. Kau tak mengertikan? Aku dapat menebaknya. Suatu hari kau akan mengerti. Jadilah manusia yang baik. Bukan yang buruk.” Sesaat Catrine berucap, Arthur semakin tak mengerti apa yang diucapkannya.
“Ada apa padamu? Mengapa kau sedikit berbeda?” Tanya Arthur penuh selidik. Catrine hanya tersenyum sambil menahan bendungan air mata yang hampir pecah.
“Aku ingin kau menjadi orang yang baik Arthur. Aku tak ingin kau di benci. Biarlah kau tak pintar, asalkan dirimu berlaku baik. Daripada kau cerdas, tapi kau tak memiliki moral. Dan ku mohon. Berbahagialah Arthur. Jangan pernah menyesali apa yang terjadi padamu. Jangan pernah melanggar.”
“Tapi, kebahagiaanku adalah dirimu, Catrine. Bagiku, denganmu saja sudah cukup membuatku bahagia. Walaupun kita di sini hanya berbaring saja, tapi hal ini akan selalu berputar diingatanku. Aku tak akan bisa melupakannya, walaupun itu hanya sekejap mata berkedip.” Ujar Arthur. Catrine hanya terpaku di samping Arthur. Dia tak kuasa memandangnya. Dia terlalu sedih melihat wajahnya. Entah karena ada apa dia seperti itu. Yang pasti, di hatinya tergores masalah.
“Catrine…” Panggil Arthur lirih. Catrine hanya sedikit melirikkan bola matanya ke arah Arthur. Setelah itu, dia kembali ke posisi semula.
“Catrine, aku ingin kau menganggapku lebih dari teman, bukan sahabat, bukan saudara dan bukan keluarga. Aku ingin, aku menjadi seseorang. Bukan seseorang yang di benci. Tapi, seseorang yang istimewa untukmu. Yang bisa membuatmu tenang.” Lirih Arthur. Sejenak, suasana hening. Tak satupun saling melontar kata. Hingga Catrine menjawabnya.
“Kau sudah ada di sana. Tapi aku harap kita bisa melakukannya.”
“Mengapa ‘harap’? Jika aku sudah ada di sana, mari tinggal kita mulai saja. Itu tak mustahil dilakukan.” Jawab Arthur sekenanya. Kini, Catrine malah memecahkan tangisannya. Arthur semakin bingung dengan tingkahnya.
“Kau menangis, ada apa?” Lanjut Arthur seketika.
“Kita tak bisa. Tak bisa. Aku kecewa.” Ujar Catrine sedikit lirih sambil berlinangan. Air matanya perlahan turun dan membasahi pipinya. Arthurpun bangun dari tidurnya dan segera menyeka air mata Catrine.
“Berhenti menangislah malaikat kecilku.” Lirih Arthur sambil mengusap kepala Catrine yang tersandar di atas rerumputan. Dia lalu mengangkat kepala Catrine agar tersandar di pahanya. Namun, Catrine tak bisa menahan air matanya. Walau dia tak sampai sesenggukan, tapi dia merasa sangat sedih. Dan entah hal apa yang membuatnya sangat sedih.
“Aku ingin kau tak di benci. Aku ingin kau selamat.” Lanjut Catrine.
“Sudahlah, kau malah menangis. Apa sebabnya sayangku? Oh iya, kau tahu? Menjadi makhluk-makhluk yang ada di buku ini sepertinya seru ya? Aku ingin.” Gumam Arthur sambil terus mengusap-usap kepala Catrine.
“Aku lebih menyukai dirimu yang seperti ini. Aku tak peduli siapa kau, bagaimana keadaanmu, aku akan tetap menyukaimu yang seperti ini. Jangan pernah berubah.”
“Sebenarnya ada masalah apa Catrine? Mengapa wajahmu tiba-tiba lusuh sekali? Kau jelek sekali seperti itu. Tapi tetap lucu.” Ujar Arthur sambil mencubit pipi sebelah kanan Catrine. Namun Catrine tetap diam.
“Kau masih diam? Apa yang bisa membuatmu tersenyum?” Seketika Arthur berucap tersebut, Catrine langsung bangun dan berlalu. Namun,
“Bukk.” Sebuah buku tebal tanpa sadar terjatuh dari tas Catrine. Arthurpun segera mengambilnya. Tadinya, dia akan mengembalikannya pada Catrine. Tapi, dia terlanjur sudah pergi. Arthurpun sedikit penasaran dengan buku yang dia pegang. Diapun mulai membuka-buka buku tersebut. Tiba-tiba, sebuah buku kecil terjatuh dari buku tersebut. Ternyata Catrine menyelipkan buku lagi di sana.
Arthurpun mengambilnya dan mulai membaca judul buku tersebut. Tertera di sana ‘THE DARK FIRE DEATH FIRE’.
Catrinepun duduk di samping Arthur lemas. Dia langsung menyandarkan kepalanya ke atas meja berbantal tangan. Terlihat, Brenda dan Fred sedang berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka bercanda bersama.
“Hay Arthur,” Sapa Brenda hangat. Arthur tersenyum pada Brenda. Seketika dia menatap Fred, dia menunjukan tatapan benci.
“Ada apa Arthur?” Tanya Brenda selidik. Arthurpun memalingkan wajahnya pada Brenda.
“Dia pacarmu? Hati-hati! Dia bisa berbuat macam-macam padamu. Dia laki-laki berengsek!” Sahut Arthur sambil terus menunjukan tatap sinis. Brenda hanya bengong melihat tingkah Fred dan Arthur yang membuatnya kebingungan. Sementara Catrine, dia hanya terduduk lemas. Sebelumnya, dia tak pernah melihat Catrine seperti itu. Tadinya, dia ingin mengembalikan buku yang kemarin terjatuh. Buku itu juga seperti sebuah diary. Namun, dia tak mengerti dengan tulis tangannya. Hal-hal yang ada di sana membuatnya heran. Niatnya, dia ingin bertanya soal itu, namun, dia tak ingin menggangu Catrine yang sepertinya sedang sakit.
“Catrine, apa yang kau lakukan?” Tanya Arthur. Seketika, Catrine terkejut dan wajahnya bertambah pucat pasi. Dia tergugup, kini, jalan rahasia menuju Dark Fire sudahlah diketahui Arthur. “Kau akan pergi ke tempat yang di sebut Dark Fire itukah?” Lanjut Arthur lagi. Catrine langsung meloncat ke samping Arthur dan langsung membungkam mulut Arthur.
“Jangan terlalu keras. Ayo masuk.” Catrinepun mengiring Arthur masuk ke dalam peti itu, lalu dia mulai menutup rapat-rapat pintu peti.
“Mengapa kau tahu hal ini?” Catrine perlahan mulai berubah bentuk. Bentuknya tiba-tiba menjadi sedikit menyeramkan. Arthur tiba-tiba terhenyak.
“Ka.. ka.. u ma.. khlu.. luk purnama i.. it.. itu?” Arthur berubah gelagapan melihat perubahan drastis Catrine.
“Tenanglah, aku tak akan menyakitimu. Mengapa kau mengetahui Dark Fire?”
“Aku? Oh ya, maaf aku membacanya tanpa seizinmu. Buku ini kemarin tertinggal di taman. Aku ingin mengembalikkannya padamu, kau sudah berlalu dan aku tak tahu di mana rumahmu. Tadi juga kau tak sama sekali berbicara padaku. Ada apa? Akupun tak mengerti tulisan di buku itu.” Arthur berbicara panjang lebar. Entah mengapa, melihat Catrine, dia tak takut sedikitpun. Dia percaya, Catrine tak mungkin menyakitinya.
“Maaf aku mungkin tak memberitahumu sebelumnya. Aku sebenarnya seorang Vampire. Aku hanya ingin mencoba menjadi makhluk bumi. Ternyata, aku mencintaimu. Inilah kesalahan terbesarku. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Demi kau, aku rela melakukan apa saja. Hingga akhirnya, ini adalah hari terakhirku menjadi seorang manusia. Maka dari itu, aku ingin mencoba membencimu dengan cara menghindarimu. Tapi ternyata, itu semua tak berbekas. Rasa cintaku padamu sudah berakar kuat. Tak bisa ku cabut. Walau aku mengerti, rasa ini terlarang bagi kita, tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi. Yang aku inginkan sekarang adalah, pulanglah kau. Aku bahagia menjadi manusia. Hati-hati, malam ini malam purnama pertama. Kau jangan pernah berkunjung ke negeriku. Dan aku tak akan pernah berkunjung lagi ke negerimu. Itu karena, aku tak tahan panas.” Ucap Catrine lebar. Seketika Catrine akan turun menuju Dark Fire, tiba-tiba Arthur menarik tangannya.
“Aku ikut.”
“Jangan!” Bantah Catrine.
“Aku ingin merasakan menjadi Vampire sepertimu.” Ucap Arthur seketika. Catrine tampak bingung. Jika dia mengajak Arthur, Arthur bisa saja di bunuh.
“Ayolah Catrine. Oh ya, kau bilang di diarymu, kau mencuri buku. Apakah itu benar?” Tanya Arthur. Catrine hanya mengangguk pasrah. Dia tahu, sepulangnya dia dari bumi, dia pasti akan di hukum. Apalagi jika mereka mengetahui Catrine mencuri buku mantera yang berjudul ‘Alhakazibaee’. Buku mantera paling lengkap dan sangat terlarang.
“Kau bisa membantukukan untuk menyelamatkanku?” Catrine bertanya pada Arthur. Sementara Arthur, dia hanya tersenyum.
“Apapun itu, aku siap menyelamatkanmu Tuan Putri Edelweis.” Rayu Arthur pada Catrine. Ya, benar dialah Catrine. Putri Raja Philip. Dia bernama lengkap ‘Catrinena Edelweiss Aphiliep’. Dengan marga Aphiliep, raja Dark Fire yang pertama.
Sementara di luar, para prajurit kerajaan Dark Aphiliep Fire sudah berkumpul di bawah gerbang Dark Fire. Gerbang itu sejajar dengan peti yang ada di pemakaman umum Erif Krad. Karena apabila dibaca dari kanan akan terbaca ‘DARK FIRE’. Bersamaan para prajurit yang sudah siap siaga untuk menangkap Catrine dan menghukumnya. Sementara, Catrine masih tak tahu itu.
“Kau di sini saja dulu. Sebelum aku memberitahumu, kau baru boleh keluar.” Ucap Catrine. Arthur hanya mengangguk mengerti. Catrinepun segera turun untuk kembali menuju Dark Fire.
Seketika Catrine turun, beberapa detik kemudian, terdengar suara jeritan.
“Aaaaa, lepaskan! Aku tak mau! Lepaskaaaaannn!” Ya, itu Catrine, Tapi, ada apa? Haruskah Arthur keluar? Tapi, keadaan seperti tak aman, pikir Arthur. Tapi, dia begitu khawatir.
Otak Arthur sudah tak karuan. Dia bingung, resah. Dia khawatir pada Catrine. Dia benar-benar resah. Keluar atau tidak, keluar atau tidak. Pilihan yang cukup sulit baginya. Seketika dia hendak turun untuk keluar, tiba-tiba sesuatu menimpanya.
“Bukkk.”
“Aduhh..” Seseorang mendesah. Tiba-tiba sesuatu yang ada di depan Arthur berdiri.
“Maafkan aku, maaf aku terlalu terburu-buru.” Ujarnya lirih sambil terdunduk.
“Sia.. pa k.. au?” Lagi-lagi Arthur tergagap kembali. Dia takut makhluk itu akan menangkapnya.
“Aku Brenda. Tenanglah jangan takut.” Ucap Brenda menenangkan. Arthur tambah bingung. Sebenarnya, siapa saja di antara mereka seorang Vampire?
“Argghh.. Aku tak mengerti ini. Catrine Vampire, kau Vampire, lalu siapa lagi Vampire? Mengapa kalian datang ke bumi?” Keluh Arthur sambil memutarkan bola matanya.
“Kau tahu, begini ceritanya. Aku adalah seorang mata-mata dari kerajaan Virheesa. Aku di suruh raja di sana untuk memata-matai Putri Edelweis. Ketika aku memata-matainya, dia sedang melakukan sebuah ritual. Ritual itu adalah, ritual pelepasan dan pemasukan nyawa. Dia sedikit memasukan nyawa manusia yang dia bawa dari bumi. Memang, malam itu tepat malam purnama pertama. Jadi, tak ada yang mengetahui hal itu kecuali aku. Setelah itu, aku penasaran apa yang dilakukannya. Raja Varheesa sudah mempercayaiku untuk menjadi seorang mata-mata. Terpaksa saja, aku juga harus melakukan ritual itu. Rasanya sakit sekali. Hampir-hampir aku mati atas kejadian itu. Akhirnya aku bisa terus memata-matainya. Sebelumnya, aku tak percaya Putri Edelweis rela melakukan ritual yang menyakitkan itu. Dia hebat sekali. Sebagai seorang Putri, aku tak percaya. Dan akhirnya aku terus mengikutinya. Dan aku tahu apapun yang dilakukannya.” Jelas Brenda.
‘Pantas saja waktu aku berjalan di trotoar berdua sewaktu hujan dia ada. Huh.’ Batin Arthur.
“Lalu, mengapa pernah satu hari kau tak sekolah? Ada halangan apa?” Tanya Arthur. Brenda hanya sedikit menarik nafas.
“Waktu itu ya, waktu itu Putri Edelweis di hukum di kurung dalam kamarnya selama tujuh hari. Dan aku tak bisa memata-matainya. Tapi, dia masih bisa saja pergi ke bumi. Dan setelah tiga hari, aku baru tahu itu.” Jelas Brenda lagi. Arthur jadi tak mengerti yang Brenda bicarakan.
“Lalu, mengapa dia bisa keluar dari kamarnya?”
“Hmm, dia mempunyai buku mantera paling lengkap. Tentu dia bisa. Dia itu pandai Arthur.” Jelas Brenda lagi. Arthur jadi semakin tak mengerti.
“Arghh, apa hubungannya semua ini? Mengapa mereka membunuh manusia pada malam purnama?”
“Apakah aku harus bercerita lagi?” Brenda mengeluh. Arthur semakin penasaran dengan semuanya. Dia hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, begini.” Brenda mengambil nafas panjang terlebih dahulu.
“Zaman dahulu, manusia, vampire, hewan dan tumbuhan adalah saudara. Mereka membuat perjanjian agar tak saling berperang. Namun, ketika kehidupan mereka disatukan dengan empat raja masing-masing, manusia merasa iri dengan kepandaian Vampire. Vampire lebih pandai dari manusia. Sehingga, manusia mempunyai rencana untuk memerangi bangsa Vampire. Karena mereka fikir, bangsa manusia bisa maju tanpa Vampire. Akhirnya, bangsa manusia menceritakan hal itu pada bangsa hewan dan bangsa tumbuhan. Bangsa hewan setuju saja, namun bangsa tumbuhan tak menyetujuinya. Sehingga ketika mereka akan melaporkan hal itu pada bangsa Vampire, namun, bangsa manusia terlanjur mengetahuinya. Pada akhirnya, dia menghukum semua bangsa tumbuhan menjadi diam dan bisu. Mereka layaknya patung. Mereka hidup, namun tak nampak hidup. Melihat itu, bangsa hewan merasa bangsa manusia sangat licik. Karena itu pula, bangsa manusia mengutuk semua hewan menjadi bodoh dan tak dapat berbicara seperti kita. Hingga yang terakhir, manusia memerangi bangsa Vampire. Dan dalam perang itu, bangsa Vampire kalah. Itu karena bangsa Vampire tak mengetahui bahwa manusia akan menyerbu dan membantai bangsa Vampire. Hingga bangsa Vampire yang bisa selamat, diasingkan ke alam di bawah simetri bumi dan diubah menjadi menyeramkan seperti ini. Namun, bangsa Vampire tetap mencari cara untuk mengalahkan manusia. Hingga banyak cara dan kegagalan yang kami terima. Sampai akhirnya, kamu menemukan api hitam. Dan itu membuat kami kuat. Dan nama itu, dipakai menjadi nama tempat ini. Dark Fire. Dan seseorang yang menciptakan api kegelapan, dia diangkat menjadi raja. Dia bernama Aphiliep. Aphiliep Drakun. Dia Vampire terpandai yang pernah ada. Namu, dia di bunuh.” Jelas Brenda sedikit terisak. Kejadian itu benar-benar membuatnya kecewa pada manusia.
“Sekejam itukah?”
“Ya, manusia kejam sekali. Hingga kami, bangsa Dark Fire ingin menuntut balas. Maka dari itu, kami selalu memburu manusia di malam purnama. Bukankah itu wajar?” Lirih Brenda. Arthur hanya terdiam. Tak percaya jika manusia benar-benar seperti itu.
“Tapi, tak semua manusia sekarang seperti yang kau bayangkan. Mereka tak tahu hal itu.” Ucap Arthur. Brenda hanya memandangnya hampa.
“Aku tahu, kau salah satunya.” Jawabnya datar.
“Omong-omong, siapa yang membunuh raja Aphiliep? Apakah manusia?” Tanya Arthur pada Brenda. Sementara Brenda hanya menggeleng kecil.
“Diam Putriku. Kau hanya tinggal memilih pilihanku. Kau menikah denganku, atau kau mati di tanganku? Hhahaaha.” Tawanya menggambarkan khas kejahatan.
“Tak pernah sudi aku melihatmu sajapun. Apalagi aku harus menikah denganmu!”
“Diam!” Fred berucap lantang. Suaranya menggema ke sudut-sudut ruangan.
“Jika kau ingin hidup, menikahlah denganku. Aku tak akan memaksamu jika kau ingin mati sekarang. Hahaha.”
Catrine berfikir panjang, jika dia mati, keadaan Dark Fire pasti akan sangat berantakan. Tapi, dia tak mau jika harus menikah dengan Fred. Satu-satunya orang yang dia cintai adalah Arthur.
Sementara di tempat lain, Arthur dan Brenda sedang menuju perpustakaan Nelfaqui dengan para Vampire mengejar-ngejar mereka.
“Aku sudah terlanjur lelah Brenda.” Arthur mengeluh sambil berhenti sejenak. Brenda ikut berhenti. Namun, dia langsung menarik Arthur lagi.
“Cepat! Kau pria Arthur. Aku yakin, kaulah yang akan mengalahkan penguasa api hijau. Kaulah. Kita harus segera pergi ke perpustakaan itu untuk menyelesaikan mantera Raja Aphiliep. Cepat! Sebelum Vampire itu menangkap kita.” Brenda berucap sedikit ngos-ngosan. Dia memang kelelahan, tapi, apa boleh buat? Dia harus segera sampai di perpustakaan Nelfaqui. Apapun yang terjadi, mereka harus segera sampai. Walau kini, ribuan Vampire mengiring mereka dari belakang.
“Aww.” Tiba-tiba Arthur terjatuh. Sepertinya, sebuah panah tertancap di kakinya. Dia benar-benar tak bisa berdiri akibat panah itu.
“Arthur, apa yang terjadi?” Brenda kaget melihat Arthur yang tiba-tiba saja terjatuh.
“Lihatlah, panah ini menancap di kakiku. Sangat sakit. Aku tak bisa berdiri.” Arthur mengeluh, darah mulai berceceran di kakinya. Brendapun perlahan memcabut panah itu dari kakinya.
“Diam ya, aku akan mencabutnya. Kau jangan bergerak. Walau sakit jangan. Jika kau bergerak, kau akan merasa semakin sakit.” Nasihat Brenda. Perlahan, mulai dia cabut panah itu. Arthur sedikit meringis merasakan sakit. Tampaknya dia menahan sakitnya.
“Aww.” Seketika panah tercabut, mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka, walau kaki Arthur dalam keadaan tak baik.
“Baiklah Brenda, jangan terlalu cepat. Ini sakit.”
“Aku tahu. Tapi harus bagaimana lagi. Tinggal 100 meter lagi kita menuju perpustakaan. Itu tak jauh. Jadi, segeralah. Lihat, Vampire itu semakin dekat. Ayoo!” Brenda terus memaksa Arthur. Meski kakinya sakit, namun dia terus memaksakan. Hingga akhirnya, mereka sampai di perpustakaan dengan selamat. Ya, selamat kecuali kaki kiri Arthur.
Merekapun cepat-cepat masuk dan mengunci perpustakaan.
“Hati-hati Arthur. Di sini banyak perangkap. Kau harus sangat memperhatikan langkahmu. Dan biarkan lukamu ini ku perbani. Karena, bisa saja tetesan darah yang terjatuh ke lantai membuat mantera.” Brendapun memperbani kaki Arthur. Memang sakit. Namun, sebisa mungkin ditahannya.
“Sudah, ayo kita cari.” Brendapun menarik Arthur untuk berdiri. Merekapun segera berjalan perlahan mencari buku mantera yang terlanjur tak diselesaikan oleh Raja Aphiliep.
“Kita cari kumpulan buku karya Raja Aphiliep. Jika kau menemukan buku setengah jadi, beri tahu aku ya.” Pinta Brenda. Arthur hanya mengangguk mengerti.
Lama-lama mereka mencari namun tak ada. Sampai mereka mendengar pintu perpustakaan di dorong.
“Bukk.. Bukk.”
“Arthur sedikit cepat, mereka sudah mencapai pintu.” Brenda sedikit tergesa-gesa. Begitupun Arthur. Ketika pintu hampir terbuka,
“Aku dapat.”
“Buurr” Seketika Arthur menarik bukunya, sekawanan kelelawar menimpanya. Begitupun pintu. Pintu tiba-tiba terbuka.
“Arthur benarkah itu bukunya? Cepat!” Brendapun menarik Arthur lalu mengambil bukunya dan berlari.
“Benar ini. Kamu hebat Arthur.” Ucap Brenda sambil terus berlari.
“Tentu saja aku hebat haha,” Canda Arthur. Brenda malah menggetok kepalanya.
“Saat ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Cepat, kelelawar dan Vampire itu mengejar kita.” Brenda berucap sambil membuka-buka lembaran buku.
“Kita tak bisa berlari terus seperti ini. Lukaku rasanya semakin sakit saja. Kita harus mengalahkan mereka. Adakah di sana cara untuk mengalahkan mereka?” Tanya Arthur sambil berlari terpogoh-pogoh. Tampaknya, sekawanan Vampire semakin dekat. Walau para kelelawar sudah tak menerjang mereka lagi, tapi Vampire itu semakin banyak.
“Setahuku, mereka takut api dari bumi.”
“Tapi, bagaimana aku mendapatkan api? Apa di sini ada kayu?” Tanya Arthur masih sama, terpogoh-pogoh.
“Ya, di depan akan ada obor hitam. Kau padamkan saja apinya. Tapi, aku tak punya korek api.” Brenda masih mencari-cari mantera yang tak selesai itu.
“Tenang saja aku membawa pematik.”
“Kau suka merokok Arthur?”
“Tak, aku senang mengkoleksinya saja. Di depan ya aku bawa obor?”
“Ya, bawa! Awas jangan di dekatkan padaku aku tak tahan panas.” Ucap Brenda. Arthurpun segera berusaha memadamkan api hitam itu dengan memukul-mukulkannya ke arah benteng yang ada di sampingnya. Sementara, Vampire-Vampire semakin dekat.
“Cepat Arthur!” Brenda terus berlari namun Arthur berhenti.
“Pergi! Cepat pergi! Biarkan aku yang mengurus Vampire-Vampire itu.” Titah Arthur. Namun Brenda, dia membantah.
“Tidak Arthur. Aku tak bisa membiarkanmu sendirian. Kau bisa mati. Sebaiknya cepat kita berlari.” Ucap Brenda. Arthurpun cepat berlari lagi. Berpuluh-puluh panah meleset cepat ke arah mereka. Namun, beruntung tak ada yang terkena.
“Aww.” Seketika, panah itu melesat ke arah tangan kanan Brenda yang sedang merangkul buku. Buku itu terjatuh. Arthur segera mengambil buku itu. Namun, Vampire-Vampire itu mengepungnya. Dari belakang. Brenda tampak kebingungan. Dia mondar-mandir tak menentu.
“Aku tahu.” Brendapun segera mengambil obor hitam dan melemparkannya ke arah Vampire-Vampire yang mengepung Arthur. Dan akhirnya, merekapun selamat. Mereka kembali berlari sambil terus memcari-cari mantera yang dapat mengalahkan penguasa api hijau itu.
“Di sini tertulis, banyak orang yang mati akibat mencoba menyelesaikan mantera tersebut. Walaupun hanya satu kata, tapi tak ada yang bisa menyelesaikannya. Mantera itu adalah ‘Alhakazabaee Wavknockkat Opzaabaeehqui Drakun azmtaqujiem… Begitu.” Ucap Brenda sembari membaca tulisan yang tertera di buku tersebut.
“Apa artinya?” Tanya Arthur. Brenda hanya menggeleng menandakan tak tahu. Sembari berfikir, mereka berlari. Namun, seperti ada keanehan ketika Brenda mengucapkan kata tadi. Rasanya, dia pernah mendengar dan membaca kata itu.
“Sreetttt.”
“Bukk.”
“Brenda!” Arthur terkejut melihat Brenda kini yang terjatuh akibat kakinya tertusuk panah.
“Awww.” Brenda terus merintih. Arthur kini yang bingung harus berbuat apa. Namun, terlihat Brenda tampak tak bisa berdiri dan kesakitan. Dia mengerti apa yang Brenda rasakan. Sama seperti dia tadi. Tapi, walaupun dia memaksakan diri untuk berlari, dia tak tega jika Brenda yang harus berlari. Dia tak tega karena Brenda itu wanita. Tak aneh, jika Arthur masih kuat, tapi wanita?
“Ayo biar aku gendong.” Ucap Arthur sambil mengulurkan tangannya. Brenda hanya menggeleng.
“Pergilah, aku hanya akan memperlambat gerakmu saja!” Bantah Brenda. Tapi Arthur tetap bersikeras menggendong Brenda. Dia berlari terpogoh-pogoh sambil terus menggendong Brenda. Brenda hanya diam di punggung Arthur. Arthur sedikit tersenyum dan terus berlari menembus malam. Walau sekawanan Vampire mengiring di belakangnya sambil terus berterbangan.
“Sssrrttt.”
“Brukkk.”
Seorang Vampire melesat menarik Brenda hingga dia di bawanya.
“Brenda!” Arthur memanggil-manggil Brenda. Brenda terlihat meronta-ronta meminta di turunkan. Namun, Vampire itu terus membawanya terbang. Tanpa sadar, kumpulan Vampire sudah tinggal beberapa meter lagi darinya. Arthurpun terus berlari dan berlari. Karena satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah itu.
“Bukk.” Seketika, kakinya tersangkut ranting. Kini, perban yang menutupi kakinya sobek dan lukanya berdarah lagi. Dia merintih kesakitan sambil terus merangkak sebisa mungkin menyelamatkan diri. Rasa sakit yang dia alami sekarang dia tahan. Walau kini darah terus menerus tertumpah dan berceceran di tanah. Seketika, sekawanan Vampire itu sudah mengepungnya lagi. Kini, merangkakpun dia sudah tak kuasa. Kakinya benar-benar seperti mati rasa. Sekawanan Vampire itu sudah menjilat-jilat lidah melihat darah yang berceceran di kaki Arthur. Mereka benar-benar haus darah. Seketika, mereka hampir mendekat ke arah Arthur. Diapun ingat obor dan pematik yang dia bawa. Diapun segera menyalakan pematik itu. Dan akhirnya menyala.
Dia mengibas-ngibaskan api ke arah para Vampire itu. Seketika, para Vampire itu berloncatan ke panasan.
“Rasakan ini Vampire-Vampire bodoh!” Vampire-Vampire itu tampak meleleh. Arthur sedikit merasa senang dengan awal kemenangannya.
“Waw, ternyata kau sedikit menang. Untung aku tak membawa kertas mantera. Vampire ini tak seperti Vampire Cina. Hey! Rasakan ini!” Arthur terus mengibas-ngibaskan api walau dalam keadaan lemah kakinya. Dia mencoba berdiri. Dan sepertinya dia bisa walau lututnya sedikit lemas.
Diapun mulai berjalan walau tertatih-tatih. Dia terus mengingat-ingat mantera itu sambil terus memegang obor. Dia tampak begitu fokus menghafal mantera itu. Mantera tersebut memang sulit sekali di hafal. Tapi, demi menyelamatkan Catrine, orang yang dicintainya, dia rela melakukan apapun.
Ketika sedang tenang-tenangnya, lagi-lagi Vampire itu melesat di atasnya.
“Aaaa.” Tiba-tiba semua bayangan di depannya berubah menjadi HITAM.
Seketika penguasa api hijau itu berbalik menatap Arthur, dia menyeringai. Menatap Arthur sinis. Arthur tampak mengenal pria itu. Tapi dia siapa?
“Bukankah kau adalah Fred?” Tanya Arthur serius sedikit bingung. Penguasa api hijau itupun mendekati Arthur dengan senyum licik.
“Kau pandai mengingat wajah seseorang!” Serunya sembari menepuk pundak Arthur. Arthur menepis tangannya dan tetap memandangnya penuh kebencian. Dia benar-benar terlanjur sangat membenci Fred. Sangat-sangat dan sangat sekali.
“Fred! Entah mengapa, dari awal aku ingin sekali membunuhmu di depan mataku ini. Aku sudah memperkirakakan semuanya. Kau yang ku kira busuk ternyata lebih busuk dari yang ku tahu. Aku tak pernah tahu mengapa aku membencimu sekali. Aku ingin kau mati sekarang di sini!” Lantangh Arthur. Catrine semakin bingung. Dia tak yakin dengan keadaan Arthur jika Arthur bisa menang. Keadaannya sekarang benar-benar mengkhawatirkan.
“Arthur jangan!” Catrine membantah. Arthur terlihat tersenyum.
“Tenanglah Catrine. Aku akan menyelamatkanmu.” Arthur berucap mantap. Fred menertawainya.
“Hahah, kau boleh mengambilnya jika kau menang. Dan jika kau kalah, dia akan ku nikahi.”
“Tak sudi aku!” Catrine langsung menyela cepat.
“Tak masalah. Mungkin kau akan ku bunuh hahaha.” Tawa Fred menggelegar. Arthurpun mulai bangkit dan menunjukan kepriaannya.
“Tenang Catrine, aku akan mengalahkan pria brengsek dan sialan itu!” Arthur kembali berucap mantap. Pertarunganpun di mulai. Arthur bersiap-siap untuk bertarung dengan Fred. Di tengah kerumunan para Vampire, dia bertarung. Seketika, Arthur langsung berlari memukul Fred.
“Bukk.” Hantaman keras mendarat di pipi kana Fred. Fred tersungkur. Diapun mengangkat sedikit wajahnya.
“Vampire seraaanngg!” Fred menunjuk ke arah Arthur. Tiba-tiba ribuan Vampire mendekati Arthur. Begitupun Raja Philip. Ternyata mereka telah di hipnotis dan dikendalikan oleh Fred dengan mantera terlarang.
“Kau telah membunuh Ayahku! Tidak! Kau membunuhnya. Kau memebunuhnyaaaa!” Catrine berteriak. Seketika, Arthur berubah menjadi manusia kembali.
“Apakah aku telah membunuh mereka semua?” Arthur gelagapan tak percaya yang terjadi. Dia menatap tangannya. Dia benar-benar tak sadar itu.
“Kau membunuh Ayahku!”
“Aku membunuhnya? Maafkan aku, aku tak sadar.” Arthurpun tertunduk. Nampaknya, Vampire-Vampire itu telah dikalahkan Arthur dalam waktu yang sekejap saja.
“Sudahlah,” Catrine tampak mengeluh. Arthurpun sama. Sekejap Catrine mengangkat pandanganya,
“Arthur awasss!” Teriak Catrine. Arthur memalingkan wajah dan..
“Aaaarggh.” Dia terjatuh dan api hijau mengikatnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya kaku. Api hijau mengikatnya kuat.
“Hahah, tak ada yang bisa mengalahkan api hijauku. Api ini ku buat dari tanaman terlarang hahaha. Dan api ini, akan menjadi kehidupan baru yang lebih mengejamkan hahahha.” Fred tertawa licik. Tawanya menggema ke seluruh ruangan. Membuat sebuah goncangan kecil.
“Jadi seperti ini kelicikkanmu Fred. Aku tak pernah menyangka kau seperti itu!” Brenda tiba-tiba menyela di tengah peristiwa ini. Fred segera memandang Brenda. Tetap sama, pandangan sinis. Brenda merasa telah di khianati. Dia kecewa pada Fred. Sementara Arthur, dia mencoba melepaskan api hijau yang semakin lama melilit tubuhnya.
“Rasakan ini Fred! Alhakazambaee Wavknockkak Opzaabaeequi Drakun Azmtoqujiem.. Azmtoqujiem…” Brenda sedikit berfikir. Fred menertawainya.
“Hahaha, kau tak akan bisa melanjutkan mantera buatan Kakakku itu. Hahaha.”
“Azmtaqujiem The Green Fire.” Seketika Arthur berteriak seperti itu, ruangan tiba-tiba gelap. Sebuah petir menyambar sekali lalu keadaan kembali seperti semula. Fred sejenak kaget jika mantera itu berhasil. Namun sepertinya gagal.
“Hahaha, mantera itu gagal. Kau tak akan bisa membunuhku. Kau…” Seketika, ruangan gempar. Gempa bumi besar tiba-tiba datang di sana. Seisi ruangan tersedot sebuah putaran angin. Fred tiba-tiba saja hilang dari pandangan mereka. Angin itu semakin besar dan besar. Ruangan tampak hancur dan berputar-putar. Arthur masih terbaring dengan api hijau yang melilit tubuhnya. Hingga sebuah cahaya yang membuatnya silau dan kepanasan menyambarnya dan sejenak GELAP.
“Tunggu, Catrine di mana?” Arthur segera bangkit dan mencari-cari Catrine. Ruangan benar-benar kacau. Di sana sini banyak dinding-dinding yang hancur dan berantakan. Seketika, dia melihat seorang gadis tergeletak lemas di sana.
“Catrine.” Arthur memanggil nama gadis itu. Tampaknya, gadis itu terluka parah.
“Ar.. rt.. thu.. r.” Ucapnya terbata-bata. Gadis itu berusaha tersenyum pada Arthur. Arthur menitikan air mata ketika melihat orang yang benar-benar dicintainya dalam keadaan sekarat.
“A.. ku b.. ba.. ai.. ik..” Ucapnya menahan rasa sakit dan menenangkan Arthur. Arthur tampak terisak.
“Kau terluka parah Catrine. Biarkan aku mengobatimu.” Ketika Arthur hendak pergi, Catrine menahannya walau dalam keadaan lemas. Arthurpun terduduk di sampingnya. Terlihat Brenda menatapnya sendu. Catrine memegang tangan Arthur. Dia menyelipkan sesuatu di tangannya. Arthur memandangnya nanar. Seketika, Catrine tersenyum lalu tangannya terlepas dan matanya terpejam. Arthur langsung kaget melihat Catrine yang terlihat hampa.
“Catrine, Catrine bangun. Catrine? Catrine apa yang terjadi? Catrine? Catrineeeeeeee!”
Label: Cerpen
Satu-satunya harapanku adalah, ingin menjadi manusia. Sehingga, aku rela mengubah tubuhku menjadi makhluk setengah manusia agar bisa merasakan menjadi manusia. Walau ritual itu terasa sakit, seperti aku kehilangan separuh nyawaku. Tapi, aku sudah bertekad kuat dalam hati. Dan ternyata, aku berhasil. Aku menjadi manusia walau hanya dalam waktu terbatas.
Dari sana, aku bertemu dengan seorang pria. Anak Adam yang aku cintai. Dan tanpa sengaja, dia mengetahui rahasia tentang Dark Fire. Semuanya dia ketahui. Aku berusaha menyembunyikan ini semua agar dia tak di bunuh. Karena ini adalah kesalahanku. Dan kesalahku yang terbesar adalah, membiarkan hatiku mencintai anak Adam itu.”
Catatan Putri Dark Fire.
“Arthur!” Seru seorang gadis yang tengah berjalan di belakangnya.
“Catrine?” Tanya pria itu, sambil melihat gadis yang berdiri di belakangnya.
“Helo, Arthur?” Sapanya manis pada pria yang bernama Arthur itu. Ya, dia Arthur. Seorang siswa dari sebuah SMU di dekat kota ini. Pria ramah ini, memiliki wajah yang cukup tampan. Dia juga tak kalah pintar.
“Helo, kau sedang apa di sini Catrine?” Tanya Arthur manis padanya. Catrine hanya sedikit mengembangkan bibirnya dan menyipitkan matanya.
“Aku hanya ingin berjalan-jalan.”
“Tapi, kau lihat? Cuaca sekarang tak bersahabat sekali. Sepertinya sebentar lagi turun hujan.” Ucap Arthur lagi.
“Byurrr.”
Tiba-tiba saja, hujan turun. Aneh, sesaat Arthur berkata tadi, hujanpun langsung turun. Sekejap, Arthur menarik Catrine ke arahnya. Dia bermaksud untuk menghindar dari hujan.
“Ke pinggir. Hujannya tambah besar.” Ucap Arthur sambil mendekap tubuh Catrine agar tak terkena hujan. Sementara Catrine, hanya menatapnya kaget melihat Arthur mendekapnya. Diapun tertunduk.
“Aku membawa payung.” Catrine mendesah, lalu mengambil benda berwarna hitam dari dalam tasnya. Dia membuka benda itu.
“Ayo kita pulang, aku hanya membawa satu payung, tak masalahkan jika payung ini untuk berdua?” Catrine memegang payungnya dan mengajak Arthur.
“Tak apa. Aku senang bisa berjalan bersamamu.” Ucapnya sambil mengembangkan senyumnya. Catrinepun tersipu malu mendengar pernyataan Arthur.
“Ayo, kita pergi.”
“Sbbrrr.” Tiba-tiba bayangan putih melesat cepat membuat angin di hadapan mereka.
“Apa itu?” Catrine terkaget dan langsung menggenggam tangan Arthur keras. Seketika mata mereka berdua bertatapan. Catrine langsung mengedipkan matanya dan bangun dari lamunannya.
“Maafkan aku, maaf.” Catrine sedikit gelagapan. Arthur hanya sedikit mengelus-elus tangan kirinya dengan tangan kanannya. Mereka berdua sama-sama tergagap melihat kenyataan yang baru saja terjadi.
“Hey kalian sedang apa?” Sebuah suara tiba-tiba menyapa mereka yang sedang saling kebingungan.
“Eh, hay Brenda? Kami.. Umm, tidak sedang apa-apa.” Catrine masih sedikit tergugup. Sementara Arthur hanya tersenyum tipis.
“Kalian sedang merahasiakan sesuatu ya?” Brenda berucap. Matanya seperti sedang menyelidiki.
“Tidak.” Serempak Arthur dan Catrine berucap. Brenda semakin menatap mereka penasaran.
“Ya sudah, aku duluan.”
Brendapun berlalu dengan payung hitam yang sama persis dengan yang mereka pakai. Catrine terdiam sejenak, Arthurpun mengajaknya untuk cepat pulang.
“Ayo pulang. Hujannya tak mau reda.” Arthur menyenggol Catrine sedikit. Catrinepun terkejut. Diapun mengangguk beberapa kali. Arthurpun menggandeng tangannya dan pulang bersama.
Catatan Putri Dark Fire.
Catatan Putri Dark Fire.
“Tapi, kurasa warna mereka putih. Semalam hanya dalam keadaan gelap saja. Jadi warna mereka tak begitu terlihat. Aku sarankan saja, agar kau tak keluar malam pada bulan purnama. Aku takut kau jadi santapan para makhluk-makhluk itu.” Lanjutnya lagi. Catrinepun hanya terdiam di bangkunya sambil menatap langit cerah siang itu. Dia hanya terpaku.
“Kita hanya berdua di sini. Tak akan adakah orang yang mencurigai kita?” Arthur berucap lagi. Kini Catrine memalingkan wajahnya dan tersenyum.
“Mengapa kau harus khawatir dengan hal itu?”
“Tidak saja, ngomong-ngomong, semalam kau kemana? Kau tak lihat kekacauan kota semalam?”
“Aku sudah tidur.” Catrine berucap singkat. Semalam, keadaan kota memang benar-benar kacau. Tiba-tiba saja, dari arah bulan purnama, datang sekelompok makhluk bertaring terbang melesat cepat ke arah kota. Mereka memporak-porandakan seisi kota. Banyak yang menjadi santapan korban jiwa makhluk itu. Ya, mereka adalah penghuni Dark Fire. Entah mengapa, mereka sangat membenci umat manusia dan umat binatang. Tapi, mereka terkadang merasa kasihan pada umat binatang. Karena itulah, hanya sebagian kecil binatang yang menjadi korban hal itu.
“Kau juga, jangan keluar malam. Aku tak mau melihatmu tewas karena jadi makan malam makhluk itu.” Catrine mendesis seraya memengang tangan Arthur. Arthurpun mengenggamnya keras.
“Aku tak akan keluar jika kaupun sama.” Ujar Arthur seketika. Setelah itu, Catrinepun menyadarkan kepalanya ke bahu Arthur.
“Mari kita hidup dengan indah.” Catrine mendesah.
Catatan Putri Dark Fire.
“Saya hanya bersembunyi di suatu tempat Ayah.” Putri Edelweis tertunduk di hadapan raja Philip yang murka saat itu.
“Bagaimana jika kau tak selamat karena terkena sinar matahari? Kau bisa bebas di istana ini. Jika kau tak selamat, siapa yang akan menggantikan Ayah nanti? Ayah tak mempunyai anak lagi selain kamu Edelweis!” Raja Philip sedikit membentak Edelweis. Edelweis tetap tertunduk.
“Saya yakin tempat itu sangat aman. Dan saya tak akan terkena sinar matahari di sana.”
“Tentu saja tak akan karena itu belum terjadi. Dan beraninya kau pergi tanpa izin kepada Ayahmu!”
“Tentu saja Ayah tak akan mengizinkannya!” Kini Edelweis sedikit membentak, Raja Philippun telah mencapai puncak kemarahannya.
“Maafkan aku putriku, tapi ini demi kebaikanmu. Prajurit! Kurung dia di dalam kamarnya selama 7 hari. Dan kunci rapat agar dia tak bisa keluar.”
“Baik Tuan.” Seketika prajurit itu menyeret Edelweis, dia meronta-ronta meminta di lepaskan pada Ayahnya.
“Ayah, maafkan aku! Jangan kurung aku! Arghh lepaskan! Ayah!” Namun rintihannya tak sama sekali di dengar Raja Philip. Dia malah terduduk pasrah melihat kelakuan anaknya yang sungguh di luar dugaannya. Putri Edelweispun pasrah di seret menuju kamarnya. Walau hati kecilnya berkata, “Satu minggu ini, aku tak bisa pergi ke bumi.”
“Arthur!” Catrine memanggilnya. Namun Arthur masih diam.
“Arthur!” Catrine memanggilnya ulang dengan sedikit mengeraskan suara. Namun Arthur masih tetap diam.
“Arthur!!!” Kini Catrine mengguncang sambil berteriak ke arah telinganya. Semua muridpun langsung melongo ke arah Catrine termasuk Arthur. Suaranya memang keras, dan kebetulan saat itu suasana sedang hening.
“Kau kenapa berteriak seperti itu? Aku tak tuli.” Ucap Arthur memecah keheningan.
“Kau melamunkan apa? Aku memanggil-manggilmu beberapa kali, tapi kau tak mendengarnya.” Catrine sedikit memurungkan bibirnya. Arthurpun langsung menariknya keluar kelas.
“Kemana? Pelajaran belum di mulai. Lihat! Mereka melihat kita.” Catrine terus berceloteh melihat kelakuan Arthur yang aneh. Sementara Arthur masih membungkam mulutnya tak mau bicara. Dia terus menarik Catrine menuju tempat yang ditujunya. Catrine hanya mengikutinya saja sambil tetap murung. Hingga mereka sampai di sebuah pintu yang tak asing bagi mereka. Pintu perpustakaan sekolah.
“Duduk di sini. Tunggu aku kembali mencari buku.” Peritahnya pada Catrine. Diapun langsung duduk dan diam menunggu Arthur yang tengah mengacak-ngacak buku mencari buku yang dia cari. Sampai dia menemukan sebuah buku dengan judul ‘ZOMBIE’. Diapun membawa buku itu menuju Catrine.
“Lihat Catrine! Aku menemukan sebuah buku yang sedikit berhubungan dengan makhluk purnama itu. Lihat, ini! Makhluk Erif Krad.” Ucap Arthur seraya menunjuk sebuah gambar yang menurutnya serupa dengan makhluk purnama itu.
“Bukankah Erif Krad itu tempat pemakaman umum di daerah dekat rumahku?” Catrine berujar. Seketika, Arthur langsung menatap Catrine.
“Mungkinkah makhluk itu datang dari bawah pemakaman itu?” Ucap Arthur penuh tanya. Catrine sedikit berfikir.
“Itu hal yang mustahil.” Ucapnya datar. Arthur hanya mengerungkan dahinya.
“Tapi itu bisa jadi.” Arthur lebih meyakinkan lagi.
“Ayo kita baca keterangannya, lihat!
‘Makhluk ini biasa hidup di tempat gelap. Mereka menjadikan darah segar sebagai makanan sehari-hari mereka. Mereka tinggal di bawah si..” Tak sempat Arthur menyelesaikan bacaannya, Catrine langsung menutup buku yang mereka baca dan menarik Arthur keluar dari perpustakaan.
“Hey, mengapa sekarang kau yang menarikku? Aku belum selesai membaca!” Kini malah Arthur yang berceloteh tentang tingkah aneh Catrine.
“Ayo cepat lari! Kau tak ingat sekarang pelajaran siapa?”
“Ya ampun, kau benar Catrine.”
Catatan Putri Dark Fire.
Dia mulai melambatkan langkahnya perlahan. Mulai dia membaca nama-nama yang tertera di nisan yang terdapat di sana. Sambil memegang sebuah buku, dia menyamakan nama yang tertera di sana. Dia pergi ke sana karena penasaran akan yang seorang gadis lakukan di sana. Ya, gadis itu adalah gadis yang dia sukai. Dia terus mencari-cari nama yang serupa dari buku dengan nisan-nisan di sana. Entah apa yang membuang rasa takutnya, sehingga malam begini, dia berani pergi ke pemakaman umum sendirian.
“Hay?” Sapa Catrine sambil memamerkan ke lima jarinya. Fred tersenyum manis. Sementara Arthur hanya termenung.
“Aku Fred, siapa namamu?” Fred menyondorkan tangannya. Catrinepun menjabatnya hangat. “Catrine.”
“Lengkapnya?” Tanya Fred lagi.
“Apakah itu penting?”
“Hmm, namamu siapa?” Fredpun bertanya pada Arthur. Tampaknya, dia hanya mendongak malas.
“Dia Arthur.” Catrine mewakilinya. Arthurpun kembali menatap langit.
“Salam kenal saja.” Ucap Fred. Diapun kembali ke posisi menghadap ke depan.
“Siapa namamu?” Tanya Fred pada Brenda dengan pertanyaan yang serupa.
“Kau bisa memanggilku Brenda.” Ucap Brenda sedikit ketus. Fred hanya tersenyum kecil.
“Rumahmu di mana?” Fred memulai percakapan dengan Brenda yang sedari tadi menulis.
“Kau akan menerorku?”
“Hahah, apakah wajahku seperti penjahat?” Fred tertawa renyah. Brendapun tersenyum simpul.
“Kelihatannya.” Sahut Brenda singkat. Fredpun melihat ke arah kertas yang sedang ditulisi oleh Brenda.
“Kau menulis apa?”
“Yang kau lihat aku sedang menulis apa?”
“Aku tak bisa melihatnya.” Jawab Fred. Brenda hanya menarik nafas pendek. Fredpun kembali menghadap Catrine dan Arthur yang tengah bercanda.
“Hay, boleh aku ikutan?” Fred menanyai mereka hangat. Lagi-lagi Arthur kembali termenung.
“Tentu saja, kenapa tidak?” Catrine berucap seraya mengangguk. Fredpun menatapnya dalam. Catrine sedikit gugup melihat tingkah Fred yang tiba-tiba saja aneh seperti itu. Sejenak, Arthur melotot melihat Fred.
“Kau menghipnotisnya?” Arthur langsung menutupi mata Catrine dengan tangannya. Fred tertawa kembali.
“Hahah, mengapa mereka mengira aku orang jahat?”
“Apa yang sudah kau lakukan padanya?” Arthur tampak sedikit khawatir pada Catrine.
“Tak ada.”
“Benar itu Catrine?” Tanya Arthur. Catrine hanya mengangguk.
“Jika kau melakukan hal macam-macam awas.”
“Kau bisa melihat apa yang aku lakukan padanya!” Fred membentak.
Catatan Putri Dark Fire.
“Mau apa kau Fred?” Catrine sedikit gelagapan. Dia takut terhadap Fred. Ya, laki-laki yang mengejarnya.
“Mengapa kau seperti takut? Apakah tindak-tandukku mirip penjahat?” Tanyanya sedikit mendekati Catrine.
“Lebih dari mirip. Enyahlah!” Catrine semakin tak karuan.
“Aku tak jahat.”
“Diamlah pria mesum! Menjauhlah! Tak mau sekali aku kau cium!” Catrine mengibas-ngibaskan tangannya.
“Kau begitu cantik. Aku menyukaimu.”
“Dan aku benci padamu!” Catrine mundur namun Fred semakin mendekat. Dia mendekat lalu Catrine mendorongnya hingga jatuh.
“Kau berani mendorongku?” Seketika, Fred berlari ke arah Catrine dan tiba-tiba GELAP.
Label: Cerpen
“Ayo, kita shalat dulu. Nanti keburu habis waktunya.” Begitulah ucapan seorang wanita muslimah itu pada majikanku. Aku berharap, kata yang ku lontarkan itu adalah kata untuk mengiyakan permintaan gadis muslimah itu. Tapi ternyata, tidak.
“Zaman gini masih mikirin shalat? Hadeh, udah deh! Lo nggak usah so alim di sini. Bilang aja, kalo lo ngajak gue shalat terpaksakan? Cuma di sini aja. Biar keliatan alim lo, gitukan?”
Ya Allah, ampuni dosa majikaku ini. Aku benar-benar terpuruk dan terpaksa mengatakan itu. Ingin rasanya. Aku mengubah kata itu dan mengendalikan majikanku untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, aku tak memiliki daya apapun.
“Astaghfirullahal’adzim, kenapa kamu jadi gini? Bukankah dulu kamu selalu melakukan shalat berdua bersamaku. Kita selalu melakukannya bersama-sama. Tapi sekarang, kamu udah melupakan kewajibanmu itu sebagai seorang muslim. Sadar, istighfar!” Gadis itu berusaha menyadarkan majikanku. Terlihat seulas senyum mewarnai lidah pemilik majikan itu. Sementara aku, masih terpuruk melihat tingkah buruk majikanku ini.
“Masa lalu ya masa lalu. Nggak usah di ungkit-ungkit. Yang penting gue happy sekarang. Kalo lo mau shalat, shalat aja sendirian. Byee.” Dengan sombongnya, majikanku meninggalkan bayangan di depan gadis muslimah itu yang tak lain adalah sahabat masa kecilnya. Dulu, aku memang ingat kalau majikanku itu adalah seorang yang beraqidah. Namun, aqidah itu telah lenyap oleh harta. Padahal, harta hanya sebatas kebahagiaan dunia, tapi aqidah, kebahagiaan dunia dan akhirat.
Label: Cerpen
“Tapi, bukankah kau berpacaran dengan Meira?” Ucapku penuh tanya padanya. Diapun berdiri dari jongkoknya. Dia memandangku sama dengan tatapan sebelumnya. Tatapan berbinar-binar.
“Nasya, sudah beberapa kali aku bilang. Aku sudah putus dengannya.” Lanjutnya lagi sambil memegang tangan kananku. Diapun menyelipkan sekuntum mawar merah di sela-sela jariku. Akupun menatapnya nanar. Dia hanya mengangguk pelan. Seketika dia melepaskan genggamannya, akupun memeluk mawar itu di atas dadaku. Sesaat, dia langsung memandangku penuh pertanyaan. Sementara aku, aku hanya meniru tindakannya tadi. Mengangguk pelan. Seketika, dia langsung memelukku saat itu juga. Aku langsung membalas pelukannya bersamaan tangan kananku menggenggam mawar.
“Aku mencintaimu, Nasya,” Bisiknya di telingaku.
Kuputuskan untuk mencoba menghubunginya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cob..”
“Tet.” Akupun mengakhiri panggian tersebut. Nomor Wendi tak aktif. Apa benar dia sedang bersama Desi. Apakah dia playboy? Arghh, mulai lagi ribuan pertanyaan itu merasuk benakku. Apa benar semua ini.
“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” Tanyanya dari luar gerbang. Aku masih berdiri di iringi rintik hujan yang masih berjatuhan di malam ini.
“Aku, aku tak mendengar deringannya.” Ucapku berbohong padanya sambil masih mematung di depan pintu gerbang. Karena aku tahu, pintu gerbangku sudah di kunci dan kuncinya terdapat di Pak Dede. Aku bisa dimarahi jika meminjam kuncinya.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini. Mawar kemarin mungkin sudah rusak. Kau bisa menggantinya dengan ini.” Ujarnya seraya tersenyum dan menyondorkan mawar itu padaku lewat sela-sela gerbang. Akupun dengan sedikit ragu menerimanya.
“Thanks ya, kamu rela ujan-ujanan cuma buat ngasih mawar ini. Padahal mawar yang kemarin masih ku simpan. Masih sedikit utuh. Kamu bisa lihat, di pinggir jendela.” Ucapku manis seraya membalas senyumannya.
“Hahah, jaga yang baik ya sayang mawarnya. Itu tanda cinta kita.”
“Haha, iya aku jaga. Maaf ya, kamu diem di luar gini. Gak aku izinin masuk. Gerbangnya udah di kunci sama Pak Dede, nanti aku kena marah. Kamu sih, datang ke sini malam-malam.” Ujarku padanya. Dia hanya tersenyum tipis padaku.
“Iya gak papa. Ya udah, kamu tidur dulu aja. Sekarang udah malem. Besok mau sekolah kan? Aku pulang dulu ya sayang. Byee muahh.” Ucapnya seraya melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Akupun terus memandangnya sambil memegang mawar hingga aku tak dapat lagi melihat bayangannya. Setelah itu, barulah aku masuk kamar ku lagi. Akupun masih belum tidur dan terus memandangi mawar itu. Di depan jendela. Ternyata Wendi adalah pria yang sangat perhatian sekali.
“Tuutt.. tutt..” Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“From: Wendi
Tidur dulu sayang. Mawarnya simpen dulu. Nanti besok kalo kamu kesiangan gimana? Tidur ya, cepet:* .” Begitulah isinya. Akupun segera membalasnya dengan perasaan riang.
“To: Wendi
Ya udah deh sayang. Aku simpen mawarnya ya. Mau tidur dulu. Eh kamu juga jangan lupa tidur sayang udah malem.”
Setelah ku balas pesan tersebut, akupun menutup jendela kamarku. Ketika hendak ku rebahkan tubuh di ranjang, ku lihat balasan terakhir Wendi malam ini.
“From: Wendi
Iya ini mau sayang. Have a nice dream babe.”
Suasana siang ini cukup bersahabat denganku. Tak terlalu memanas. Dapat ku lihat kicauan burung dan irama angin bergantian satu per satu. Seiringan dengan langkahku menambah suasana semakin tenang. Kebetulan sekarang aku melewati taman kota. Di sini memang cukup ramai. Walau rumahku tak terlalu jauh dari taman ini, tapi aku jarang berkunjung. Paling aku hanya menatapnya dan melewatinya. Sebatas itu saja. Sekarang sepertinya aku ingin sekali melemparkan bokongku ke salah satu bangku taman ini. Apalagi sambil melihat-lihat mawar. Hmm..
“Harum.” Desahku sambil tersenyum.
“Tentu saja harum. Sebagaimana aku. Hahah.” Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba merasuk kupingku. Akupun sedikit membalikkan badan bermaksud menengok siapa yang berucap itu.
“Wendi?” Tanyaku heran plus bingung melihat wajah kekasihku ada di depanku.
“Hahah, panik banget si sayang. Iya ini aku Wendi.” Jawabnya sambil menunjuk wajahnya sendiri. Akupun tersenyum simpul padanya. Terlihat tangannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Kau menyembunyikan apa?” Tanyaku sambil sedikit melongo ke arah tangannya. Dia hanya sedikit melirik ke arah belakang.
“Tak ada apa-apa.” Ujarnya berbohong. Akupun menengok ke arah belakang Wendi. Namun dia menggeserkan posisinya.
“Sudahlah aku tahu apa yang kau bawa. Mawarkan?” Tanyaku dengan mata memandangnya. Diapun tertawa.
“Haha, pacarku ini pandai sekali. Nih.” Diapun memberikan mawar itu padaku. Aku menerimanya lalu mengusap ujung-ujung kelopak bunganya. Diapun mengacak-acak rambutku.
“Ih, kamu!”
“Aww.” Jariku terkena duri mawar itu. Langsung ku lihat jari telunjuk kananku. Berdarah. Segera akupun menuju wastafel untuk mencuci lukaku. Rasanya sedikit pedih. Langsung ku turun untuk membawa obat lukaku ini. Lalu ku perbani. Ini sedikit sakit.
“Apakah Wendi akan seperti Mawar? Dia akan tetap harum dan indah? Tapi dia rapuh karena memiliki suatu? Apakah itu penyakit? Seperti dalam drama, seorang pacarnya rela menjauhi kekasihnya agar dia tak tahu jika dia mempunyai suatu penyakit. Jika seandainya dia seperti itu, aku akan tetap mencintainya.” Desahku sendiri sambil menatap sekitar jalanan yang basah. Aku masih terdiam terpaku di depan jendela kamarku berharap keajaiban terjadi. Berharap Wendi tiba-tiba datang dan memberiku mawar. Mimpi aku.
Seketika, aku beranjak dari dudukku dan menutup jendela. Aku bermaksud melemparkan tubuhku ke kasur. Aku sudah mengantuk.
Memang sudah 2 minggu ini tak ada komunikasi antara aku dan Wendi lagi. Bertemupun sudah tidak. Hubunganku dengannya sudah rumit. Aku tak mengerti dengan sikap Wendi yang tiba-tiba cuek seperti ini. Apakah dia benar-benar merahasiakan sesuatu di balik semua ini? Jika i ya, apa?
Seketika aku menyimpan mawarku, akupun beranjak bangun dan berjalan-jalan sekitar kota. Ku tinggalkan mawar itu di bangku taman. Akupun meninggalkan bayanganku di sana. Daripada aku masih terduduk di sana sambil menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang, lebih baik aku berjalan-jalan.
Akupun bermaksud menghampiri mereka yang tengah bercanda tawa.
“Wendi!” Seruku padanya. Wendipun sedikit melirik ke arahku.
“Nasya, mau apa kamu?” Tanyanya sedikit ketus padaku. ‘Ketus’? Seperti itukah seoarang kekasih bertindak?
“Sayang mengapa kau berjalan dengannya?” Tanyaku sedikit polos pada Wendi. Seketika itu, Desi langsung melirik ke arahku.
“Kau bilang sayang pada siapa? Bukankah kalian sudah putus?” Deg. Satu kalimat dari mulut Desi terucap begitu saja. Seketika petir itu menyambar terlalu keras sehingga membuat rubuh hatiku. Saat itu, perkataan Desi benar-benar membuat hancur hatiku ini.
“Maksudmu apa?”
“Sudahlah sayang. Dia hanya masih mengharapkanku saja. Yuk jalan lagi. Biarkan saja dia!” Jleb. Sekarang perkataan Wendi yang terlalu tajam. Dia terlalu menusukku dengan kata itu. Apa maksudnya mengharapkan? Bukankah dia belum bilang putus sama sekali. Apakah seperti ini Mawar bertindak?
Sekarang, angin mulai menyeruak menerbangkan rambut gemulaiku. Hati dan perasaanku lemah sekali saat itu. Dan yang aku bisa hanyalah MEMATUNG.
Aku sangat merasa bersalah pada Meira karena menerima cinta Wendi saat itu. Aku sangat menyesal pernah bercinta dengannya.
Dan kini, aku mengerti. Mengapa Wendi melambangkan dirinya seperti mawar?
Karena, mawar itu harum dan indah seperti dia. Namun, di balik semua itu, mawar memiliki duri yang bisa menyakiti kita sendiri bila mendekatinya. Dan Wendi, semakin aku mendekatinya, semakin ku tertusuk durinya.
Karena itulah aku BENCI Mawar.
Label: Cerpen